Evans v. United Kingdom

Evans v. United Kingdom (2007) merupakan kasus hukum yang diajukan melalui permohonan perempuan warga negara Britania Raya bernama Natalie Evans kepada Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa, untuk meninjau apakah Hukum Inggris yang mengatur tentang prosedur klinis fertilisasi in vitro telah melanggar Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.[1] Evans melalui kuasa hukumnya berargumen bahwa hukum Inggris telah melanggar tiga pasal dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 2, 8, dan 14,[2] tentang hak untuk hidup, hak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, dan hak atas kesempatan dan perlakuan yang sama atau antidiskriminasi. Dalam putusannya, Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa menetapkan tidak ditemukan adanya pelanggaran Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Putusan ini merupakan putusan dalam tingkat pengadilan tertinggi dan berarti Evans tidak dapat mengajukan banding atas kasusnya.

Evans menekankan pada pengujian Undang-Undang Fertilisasi Manusia dan Embriologi Tahun 1990 (bahasa Inggris: Human Fertilisation and Embryology Act 1990) yang dianggap merugikan dirinya.Undang-undang tersebut mengharuskan adanya persetujuan kedua belah pihak pendonor sel telur dan sperma dalam setiap tahapan fertilisasi in vitro,[3] dan apabila salah satu pihak menarik persetujuannya sebelum embrio tersebut ditanam dalam rahim wanita, maka pihak lain tidak bisa memiliki embrio tersebut.[3] Dalam kasus Evans v. United Kingdom, karena mantan pasangan Evans menarik persetujuannya, Evans tidak lagi memiliki hak untuk menghamili dirinya sendiri dengan embrio tersebut. Padahal ini adalah kesempatan terakhirnya untuk hamil karena indung telurnya telah diangkat pasca operasi akibat penyakit kanker yang dideritanya.[4]

Kasus ini merupakan kasus besar pertama dalam sejarah Britania Raya yang para pihaknya merupakan pasien penerima prosedur klinis fertilisasi in vitro, dan dianggap kasus penentu karena bukan hanya berpengaruh pada hukum Inggris tetapi juga akan menentukan hukum yang berlaku bagi pelaksanaan prosedur bayi tabung atau fertilisasi in vitro di negara Eropa lainnya.

Kronologi sunting

12 Juli 2000 sunting

Natalie Evans dan Howard Johnston (pasangannya) memulai perawatan fertilisasi in vitro di Bath Assisted Conception Clinic.[1]

10 Oktober 2001 sunting

Evans dan Johnston diinformasikan bahwa tes pendahuluan yang dilakukan terhadap Evans mengidentifikasi adanya tumor pra-kanker yang serius di kedua ovarium Evans, dan karena itu ia harus menjalankan operasi pengangkatan ovarium. Dalam konsultasi dengan tenaga medis, Evans dan Johnston diberitahukan bahwa karena tumor tumbuh perlahan, terdapat kesempatan untuk mengestrak beberapa sel telur untuk fertilisasi in vitro, tetapi hal ini harus dilakukan dengan cepat. Baik Evans dan Johnston kemudian sepakat untuk menandatangani formulir persetujuan wajib perawatan fertilisasi in vitro.

Tepat di bawah judul formulir ini tertulis klausul:

"Catatan: Jangan menandatangani formulir ini kecuali Anda telah menerima informasi tentang masalah ini dan telah ditawari konseling. Anda dapat mengubah ketentuan persetujuan ini setiap saat kecuali sehubungan dengan sperma atau embrio yang telah digunakan. Silahkan masukkan nomor atau centang kotak yang sesuai."

Johnston mencentang kotak yang mencatat persetujuannya untuk menggunakan spermanya untuk membuahi sel telur Evans secara in vitro dan penggunaan embrio yang dibuat untuk prosedur klinis dirinya dan Evans. Johnston juga mencentang kotak yang menandakan persetujuannya untuk menyimpan embrio yang dikembangkan secara in vitro dari spermanya untuk jangka waktu maksimum sepuluh tahun dan juga memilih sperma dan embrio tersebut untuk terus disimpan apabila ia mati atau menjadi cacat mental dalam periode itu. Evans juga menandatangani formulir serupa yang memuat persetujuannya terhadap sel telur dan embrio dalam tahapan prosedur klinis fertilisasi in vitro.

12 November 2001 sunting

Evans dan Johnston mendatangi klinik dan dilakukan prosedur pengambilan sel telur dan fertilisasi. Pada tindakan tersebut dua belas sel telur Evans berhasil diambil dan difertilisasi yang menghasilkan enam embrio .

