Budaya tandingan (teologi)

Model budaya tandingan adalah salah satu model yang digunakan dalam teologi kontekstual yang berusaha terlibat dan relevan dengan konteks sambil setia pada Injil, juga berani untuk menantang dan mengubah konteks.[1] Menurut model ini, Kekristenan harus menjadi penolakan radikal dan menawarkan budaya tandingan terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat.[1] Model ini menyadari bahwa manusia dan ekspresi teologis hanya dapat hidup dalam situasi yang dikondisikan secara historis dan kultural, sambil juga kritis dan curiga terhadap konteks.[1] Model budaya tandingan bukanlah anti-budaya, malah ia melihat bahwa injil harus dikomunikasikan dalam budaya dan tidak melihat budaya sebagai sesuatu yang jahat.[2] Beberapa tokoh yang menganut model ini antara lain adalah Lesslie Newbigin, Michael Baxter, dan George Hunsberger.[1]

Namun, terdapat juga beberapa kecenderungan yang berbahaya atau kelemahan dalam model ini.[1] Pertama, adanya bahaya untuk menjadi anti-budaya, apabila para praktisi model ini terlalu menganggap budaya itu jahat, sehingga dapat terjadi pemusnahaan budaya seperti masa para misionaris dulu.[1] Kedua, ada kecenderungan menjadi sektarian, jika gereja terlalu memusatkan perhatian untuk membangun indentitasnya, tanpa terlibat ke tengah dunia.[1] Kecenderungan ketiga adalah bersifat monokultural, yaitu hanya relevan digunakan pada budaya Barat, dalam konteks orang kulit putih yang kaya.[1] Yang keempat adalah bahaya eksklusivisme Kristen atas agama-agama lain, karena terlalu menekankan dan terjebak pada superioritas Kristen dan narasi Kristen.[1]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i (Inggris) Stephen Bevans. 2002. Models of Contextual Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books.
  2. ^ (Inggris) George Hunsberger. 1998. Baering the Witness of the Spirit. Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans.