Jurnalisme sastra adalah jenis tulisan jurnalistik yang teknik dan gaya penulisannya menggunakan cara yang biasa dipakai dalam karya sastra, seperti dalam cerpen atau novel.[1] Jurnalistik sastra menyajikan jurnalisme yang lebih menarik dibaca, menyentuh emosi pembaca, dan memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai daerah atau tokoh tertentu.[1] Kemunculan jurnalisme sastra ditandai dengan dimulainya gerakan New Journalism di Amerika Serikat.[1] Gerakan ini populer di Amerika Serikat pada tahun 1960 sampai 1970-an.[1] Tulisan-tulisan bercorak jurnalisme sastra mudah ditemukan di media daring, koran, dan majalah.[1]

Tom Wolfe mencetuskan gerakan New Journalism yang kemudian melahirkan jurnalisme sastra

Sejarah sunting

Jurnalisme sastra memang berbentuk seperti fiksi, tetapi tidak termasuk ke dalam kelompok fiksi.[2] Aliran jurnalisme sastra sudah mulai muncul sejak zaman Yunani Kuno dan Kekaisaran Romawi. Pada zaman itu, karya sastra sudah menjadi sarana pendidikan. Meskipun termasuk fiksi, karya sastra Yunani Kuno telah dijadikan bahan ajar untuk mendidik masyarakat Yunani. Misalnya, syair-syair Homeros berupa puisi dan seni tulis. Tidak hanya sebagai hiburan, orang Yunani memaknai karya sastra sebagai pencerahan dan dapat mengasah kehalusan jiwa seseorang. Karya sastra juga dianggap mengandung banyak pesan moral. Oleh karena itu, sastra banyak diajarkan di sekolah-sekolah hingga kini.

Jurnalisme sastra muncul sebagai bagian dari gerakan New Journalism yang dicetuskan oleh Tom Wolfe.[2] Namun, pada tahun 1700 sebenarnya sudah muncul esai-esai naratif yang ditulis oleh penulis seperti Ernest Hemingway, A.J. Liebling dan Joseph Mitchell.[2] Di Amerika, jurnalisme sastra mulai dikenal lewat karya jurnalistik Tom Wolfe pada tahun 1960. Pada saat itu, terjadilah aliran baru dalam jurnalistik dengan mencampurkan sastra dan jurnalistik. Wolfe mulai memperkenalkan karyanya sebagai sebuah bentuk jurnalisme baru. Wolfe mengembangkan karya jurnalistiknya selama lebih dari 7 tahun. Ia terus mengumpulkan bukti-bukti dan wawancara ketika menyusun karya jurnalistiknya.

Baru pada tahun 1970 sampai 1980-an istilah jurnalisme sastra berkembang dalam masyarakat. Pelopornya adalah John McPhee, Richard Rhodhes, Mark Singer, dan beberapa tokoh lain.[2] Jurnalisme sastra masuk ke dalam bermacam wilayah penulisan, seperti pariwisata, memoar, esai-esai historis dan etnografis, bahkan berita-berita mengenai peristiwa nyata.[2] Sebenarnya adanya gaya penulisan sastra dalam tulisan membuat sebuah laporan menjadi janggal.[2] Akan tetapi, jurnalisme sastra menjadi sarana penolakan terhadap jurnalisme lama.[2] Memang jurnalisme sastra pada akhirnya berbentuk mirip fiksi, tetapi jurnalisme sastra tidak dapat dikatakan fiksi.[1] Jurnalisme sastra tetap harus menjaga akurasi fakta dalam penulisannya.[1] Jurnalisme sastra akan menghasilkan tulisan yang personal dan cenderung subjektif, akan tetapi kenyataan tulisan harus seusai dengan realita peristiwa,[1]

Tokoh-tokoh jurnalistik sastrawi memperkenalkan gaya penulisan narasi dan peliputan reportase dalam karyanya. Setelah Wolfe, terdapat banyak pemikir jurnalistik yang mulai mengembangkan jurnalisme sastra. Pada tahun 1970-an, tokoh-tokoh seperti John McPhee, John Hoagland, dan Richard Rhodes mulai memperluas cangkupan jurnalisme sastra. Selanjutnya, pada tahun 1980, muncul tokoh-tokoh baru yang saling bekerja sama untuk menyebarkan dan mengembangkan jurnalisme sastra di berbagai daerah. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya: Tracy Kidder dan Mark Singer, Richard Preston dan Adrian Nicole LeBlanc. Mereka mulai mengembangkan gaya penulisan seperti pada tulisan wisata, memori, esai-esai, dan lain-lain. Adanya tokoh-tokoh tersebut kemudian menginspirasi kelahiran jurnalisme sastra di berbagai belahan dunia.

