Jaulung Wismar Saragih

pendeta Simalungun pertama, penerjemah Alkitab, misionaris
(Dialihkan dari J.W. Saragih)

Pandita Jaulung Wismar Saragih Sumbayak (Ejaan Republik: Djaulung Wismar Saragih Sumbayak; disingkat sebagai J. Wismar Saragih; lahir pada tahun 1888 di Sinondang Utara, Pamatang Raya[1]; wafat pada 7 Maret 1968) adalah pendeta Simalungun pertama[2], penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Simalungun[3], dan budayawan Simalungun.


Jaulung Wismar Saragih Sumbayak
Pdt. J. Wismar Saragih bersama istrinya pada sekitar tahun 1935.
Gereja
Imamat
Tahbisan imam
15 Desember 1929 (38 tahun, 83 hari)
oleh Johannes Warneck
Informasi pribadi
Nama lahirJaulung Saragih Sumbayak
Lahir(1888-09-11)11 September 1888[a]
Sinondang, Pamatang Raya, Partuanan Raya
Meninggal7 Maret 1968(1968-03-07) (umur 79)
Simalungun, Sumatera Utara
Orang tua
  • Jalam Saragih Sumbayak (ayah)
  • Ronggainim br. Purba Sigumonrong (ibu)
Pasangan hidup
Torlainim Katarina br. Purba Sigumonrong
Anak7
PendidikanSeminarium HKBP Sipoholon
Jaulung Wismar Saragih Sumbayak
Penjabat Ephorus HKBP Simalungun
Masa jabatan
1952–1960
Sebelum
Pendahulu
Justin Sihombing Hutasoit (sebagai Ephorus HKBP)
Pengganti
Jennus Purba Siboro (sebagai Ephorus GKPS)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal

sunting

Jaulung Wismar Saragih Sumbayak dilahirkan dengan nama Jaulung Saragih Sumbayak. Ia adalah anak kedua dari pasangan Jalam Saragih Sumbayak dengan Ronggainim boru Purba Sigumonrong. Jaulung berasal dari keluarga terpandang di Pamatang Raya, ibu kota Partuanan Raya. Ayahnya, Jalam Saragih Sumbayak, bekerja sebagai tuhang sarung ni bodil (ahli pembuat senapan dan sarungnya) untuk penguasa Raya, Tuan Rondahaim Saragih Garingging (1828—1891) dan penggantinya, Tuan Sumayan Saragih Garingging bergelar Tuan Kapoltakan (1857—1932). Ibu Jaulung, Ronggainim boru Purba Sigumonrong, berasal dari kampung Raya Dolog. Ia adalah istri keempat dari Jalam Saragih Sumbayak.

Pada 1891, Tuan Rondahaim Saragih Garingging meninggal dunia. Saat akan memutuskan penggantinya sebagai penguasa Partuanan Raya, terjadilah perang saudara akibat perseteruan pendapat. Perang saudara ini mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Simalungun di Partuanan Raya, termasuk bagi keluarga Jaulung. Penderitaan ini mendorong tekadnya untuk mengangkat harkat martabat keluarga dan menjadi pelopor kebangunan Simalungun.[4]

Jaulung mendapat beragam pelajaran dari ayahnya selama masa kecilnya. Pada sekitar usia 12 tahun, ia diajari membaca Surat Batak oleh ayahnya dan dengan segera menguasai keahlian itu. Pada tahun 1904, saat Jaulung berusia 16 tahun, ayahnya meninggal dunia.

Perkenalan dengan Kristen

sunting

Sekolah dasar hingga baptisan

sunting

Kedatangan penginjil RMG ke daerah Simalungun, terutama Pamatang Raya, dipimpin oleh Pendeta August Theis. Pada tahun 1907, sekolah zending didirikan di Pamatang Raya. Jaulung mendaftarkan diri sebagai siswa kelas dasar di sekolah itu pada September 1908. Ia belajar di kelas dasar selama tiga tahun. Selama masa pendidikannya itu, ia kerap belajar langsung ke rumah gurunya dan sebagai gantinya ia membantu mengerjakan pekerjaan rumah gurunya tersebut. Kebiasaan ini membuatnya menjadi siswa yang paling menonjol di kelasnya.

