Kiai Haji Muhammad Ilyas Ruhiat (31 Januari 1934 – 18 Desember 2007) adalah seorang ulama besar Nahdhatul Ulama dan pernah menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (1992-1999) dan lima ulama kharismatik Jawa Barat kelahiran Cipasung, Tasikmalaya

Muhammad Ilyas Ruhiat
Rais 'Aam Nahdlatul Ulama
Sebelum
Pendahulu
KH. Ahmad Shiddiq
Pengganti
KH. Sahal Mahfudz
Sebelum
Informasi pribadi
KebangsaanIndonesia
Suami/istriHj. Dedeh Tsamrotul Fuadah
HubunganAcep Adang Ruhiat (Adik)
Anak1. Drs. H. Acep Zamzam Noor

2. Dra. Hj. Neng Ida Nurhalida, M.Pd.

3. Dra. Hj. Enung Nursaidah Rahayu, M.Pd.
Orang tuaK.H. Ruhiat
Hj. Aisyah
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat Hidup

sunting

Pendidikan

sunting

Sebagai ulama yang cukup berpengaruh di kalangan NU, Ilyas hanya mengecap pendidikan formal selama 3 tahun di sekolah rakyat.

Namun Ilyas kecil tidak mau berhenti belajar. Semangat dan kegigihannya mempelajari segala hal, mendorong Ilyas mengambil kursus bahasa. Dua bahasa sekaligus dipelajarinya, Arab dan Inggris. Akhirnya dengan penguasaan bahasa Arab yang mumpuni, Ilyas muda mampu menguasai bidang ilmu Agama Islam.

Ilyas juga mendapat pendidikan pesantren, yakni di Pondok Pesantren Cipasung yang dipimpin ayahnya, KH Ruhiat. Sejak kecil, Ilyas berpembawaan tenang dan sejuk, namun diakui oleh para ulama di kalangan NU dan non-NU sebagai ulama yang cerdas.

Pada usia 9 tahun ia sudah menguasai kitab Jurumiyah (ilmu nahwu) dan pada usia 15 tahun dia telah menguasai kitab Alfiyah Ibnu Malik (Ilmu Sharaf yang dirakit dalam seribu bait syair).

Oleh karena itu sejak usia 15 tahun Ilyas sering dipercaya menggantikan ayahnya untuk mengajar. Ketika ayahnya ditangkap dan dipenjarakan oleh penjajah Belanda, Ilyaslah yang menggantikan posisi sang ayah sebagai guru di pesantren.

Kegiatan organisasi

sunting

KH Ilyas memulai kariernya di organisasi NU sejak tahun 1954 dengan terpilih sebagai Ketua NU Cabang Tasikmalaya.

Saat itu pun ia merangkap sebagai Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa barat. Kemudian pada tahun 1985-1989 ia terpilih sebagai Wakil Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Pada tahun 1989, saat muktamar NU di Krapyak, Ilyas menjadi salah seorang Rois Syuriah Pengurus Besar (PB) NU. Puncaknya, pada tahun 1994, pada muktamar ke-29 NU yang berlangsung di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Ilyas terpilih sebagai Rois Am PB NU, mendampingi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Ketua Umum PB NU.

Pada saat muktamar NU di Krapyak KH Ilyas menjadi salah satu anggota Rois Syuriah PBNU. Kemudian sejak Munas dan konferensi besar NU di Bandar Lampung tahun 1992, Ilyas ditunjuk sebagai pelaksana Rois Aam Syuriah NU menggantikan Rois Aam K.H. Ahmad Shiddiq yang wafat. Kemudian K.H. Ilyas kembali menjadi Rois Aam untuk periode berikutnya 1994-1999.

Teladan Ajengan Ilyas

sunting

Dalam sejarah tatar Sunda, daerah Tasikmalaya dulu dikenal dengan Kebataraan Galunggung (Tempat pembinaan para calon raja atau kesatria). Dalam khazanah budaya Sunda, dikenal adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih primordinal disebut negara. Dan alamat ketiga adalah rama yang tak lain adalah rakyat, yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan ketiga kesatuan tripartit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki pucuk pimpinan atau jawaranya sendiri-sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara eksekutif, dan jawara silat.

Sosok kharismatik ajengan Cipasung Tasikmalaya adalah sosok resi yang telah mensenyawakan dirinya dan mentalitas spiritualitas Islam secara natural dengan mentalitas budaya Sundanya di Cipasung. Dia bernama KH Moh Iyas Ruhiat. Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934. Namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37). Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda, sehingga pada 17 November 1941 dia ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan pada tanggal 10 Januari 1942 (h. 29). Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan masyarakat Cipasung.

Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung. Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian dia terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung. Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya dia sebagai seorang resi. Dan dia sampai saat ini, adalah satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah sekadar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya K.H. Hasjim Asy'ari, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri.

Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Dialah yang menjadi siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992. Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, K.H. Yusuf Hasyim, dan K.H. Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hasan berseteru, bahkan karena tidak terpilih, Abu Hasan akhirnya mendirikan NU tandingan bernama KPPNU, Ajengan Ilyas tampil lagi sebagai siger tengah yang mengembalikan keutuhan jam’iyyah dan jama’ah NU. Ketika warga NU digegerkan oleh Naga Hijau dan Ninja yang membantai warga Banyuwangi, dia bersama Gus Dur tampil dengan santun menyelesaikan konflik tersebut dengan damai. Dan ketika warga NU sedang bergairah era reformasi, dia juga merestui lahirnya PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai sekarang, walaupun kondisi fisik dia sudah sangat lemah, ketika warga NU diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, dia tetap bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU.

Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh bangsa. Karena di Jawa Barat dia juga sering memelopori dialog lintas agama dan linta sektoral. Dia selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, dia selalu menggendeng para pemuka agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, dia tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, dia tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri.[1]

Kehidupan Pribadi

sunting

Ayahnya adalah ulama besar di Kabupaten Tasikmalaya, K.H. Ruhiat dan ibunya Hj. Aisyah.

Pernikahan

sunting

K.H. Ilyas menikah dengan Hj. Dedeh Fuadah, sang istri melukiskan kenangan pernikahannya bahwa hal yang mengharukan, selama menikah tidak pernah Ilyas memarahi istrinya. "Selama 50 tahun hidup bersama, Apih (sebutan Ayah) ini tidak pernah membentak, atau memaki saya. Apih sayang sekali kepada kita, sabar serta penuh perhatian kepada kami atau kepada anak-anak. Selalu menghargai sikap saya, juga mengayomi, " ujarnya [2] dan memiliki tiga orang anak yaitu Acep Zamzam Noor, seorang sastrawan terkenal, Ida Nurhalida meraih master di UPI Bandung, dan si bungsu Enung Nursaidah Rahayu juga master pendidikan biologi.

Meninggal

sunting

Ia meninggal usia 73 tahun dan dimakamkan di Kediamannya di Kompleks Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya pada tanggal 18 Desember 2007 setelah menderita penyakit diabetes dan beberapa kali didera stroke. Tepat enam bulan setelah wafat isterinya Hj. Dedeh Fuadah pada bulan Juni 2007 lalu.[3]

Referensi

sunting

Catatan Kaki

sunting

Pranala luar

sunting
Jabatan organisasi Islam
Didahului oleh:
Ali Yafie
Rais Am Syuriah PB Nahdlatul Ulama
1992-1999
Diteruskan oleh:
Sahal Mahfudz