Jurnalisme sastra di Indonesia sunting

Jurnalisme sastra di Indonesia baru mulai dikenal pada tahun 1990-an. Majalah Tempo disebut-sebut sebagai salah satu media yang menjadi inisiator dalam penerapan jurnalisme sastra di Indonesia. Saat berdiri, Tempo adalah satu-satunya media yang menggunakan teknik bercerita dalam menulis kontennya.

Kemudian, media lain mulai mengikuti Tempo. Ketidakraguan Tempo dalam mengadopsi “jurnalistik baru” ini disebabkan karena para awak Tempo didominasi oleh sastrawan. Sehingga apa yang mereka tulis dan laporkan, ikut terpengaruh gaya sastra. Mereka adalah Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Eka Budianta, Fikri Jufri, Lelila Chudori, dan Bondan Winarno serta kolumnis lainnya yang juga merupakan jurnalis-sastrawan.

Selain dari jurnalis-sastrawan Tempo, banyak jurnalis-sastrawan yang ikut turut andil dalam dinamika jurnalisme sastra di Indonesia, diantaranya Remy Syldo dari majalah Aktuil, Korrie Layun Rampan dari majalah Sarinah, Titie Said dari majalah Kartini dan banyak jurnalis-sastrawan lain. Tidak hanya sebagai inisiator, para jurnalis-sastrawan juga memberikan pelatihan bagi jurnalis yang ingin mengetahui jurnalisme sastra lebih jauh. Para awak jurnal Pantau contohnya yang dengan gencar mensosialisasikan jurnalistik sastrawi bagi jurnalis-jurnalis pemula.

Sekitar tahun 2010, perguruan tinggi juga mulai aktif mengambil bagian dalam pengembangan dan sosialisasi jurnalisme sastra, namun tidak secara terang-terangan sebagai bagian dari kajian ilmu. Hal tersebut terlihat dari materi kuliah yang masih memandang bahwa jurnalisme sastra dan feature hanyalah pelengkap sebuah berita.

Istilah jurnalisme sastra dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari istilah literary journalism (Inggris).[3] Jurnalisme artinya pekerjaan mengumpukan, menulis, dan menyunting berita atau kewartawanan.[4] Istilah yang juga sering digunakan adalah jurnalistik sastra.[3] Istilah yang salah namun sering dipakai adalah jurnalisme sastrawi.[3] Istilah jurnalisme sastra secara kaidah bahasa baku menerangkan diterangkan tidak tepat karena keduanya kata sifat.[3]

Jurnalisme sastra sebagai jurnalisme baru sunting

Apabila membahas ide awal dan proses kelahirannya, ruang lingkup, maupun kegiatan jurnalistik, tidak lepas dari syarat-syarat jurnalistik. Diantaranya mencakup proses pencarian dan pengumpulan berita, teknis menulis dan melaporkan, menyunting dan menerbitkan berita serta kegiatan pasca terbit.

Sebelum muncul istilah jurnalisme sastra, orang menyebutnya dengan “feature” yang adalah tulisan atau karangan yang digunakan sebagai pelengkap berita. Namun, seiring berjalannya waktu, makna feature mengalami evolusi. Saat ini feature bukan hanya merupakan pelengkap berita, melainkan bagian utama dari berita itu sendiri.

Molly Blair dalam kajiannya memposisikan feature dan jurnalisme sastra sebagai penopang yang sama-sama membentuk dan membangun “penulisan kreatif”. Walau memiliki beberapa kesamaan, gaya publikasi keduanya jelas berbeda.

Jurnalisme sastra memiliki beberapa istilah lain seperti jurnalisme baru, jurnalisme baru, jurnalisme naratif, literary of fact, factual fiction, romantic reporting dan lainnya. Meski memiliki beberapa sebutan, substansinya sama saja. Yaitu fakta, data dan informasi yang diperoleh seluruhnya ditulis dengan elemen dan kaidah sastra yang dikemas untuk menyentuh hati dan menggugah emosi pembaca.