Jaulung menyukai semangat para penginjil dan terkesan dengan ajaran Kristen tentang kasih Yesus. Pada saat menjelang ujian masuk sekolah pendidikan guru, Jaulung meminta untuk dibaptis. Pembaptisannya berlangsung pada 11 September 1910 dan ia diberi nama baptis "Wismar". Sejak saat itu, Jaulung menambahkan nama baptisnya dalam nama lengkapnya.[2]

Sekolah guru

sunting

Pada Oktober 1910, August Theist menyuruh Wismar untuk mengikuti ujian masuk sekolah guru (kweekschool) di Sipoholon. Pada saat itu, hanya ada dua pilihan sekolah guru, yakni di Sipoholon dan di Narumonda.

Wismar berangkat bersama Paulus Purba dengan berjalan kaki selama lima hari ke Sipoholon. Wismar dan Paulus sebelumnya pernah dibaptis bersamaan pada September 1910. Namun, mereka gagal melalui ujian masuk sekolah guru tersebut karena tidak ada satu pun materi ujian tersebut yang pernah mereka pelajari sebelumnya.

Pada tahun 1911, Wismar kembali mengikuti ujian masuk sekolah guru (kweekschool), kali ini di Narumonda. Ia berhasil mengerjakan ujian tersebut dan diterima belajar di sana selama tahun 19111915.[5][6] Ia dinyatakan lulus dari sekolah itu pada 24 September 1915.

Sebagai guru hingga pendeta

sunting

Setelah lulus dari Narumonda, ia kembali ke Pamatang Raya dan mengajar selama 6 tahun. Namun, pengangkatannya sebagai pegawai negeri pada tahun 1921 membuatnya berhenti bekerja sebagai guru. Pada tahun itu, Wismar mulai menjabat sebagai pangulu balei, yakni jabatan setara sekretaris wilayah, di Kerajaan Panei dan Kerajaan Dolog Silou. Setelah itu, ia dipindahkan ke Pamatang Siantar dengan jabatan yang sama.

Saat terbuka kesempatan untuk menjadi pendeta pada tahun 1927, Wismar meninggalkan profesinya sebagai pegawai negeri dan mendaftarkan dirinya ke sekolah pendeta. Wismar diterima di Seminarium HKBP di Sipoholon, Tapanuli. Ia belajar di sana dari tahun 1927 hingga 1929. Setelah lulus, Wismar ditahbiskan sebagai pendeta HKBP di Simanungkalit pada tanggal 15 Desember 1929.[7] Dengan demikian, Jaulung Wismar Saragih Sumbayak adalah pendeta HKBP pertama yang berasal dari Simalungun. Ada 10 orang pendeta yang ditahbiskan oleh Johannes Warneck pada saat itu. Selain Wismar Saragih, ada pula Kasianus Sirait dan Cyrellus Simanjuntak.

Upaya memajukan Simalungun

sunting
 
J. Wismar Saragih pada tahun 1935 di Pamatang Raya, ibu kota Kerajaan Raya.

J. Wismar Saragih berpendapat bahwa kunci kemajuan orang Simalungun terletak pada peningkatan kesadaran akan harkat dan martabat diri dan taraf hidup di berbagai bidang, terutama pada wawasan berpikir orang Simalungun melalui budaya baca dan tulis.[8] Proses penginjilan yang dilakukan RMG dengan menggunakan bahasa pengantar Batak Toba mengakibatkan etnis Simalungun semakin termarginalisasi. Hal ini melahirkan semangat oposisi dari Wismar dan rekan-rekannya yang merasa bahwa etnis Simalungun telah terabaikan oleh RMG.