26 November 2001 sunting

Evans menjalani operasi pengangkatan ovariumnya, dan diberitahu oleh tenaga medis bahwa ia harus menunggu dua tahun sebelum mencoba untuk menanamkan embrio ke rahimnya.

Juli 2002

Evans dan Johnston Johnston menghubungi klinik untuk menarik persetujuannya terhadap penggunaan atau penyimpanan lanjutan dari embrio. Klinik mengagap bahwa menurut hukum, tindakan Johnston tersebut harus dihormati sehingga mengarah pada penghancuran embrio. Evans kemudian menyiapkan gugatan ke Pengadilan Tinggi (bahasa Inggris: High Courts of England and Wales) untuk memperoleh hak penggunaan embrio,

1 Oktober 2003

Hakim Pengadilan Tinggi, Justice Wall menolak gugatan Evans atas Amicus Healthcare Ltd. dengan alasan IVF diatur oleh Undang-Undang, dan tunduk pada regulasi yang cermat, dan kedua bahwa hal itu memerlukan persetujuan dari kedua belah pihak secara keseluruhan.

8 Desember 2003

Evans mengajukan banding atas perkara Evans v. Amicus Healthcare Ltd pada Pengadilan Banding (bahasa Inggris: Court of Appeal of England and Wales)

Persidangan atas perkara banding Evans c. Amicus Healthcare Ltd dilakukan.

, banding atas kasus Evans v. Amicus Heathcare ltd ditolak,

Isu Hukum sunting

Prinsip Prommisory Estoppel sunting

Evans yang diwakili kuasa hukumnya menggunakan prinsip Promissory Estoppel pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Banding. Prinsip Promissory Estoppel kerap kali digunakan sebagai prinsip yang melindungi pihak-pihak dalam fase pra-kontrak, agar pihak lainnya memenuhi pernyataannya walaupun tidak diperjanjikan secara formal,[5] karena membahas mengenai pernyataan yang menjanjikan sesuatu, prinsip ini juga pernah digunakan oleh .. dalam fertilisasi in vitro. Charles YC Chew dalam bukunya yang berjudul Business Law: Guidebook, menyebutkan tiga unsur yang diperlukan agar prinsip ini dapat berlaku, yaitu sebuah pernyataan harus dibuat, pernyataan tersebut harus jelas baik tersurat maupun tersirat, dan pihak yang mengandalkan pernyataan tersebut harus menderita kerugian materiil karena pihak lainnya tidak melakukan pernyataan yang dijanjikan tersebut.[6]

Dalam persidangan tingkat pertama dan banding, Evans mengemukakan bahwa mantan pacarnya berjanji dan meyakinkan dirinya bahwa ia akan memiliki anak bersama Evans melalui prosedur fertilisasi in vitro. Karena pernyataannya tersebut, Evans tidak mencari alternatif lain untuk bisa hamil. Masalah hukum utama dalam kasus Evans v. United Kingdom adalah apakah persetujuan yang berikan di awal prosedur klinis memungkinkan klinik untuk tetap merawat Evans untuk fertilisasi in vitro setelah Johnston menarik kembali persetujuannya. Alasan utama Evans tidak bisa menyatakan bahwa ia mempunyai hak untuk menggunakan embrio mereka adalah karena Undang-Undang tentang Fertilisasi Manusia dan Embriologi Tahun 1990 mengatur tentang persetujuan para pihak dalam fertilisasi in vitro.

Pelanggaran Hak atas Hidup sunting


Referensi sunting

  1. ^ a b European Court of Human Rights (10 April 2007). "CASE OF EVANS v. THE UNITED KINGDOM (Application no. 6339/05)". HUDOC. Diakses tanggal 21 Juni 2021. 
  2. ^ "Evans v. United Kingdom (2007)". Unite for Reproductive Rights (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-26. 
  3. ^ a b United Kingdom (1/08/1991). "Consents to use of gametes or embryos (Human Fertilisation and Embryology Act 1990)". Legislation.gov.uk. Diakses tanggal 28/06/2021. 
  4. ^ Goodemote, Eric (2007). "Evans v. United Kingdom, 43 E.H.R.R. 21 European Court of Human Rights Case Summary". HeinOnline. Diakses tanggal 27 Juni 2021.  line feed character di |title= pada posisi 41 (bantuan)
  5. ^ R. Suharto (2017). "Penerapan Doktrin Promissory Estoppel dalam Pemenuhan Prestasi sebagai Akibat Adanya Perjanjian Anjak Piutang di Indonesia" (PDF). Diponegoro Law Review. vol. 6 (no. 2): 1–20. 
  6. ^ Chew, Charles YC (2008). Business Law: Guide Book. Australia: Oxford University Ppress. hlm. 45. ISBN 9780195593990.