Sama halnya dengan hard news atau jenis berita lain, jurnalisme sastra juga menggunakan unsur 5W + 1H (What, Who, When, Where, Why, How). Namun tentu dengan penyajian dan elemen yang berbeda pula.

Karakteristik sunting

Meski menggunakan gaya penulisan fiksi didalamnya, namun Jurnalisme Sastrawi bukan lah fiksi. Isi laporannya tetap berdasarkan fakta. Jadi, Jurnalisme Sastrawi bukanlah penulisan berita yang berdasarkan fiksi, melainkan penulisan berita yang menggunakan teknik kesastraan. Berikut adalah karakteristik Jurnalisme Satra yaitu:[5]

  • Menggunakan kaidah dan elemen-elemen sastra dalam penulisannya.
  • Tidak menggunakan gaya piramida terbalik dalam pemberitaannya.
  • Sama seperti jurnalisme lainnya, jurnalisme sastrawi juga menggunakan unsur 5W+1H.
  • Harus faktual.
  • Pelaporan berita tidak dibatasi oleh tengat waktu.
  • Penulisan dan reportasenya membutuhkan waktu yang tidak singkat.
  • Sumber data diperoleh dengan mengandalkan reportase lanjut, menggunakan rekap publik dan catatan historis, diperoleh dari banyak narasumber (bukan hanya dari satu-dua narasumber), dokumen yang sah, buku harian, catatan pribadi, dan publikasi resmi lainnya.
  • Isu-isu yang diangkat bukan yang populer atau sedang tren.

Proses peliputan sunting

Jurnaslisme Sastra ditulis dengan keintiman dan gaya yang artistik atau unik, dengan teknik pengisahan yang membawa “omongan” orang-orang secara riil, deskriptif, bisa menggugah emosi pembaca, naratif, simbolis, ekperimental, dan kadang puitis. Waktu penulisan dan reportasenya bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sehingga pelaporan yang ditulis pun memiliki kemendalaman.

Adapun proses peliputan Jurnalisme Sastra sebagai berikut:[5]

  • Liputan umumnya mengenai berbagai hal yang telah lama dan rutin dilakukan.
  • Penulisan bersifat intim, informal, terbuka, dan manusiawi.
  • Penulisan sederhana, ringkas, dan memiliki gaya yang khas.
  • Struktur pelaporan mengisahkan kembali berbagai kejadian secara utuh.
  • Gaya pengisahannya dengan mengembangkan pemaknaan secara setahap demi setahap.
  • Kisah-kisah atau isu yang diangkat bermula karena wartawan tergerak untuk mengisahkan atau mengangkat subjek, topik, atau objek yang menarik perhatiannya.
  • Sudut pandang pengisahannya unik.

Berdasarkan proses peliputannya teknik pelaporan Jurnalisme Sastra bisa dibilang penuh dengan detail-detail potret subyek. Hal ini sengaja diserahkan pada pembaca oleh jurnalis untuk dipikirkan, direnungkan, dan ditarik sendiri kesimpulannya. Pembaca diajak untuk berimajinasi dari fakta-fakta yang telah dirancang oleh jurnalis dalam urutan adegan, percakapan dan amatan suasana.

Gaya publikasi sunting

Jurnalisme sastra berfokus untuk menggabungkan jurnalisme dengan tulisan kreatif non-fiksi. Bergantung pada gaya publikasi dan kesamaan teknik penulisan, jurnalisme sastra memiliki kesamaan dengan beberapa jenis tulisan kreatif non-fiksi lainnya.

Karya tulis non-fiksi memiliki tenggat waktu, unsur dan kaidah kreatif yang berbeda-beda, diantaranya:

Memoir sunting

Dapat juga disebut buku kenang-kenangan, merupakan catatan peristiwa atau fakta dari sudut pandang penulis, bisa personal maupun lembaga atau kelompok. Seringkali dibuat oleh orang besar dan penting untuk menggambarkan atau menjelaskan sebuah peristiwa dan menunjukkan posisinya dalam cerita tersebut.

Biografi sunting

Biografi adalah riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Biografi dalam jurnalisme sastrawi ditulis bergaya sastra, seperti sedang menceritakan pengalaman hidup seseorang dalam bentuk cerpen atau novel. Contohnya adalah biografi Bill Clinton dalam buku berjudul Bill Clinton: The American President Series: The 42nd President, 1993-2001 yang ditulis oleh Michael Tomasky.