Semangat oposisi itu dimanifestasikan dalam majalah periodik Sinalsal, yang diterbitkannya pada periode 1928-1940, dan melalui buku-buku yang dikarangnya. Kesadaran akan pemajuan dan pelestarian budaya Simalungun mendorong J. Wismar Saragih untuk merintis penyusunan kamus Simalungun pada tahun 1916. Namun, usaha itu terhalang saat kamus yang telah selesai dikerjakan pada tahun 1918 itu ditolak penerbitannya oleh pemerintah. Barulah pada tahun 1936, kamus tersebut berhasil diterbitkan dengan judul Partingkian ni Hata Simalungun.

Pada tahun 1917, J. Wismar Saragih mulai mengusahakan penggunaan buku pelajaran dengan bahasa Simalungun di sekolah-sekolah untuk menggantikan buku-buku yang ada yang menggunakan bahasa pengantar Toba. Hal ini dilakukannya tanpa seizin Pendeta Muller dari RMG di Pematang Siantar karena pengalamannya dengan RMG yang memarginalisasi etnis Simalungun.

Upaya J. Wismar Saragih dalam memajukan hasimalungunan (ke-Simalungun-an) dimulai saat ia masih mengikuti sekolah pendeta di Sipoholon, dengan menerbitkan buku Podah Pasal Marhorja (Nasihat Tentang Pekerjaan) pada tahun 1929. Ia juga menerbitkan buku berbahasa Simalungun lain, seperti Panggomgomion (Pemerintahan) pada tahun 1929, Pitoeah Banggal (Sexuele Leven) (Kitab Tuntunan Kehidupan Seksual) pada tahun 1938, Partingkian ni Hata Simaloengoen (Kamus Bahasa Simalungun) pada tahun 1936), serta berbagai buku-buku pelajaran untuk Sekolah Rakyat, seperti Sitoloe Saodoran dan Rondang Ragiragian.

Ia juga merintis sebuah sekolah sore khusus untuk perempuan. Selain itu, ia juga mendorong peningkatan minat baca orang Simalungun dengan mendirikan taman bacaan "Dos ni Riah" dan perpustakaan "Parboekoean ni Pan Djaporman" di Pematang Raya pada tahun 1937.

J. Wismar Saragih juga mendirikan Roemah Poesaka Simaloengoen (Museum Simalungun) pada tahun 1940 dan sanggar kesenian Parsora na Laingan pada tahun 1937.

Usahanya membebaskan etnis Simalungun melalui kekristenan juga dilakukan melalui penerjemahan teks-teks Alkitab ke dalam bahasa Simalungun, hal mana menyebabkan ia dijuluki Een Simaloengoense Luther (Luther dari Simalungun).[3] Wismar dan beberapa temannya menganggap bahwa laju penginjilan RMG di kalangan masyarakat Simalungun terhambat karena tidak digunakannya bahasa Simalungun sebagai media pengantar. Oleh karena itu, pada peringatan 25 tahun sampainya Injil di Simalungun (2 September 1928), J. Wismar Saragih merintis pendirian lembaga bahasa Simalungun bernama Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen.

Pada tanggal 13 Oktober 1928, diadakan pertemuan di rumah Djaoedin Saragih di Pematang Raya yang dihadiri oleh 14 tokoh-tokoh Kristen Simalungun.[9] Dalam pertemuan ini, disepakati pendirian badan pelestarikan dan pemberdayaan bahasa Simalungun.

