Doketisme
Doketisme merupakan sebuah istilah yang menyatakan bahwa Yesus Kristus tidak sungguh-sungguh manusia, melainkan hanya tampak sebagai manusia.[1] Kata ini berasal dari bahasa Yunani dokein yang berarti tampak atau kelihatannya.[1] Doktrin ini mempertahankan bahwa Yesus Kristus hanya tampaknya saja mempunyai tubuh.[2] Maka dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Yesus Kristus hanya memiliki tubuh surgawi dan hanya berpura-pura saja menderita dan mati.[2] Doketisme bukanlah sebuah mazhab atau sekte, tetapi suatu cara berpikir tentang Yesus Kristus yang sejak zaman para rasul muncul dalam bentuk yang beraneka ragam.[2]
Makna
suntingIstilah ini pertama kali muncul dalam buku Sejarah Gereja oleh Eusebius.[3] Doketisme digunakan pada kekristenan perdana untuk menyangkal realitas inkarnasi Yesus secara fisik.[3] Titik tolak pemahaman ini adalah pandangan bahwa materi itu jahat, penyebab dosa dan tidak dapat dipersatukan dengan Putra Allah menjadi satu pribadi.[2] Segala sesuatu yang bersifat daging adalah jahat dan dapat mati sedangkan segala sesuatu yang bersifat ilahi adalah baik dan tidak dapat mati.[4] Bagi kaum Doketis, Yesus Kristus yang merupakan Juruselamat berasal dari keberadaan ilahi sehingga tidak mungkin benar-benar manusia.[4] Bersama ajaran Gnostik, Doketisme bermaksud untuk menjauhkan realitas penderitaan itu dari Sang Kristus.[5] Keilahian Kristus sangat ditekankan sehingga setiap aspek kehidupan-Nya di bumi hanya dianggap semu mulai dari kelahiran-Nya sampai kematian-Nya.[5] Pada awal abad kedua pandangan ini secara eksplisit ditentang oleh Ignatius dari Antiokhia.[6] Ia menganggap bahwa pemahaman ini adalah bidat.[6]
Asal mula
suntingPada dasarnya pandangan Doketis ini dipengaruhi oleh ajaran filsafat Yunani yang mempertentangkan unsur materi dan rohani.[7]
Plato
suntingSalah satu pemikiran filsafat Plato adalah mengenai dunia ide.[8] Menurut ajaran Plato mengenai ide ini sesuatu yang konkret atau bersifat kebendaan merupakan gambaran yang tidak sempurna.[8] Sedangkan yang sempurna itu adalah ide itu sendiri dan ide adalah ukuran untuk segalanya.[8]
Aristoteles
suntingAjaran Aristoteles mengenai metafisika adalah ajaran mengenai Allah.[8] Menurut Aritoteles sesuatu yang bergerak pasti digerakkan oleh penggerak yang lain dan untuk itu dibutuhkan penggerak pertama dari segala sesuatu yang tidak digerakkan oleh penggerak lain.[8] Penggerak dari segala sesuatu yang bergerak itu adalah Allah.[8]
Kedua pandangan filsafat ini dikombinasikan dengan ajaran Kristen tentang Kristus sehingga muncullah ajaran Doketis.[3]
Kelompok pendukung
suntingBasilides
suntingIa berpendapat bahwa Yesus memang telah dilahirkan dan hidup sama seperti manusia tetapi Ia didiami oleh Kristus hanya untuk sementara.[3] Basilides menolak penyaliban Yesus dengan berpendapat bahwa yang sebenarnya disalibkan adalah bukan Yesus tetapi Simon orang Kirene.[3] Menurutnya Yesus secara ajaib menyerupai diri seorang Simon orang Kirene dan tempatnya di kayu salib digantikan oleh Simon orang Kirene.[3]
Valentinus
suntingIa berpendapat bahwa Yesus yang diceritakan di dalam Injil-Injil hanyalah bersifat roh.[3] Yesus kelihatan memiliki tubuh tetapi sebenarnya hanya tubuh bayangan.[3] Bagi Valentinus tubuh Yesus berbeda dari tubuh manusia.[3] Yesus datang ke dalam dunia melalui Maria seperti air yang mengalir melalui satu saluran pipa dan tubuhnya tidak bersifat fisik.[3]
Cerdon
suntingIa adalah seorang doketis yang berpendapat bahwa Yesus tidaklah lahir dari anak dara Maria bahkan Ia tidak lahir sama sekali.[3] Yesus memang datang ke dalam dunia sebagai anak Allah tetapi tidak di dalam daging.[3]
Marcion
suntingSama halnya seperti Cerdon, Marcion berpendapat bahwa Yesus tidak pernah lahir namun secara tiba-tiba muncul dari surga pada tahun ke lima belas pemerintahan Tiberius.[3] Menurut Marcion Yesus bukanlah manusia dan tidak memiliki tubuh sama sekali sehingga ia juga menolak penderitaan dan kematian Yesus.[3]
Kelompok penentang
suntingIgnatius dari Antiokhia
suntingMenurut Ignatius, Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir dari anak dara Maria, dibaptis oleh Yohanes dan menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus.[3] Ia menegaskan bahwa Kristus adalah sekaligus Ilahi dan manusia.[9]
Ireneus
suntingIreneus menentang Doketisme dan hal tersebut tampak dalam karyanya yakni Melawan Bidaah.[2] Menurut Ireneus sebelum akhir abad kedua terdapat empat bentuk ajaran sesat yakni:[2]
- Manusia Yesus hanya untuk sementara waktu saja didiami oleh Sang Kristus yaitu sejak pembaptisan sampai penyaliban.[2]
- Kristus hanya memiliki tubuh semu saja.[2]
- Kristus mempunyai tubuh yang kelihatan tetapi bukan dari perawan (ex virgine), melainkan berasal dari surga melalui perawan (per virginem.[2]
- Oknum yang disalibkan saat peristiwa penyaliban bukanlah Kristus melainkan Simon orang Kirene.[2]
Ireneus bersama dengan Tertulianus bersama-sama menolak dan menyerang Doketisme ini.[10] Mereka sama-sama mempertahankan bahwa Yesus Kristus adalah benar-benar dan sungguh-sungguh manusia yang lahir, menderita dan mati di kayu salib.[10]
Referensi
sunting- ^ a b A. Heuken SJ. 2004, Ensiklopedia Gereja Jilid II. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. hlm. 76.
- ^ a b c d e f g h i j Nico Syukur Dister OFM. 2004, Teologi Sistematika 1 -- Allah Penyelamat. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 133, 187, 188.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o Samuel B. Hakh. 2003, Melihat Kemuliaan Tuhan. Jakarta: UPI STT Jakarta. hlm. 72.
- ^ a b (Indonesia)W.R.F. Browning. 2008, Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 83.
- ^ a b Van Niftrik & B.J Boland. 2008, Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 245.
- ^ a b A. Humbret. 2002, New Catholic Encyclopedia -- second edition. Washington: The Catholic University. hlm. 796-797.
- ^ (Inggris)James Hastings (ed). 1951, New York: Charles Scribner's Son. hlm. 833.
- ^ a b c d e f Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004, Yogyakarta: Kanisius. hlm. 48, 68.
- ^ (Indonesia)Michael Collins & Matthew A.Price. 2006, THE STORY OF CHRISTIANITY, Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 41.
- ^ a b (Indonesia)C. Groenen, OFM. 1988, Sejarah Dogma Kristologi. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 105.