Esai personal sunting

Seperti esai pada umumnya, kemudian ditambahkan dengan kaidah sastra tetapi tetap menunjukkan kebenaran di dalam tulisan. Sehingga pada akhirnya terlihat seperti cerita tetapi bukan fiksi karena ditulis berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Tulisan seperti ini membuat pembaca bisa mengikuti alur cerita secara detail dan jelas serta dapat mengembangkan imajinasi pembaca. Seringkali tulisan seperti ini berisi tentang tanggapan penulis terhadap suatu kejadian penting seperti contohnya berbagai tulisan di Kompasiana.com, salah satunya Ketua Umum PSSI, Ketika Arogansi Melebihi Kompetensi.

Artikel Feature sunting

Artikel feature adalah tulisan berupa bagian kecil dari sebuah wacana yang panjang dan mengindahkan kaidah serta elemen-elemen sastra. Artikel ini dapat memuat tentang profil seseorang, sejarah, pengalaman manusia atau sebuah peristiwa/keadaan yang tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat. Contohnya adalah tulisan Reja Hidayat di tirto.id berjudul Nasib Berbeda Jadi Sopir Pribadi Orang Kaya Jakarta.

Non-fiksi Naratif sunting

Menurut buku Jurnalistik Sastrawi, non-fiksi naratif adalah karya tulis berupa kebenaran yang diceritakan dengan mengikutsertakan elemen-elemen beserta kaidah sastrawi. Contohnya seperti Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan karangan Alfian Hamzah yang terbit di buku Jurnalisme Sastrawi.

Esai Sastrawi sunting

Tulisan atau karangan prosa yang membahas masalah secara sepintas kemudian dibahas dari perspektif penulisnya dengan menggunakan elemen-elemen sastra, seperti misalnya dengan membahas sejarah atau asal usul dari sebuah permasalahan.

Perbedaan tulisan kreatif non-fiksi pada umumnya dengan jurnalistik sastrawi adalah secara penulisan jurnalistik sastrawi menggunakan kalimat yang cenderung lebih singkat, satu paragraf yang mewakili satu ide dan menunjukkan inti tulisan terlebih dahulu. Selain itu pesan yang ingin disampaikan juga lebih ditunjukkan dan diharapkan tulisan tersebut dapat memicu diskusi selanjutnya. Selain itu, blog dan media penyiaran tidak termasuk dalam karya tulis non-fiksi kreatif. Blog dikelola sendiri oleh pemilik sehingga tidak termasuk media massa profesional. Sedangkan media penyiaran tidak termasuk dalam karya tulis non-fiksi karena bukan media cetak sehingga sumber tidak ditemukan.

Jurnalisme sastra dan masyarakat sunting

Jurnalisme sastra dengan segala elemennya, tentu akan lebih mudah dimengerti apabila mereka yang membaca memiliki referensi sebelumnya, atau setidaknya sempat membaca karya sastra yang berkualitas. Sehingga melaui bacaan itu akan menghasilkan tulisan yang berkualitas pula.

Kegiatan jurnalistik merupakan kegiatan yang juga ditujukan untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu, diharapkan pendidikan jurnalistik dapat dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri serta masyarakat.

Pranala luar sunting

Rujukan sunting

  1. ^ a b c d e f g h Katrin Bandel (2013). Sastra Paddhati(Jurnalistik Sastrawi)-kump. karangan. Universitas Sanata Dharma. hlm. 208-209. ISBN 978-602-9187-51-9. 
  2. ^ a b c d e f g Septiawan Santana K. (2002). Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia. hlm. 17-20. ISBN 979-686-629-3. 
  3. ^ a b c d Masri Sareb Putra (2010). Literary Journalism, Jurnalistik Sastrawi. Jakarta: Salemba Humanika. hlm. 47-49. ISBN 978-602-8555-16-6. 
  4. ^ "KBBI daring". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 22 April 2014. 
  5. ^ a b Santana K, S. (2017). Jurnalisme kontemporer: edisi kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 58-59 ISBN: 978-602-433-448-2

Bacaan lanjut sunting

  • Azwar. (2018). 4 Pilar Jurnalistik: Pengetahuan Dasar Belajar Jurnalistik Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group. Hlm. 12 ISBN 978-602-422-235-2