Selain melalui Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen, Wismar juga turut mendukung berbagai gerakan pemajuan etnis Simalungun seperti Kongsi Laita[10] Dalam usahanya membangun kerohanian masyarakat Simalungun, Wismar menerbitkan lebih dari 200 buku berisi nyanyian gereja yang dituliskan dalam bahasa Simalungun serta terlibat langsung dalam penerjemahan kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama ke bahasa itu. Wismar juga menjabat sebagai redaktur majalah Sinalsal hingga akhirnya dilarang oleh Jepang.[11]

Gereja Kristen Protestan Simalungun

sunting

Peranan Pdt. Dj. Wismar Saragih dalam mempercepat penyebaran Injil di kalangan rakyat Simalungun berlanjut di saat ia mengajukan surat protes kepada penginjil H. Volmer di Saribudolog pada tanggal 27 Oktober 1937. Surat itu memprotes perubahan nama Distrik Simalungun-Pesisir Timur (Simalungun-Oostkust) menjadi "Sumatra Timur, Aceh dan Dairi" yang disahkan HKBP dalam tata gerejanya pada tahun 1940.[12] Hal itu dilakukannya atas kekhawatiran hilangnya identitas Simalungun pada rakyat Simalungun yang bergereja di Distrik tersebut.

Walaupun surat itu ditolak, namun keberatan yang secara berkelanjutan diajukan oleh komunitas Kristen-Simalungun tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika Sinode am HKBP yang diadakan pada tanggal 10-11 Juli 1940 di Pearaja membicarakan keberatan mereka dan memutuskan agar Kerkbestuur HKBP membicarakan hal tersebut dengan jemaat Simalungun. Pembicaraan tersebut kemudian diadakan di Raya, Saribudolog dan Nagoridolog pada tanggal 26 September 1940[13] dan memutuskan agar komunitas Simalungun diberi satu distrik tersendiri bernama Distrik Simalungun dengan wakil orang Simalungun di sinode HKBP.[14]

J. Wismar Saragih kemudian menjadi salah seorang peserta rapat yang diadakan pada tanggal 5 Oktober 1952 yang bertujuan agar Jemaat-jemaat HKBP distrik Simalungun berdiri sendiri dan terpisah dari HKBP, dan membentuk HKBPS serta pengurus-pengurus dan majelis-majelis gerejanya. Pemisahan ini dilakukan secara sepihak oleh HKBP distrik Simalungun, dan baru diakui oleh wakil-wakil HKBP pada rapat bersama antara delegasi HKBP dan Pengurus Harian HKBP Simalungun (HKBPS) tentang pandjaeon (pemisahan) HKBP Simalungun di Pematang Siantar, 21-22 Januari 1953 yang keputusannya ditandatangani pada tanggal 22 Januari 1953.[15] Pada kepengurusan HKBPS, Dj. Wismar Saragih menduduki jabatan Wakil Ephorus,[16] yang merupakan jabatan tertinggi di kepengurusan pusat HKBPS dan diwakili oleh seorang Sekretaris Jendral. Saat itu HKBPS tidak memiliki Ephorus sebagai upaya untuk tetap memelihara hubungan baik dengan HKBP. HKBPS merupakan rintisan menuju kemandirian penuh jemaat-jemaat di Simalungun di dalam Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).

Dalam modal teologinya di GKPS, Wismar memiliki proses pemahaman Teologi yang lahir dari penerjemahan Alkitab dan iman ke dalam bahasa atau budaya Simalungun dan dari respons menghadapi tekanan luar dan membela harkat (identitas) komunitas Simalungun.[17] Teologi menurut Wismar sendiri berdasarkan perelevansian dengan budaya Simalungun, "Tuhan itu hadir dalam pesta keluarga, dan kitalah tuan rumah yang menerima tamu pembawa berkat dengan sukacita yang mendalam." Selain itu juga dalam buku yang ia tulis berjudul "Tadah ni Tonduyta", Wismar berusaha untuk menanamkan iman Kristen pada suku Simalungun dalam kehidupan berbudaya yang senantiasa "saor" (Simalungun : Bercampur) dengan Kristus. Pemahaman teologis J. Wismar Saragih inilah yang diwariskan kepada GKPS untuk kemudian dilanjutkan kepada generasi-generasi Simalungun berikutnya.[17]

Partuha Maujana Simalungun

sunting

Pelestarian dan pengembangan adat istiadat Simalungun juga mendapat perhatian khusus J. Wismar Saragih. Salah satunya adalah idenya yang menganjurkan penggunaan pakaian adat Simalungun dalam kegiatan ibadah di Gereja, sesuatu yang mengundang kontroversi mengingat para penginjil RMG menganjurkan penanggalan tutup kepala, termasuk gotong dan suri-suri (tutup kepala khas adat Simalungun), di dalam masa ibadah di Gereja.

J. Wismar Saragih juga mendirikan lembaga kesenian yang bertujuan untuk memelihara kesenian musik tradisional dan mengembangkannya sebagai lagu Gereja.

Bersama-sama dengan tokoh Simalungun lainnya seperti Haji Ulakma Sinaga dan Rajamin Purba (Bupati Simalungun saat itu) ia kemudian mendirikan sebuah wadah pengetua-pengetua adat Simalungun yang diberi nama Partuha Maujana Simalungun.

Kemerdekaan Indonesia

sunting

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, J. Wismar Saragih turut berperan mengajak rakyat Simalungun untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Hal ini dilakukannya melalui mimbar gereja maupun pidato umum, seperti di Lapangan Sepak Bola Pematang Raya pada 23 Desember 1945.

J. Wismar Saragih juga terpilih sebagai ketua Komite Nasional Daerah tingkat kecamatan dan kemudian menjadi utusan ke tingkat kabupaten di Simalungun.[butuh rujukan]

Masa pensiun

sunting

J. Wismar Saragih secara resmi memasuki masa pensiun pada 25 Mei 1961 dan ditandai dengan perayaan pesta ucapan syukur pensiun yang diadakan dirumahnya sendiri.[18] Meskipun telah pensiun, Wismar tetap aktif bekerja dalam usaha penginjilan ke beberapa daerah, termasuk di Serdang. Kegiatan ini ia lakukan mulai 29 Oktober hingga 4 November 1962. Selanjutnya, pada 27 Agustus 1962, usaha penginjilan ini juga dilanjutkan ke daerah Hutapining dan Simanabun.[18]

Wismar juga tetap aktif dalam usaha pengembangan budaya Simalungun. Salah satunya melalui seminar "Silsilah Marga-Marga di Simalungun" yang dilaksanakan pada 24 hingga 26 Februari 1964. Di sini, Wismar berperan mengusulkan agar keempat marga Simalungun (Sinaga, Saragih, Damanik, Purba) dimekarkan berdasarkan cabang dari marganya itu sendiri. Sebagai contoh yaitu marga Saragih yang dapat dimekarkan menjadi marga Sumbayak, Garingging, Sitio, Simarmata, Sidauruk, Turnip, dan lainnya.[19]

Karya Jaulung Wismar Saragih Sumbayak di antaranya, yaitu:

  • Tadah ni tondujta: in ma hata ni Naibata rupeita ari-ari (ayat marhasoman hatorangan)
  • Ambilan na madear pasal Toehan Jesoes Kristoes: songon sinoeratkon ni Si Loekas
  • Loopbaan J. Wismar Saragih
  • Portama i tongah djaboe
  • Pasal panggomgomion (pamerentahan)
  • Barita ni toean Rondahaim na ginoran ni halak toean raja na Mabadjan
  • Siluah hun pulou Djawa (oleh-oleh dari Djawa)
  • Roehoet manoeratkon hata Batak Simaloengoen, marhiteihon soerat Boelanda (soerat Latijn): marondolan bani besluit ni Directeur O & E, 27 April 1920, Issue 14246
  • Buei ambilan na binuat humbani buku na pansing padan na basaia
  • Partingkian ni hata Simaloengoen: Simaloengoen Bataks verklarend woordenboek
  • Padan Na Baru
  • Pardiateihon ma, ise do ia: Goluh pakon pangajarion ni Jesus
  • Ambilan na madear mangihutkon si Johannes: Indjil Johannes
  • Pituah Banggal Portama ni Halak Simalungun na Dob Marhajabuan

Catatan

sunting
  1. ^ Tanggal ini merupakan tanggal kelahiran Wismar Saragih pada dokumen-dokumen resmi. Tahun kelahiran berdasarkan perhitungan Wismar sendiri, sedangkan tanggal dan bulan kelahiran merupakan tanggal dan bulan pembaptisan Wismar.

Referensi

sunting
  1. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, Tole! Den Timorlanden das Evangelium!, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 177.
  2. ^ a b Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, Tole! Den Timorlanden das Evangelium!, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 178.
  3. ^ a b J.L. Swellengrebel, In Leijdeckers Voetspoor. Anderhalve eeuw Bijbelvertaling en Taalkunde in de Indonesische Talen, II (1900-1970), S. Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1978, hlm. 165.
  4. ^ J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih (Marsinalsal), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977, hlm.22-26.
  5. ^ Mansen Purba, "Pengantar untuk Jaulung Wismar Saragih," Rondahaim: Sebuah Kisah Kepahlawanan Menentang Penjajah di Simalungun, Bina Budaya Simalungun, Medan, 1993.
  6. ^ J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih (Marsinalsal), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977, hlm.56-59.
  7. ^ J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J. Wismar Saragih (Marsinalsal), BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1977, hlm.119.
  8. ^ Apulman Saragih, Gema Sinalsal: Suatu Tinjauan Historis-Theologis Terhadap Majalah Sinalsal yang terbit tahun 1931-1942 di Simalungun, Skripsi Sarjana Theologia STT Jakarta, Jakarta, 1979.
  9. ^ J. Wismar Saragih, Sinalsal, No.90/September 1938, hlm.6.
  10. ^ Jan Jahaman Damanik, Tunggul yang Bertunas (Thesis Magister Theologia STT HKBP), Pematangsiantar, 1995, tidak diterbitkan, hlm. 109.
  11. ^ Th. van den End & J. Weitjens (2019). Ragi Carita 2 : Sejarah Gereja di Indonesia Tahun 1860-an-Sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 197. ISBN 978-979-415-606-3. 
  12. ^ Surat J. Wismar Saragih dalam Jan Jahaman Damanik, Tunggul yang Bertunas (Tesis Magister Theologia STT HKBP -tidak dipublikasikan), Pematang Siantar, 1995, hlm.128-129.
  13. ^ Susukkara 2008, Kolportase GKPS, 2008, halaman 448
  14. ^ Paul Pedersen, Daerah Batak dan Jiwa Protestan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm. 106.
  15. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin L. Sinaga, "Tole! Den Timorlanden das Evangelium!", Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 2003, hlm. 232-234.
  16. ^ Juandaha Raya P. Dasuha, Martin Lukito Sinaga, Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!, Kolportase GKPS, 2003, hlm.229.
  17. ^ a b Sinaga, Martin Lukito (2018). Teologi Gereja Kristen Protestan Simalungun : Edisi Dwibahasa (Simalungun-Indonesia). Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 21–22. ISBN 978-602-231-524-7. 
  18. ^ a b Pdt. Minaria Sumbayak, S.Th & Jaiman Sumbayak (2007). In Memoriam Pdt. J. Wismar Saragih (7 Maret 1968-7 Maret 2007). Pematangsiantar: Terbitan Pribadi. hlm. 201–202. 
  19. ^ Peradaban Simalungun : Inti Sari Seminar Kebudayaan Simalungun se-Indonesia Pertama Tahun 1964. Pematangsiantar: KPBS (Komite Penerbit Buku Simalungun). 2011. hlm. 3–24. ISBN 978-602-19749-0-2.