Bioluminesensi atau pendar hayati[1] adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup karena adanya reaksi kimia tertentu.[2] Hingga saat ini, bioluminesensi telah ditemukan secara alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti jamur, bakteri, dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi, dan mamalia.[3] Sebagian besar plankton memiliki kemampuan menghasilkan pendaran, terutama plankton yang hidup di perairan laut dalam.[3] Pada mikrob, bioluminesensi yang dihasilkan belum diketahui manfaatnya, sedangkan pada hewan umumnya digunakan sebagai sinyal kawin, predasi, dan perlindungan terhadap pemangsa.[3]

Pendar hayati yang dihasilkan jamur Panellus Stipticus.
Jamur mengeluarkan cahaya hijau di malam hari untuk menarik serangga dalam membantu menyebarkan spora jamur. Ikon flora Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Jawa Barat ini dikenal masyarakat setempat dengan sebutan “Supa Lumar”.

Banyak bakteri yang dapat menghasilkan bioluminesensi, umumnya diketahui kemudian bahwa seluruh bakteri tersebut tergolong ke dalam bakteri gram negatif, motil, memiliki morfologi batang, dan bersifat aerob atau anaerob fakultatif.[3] Bakteri-bakteri itu tersebar di daerah lautan, perairan tawar, dan tanah (terestrial).[3] Contoh bakteri penghasil bioluminesensi yang telah diteliti adalah genus Vibrio (V. harveyi, V. fischeri, V. cholera), Photobacterium (P. phosphoreum, P. leiognathi),semangat ya Xenorhabdus (X. luminescens), Alteromonas (A. haneda), dan shewanella aja nder yg enak dihafal wkwl.[3] Sementara itu, hanya sedikit cendawan yang diketahui dapat menghasilkan bioluminesensi, di antaranya adalah Armillaria mellea, Panellus Stipticus, Omphalotus nidiformis, dan Mycena spp.[3]

Sejarah bioluminesensi

sunting
 
Osamu Shimomura, peneliti bioluminesensi ubur-ubur.

Tulisan tertua tentang bioluminesensi dibuat 2500 tahun yang lalu oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Tentang Warna".[2] Aristoteles menyebutkan bahwa ada sesuatu yang secara alami seperti bagian kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan cahaya atau pendaran.[2]

Pada tahun 1887, Raphaël Dubois berhasil mengisolasi lusiferin (substrat untuk reaksi bioluminesensi) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock, sejenis remis laut.[2] Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh Edmund Newton Harvey yang menyatakan bahwa senyawa lusiferin dan lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup tidak dapat ditukar.[2]

Pada tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris mempublikasikan penelitiannya tentang reaksi bioluminesensi pada fungi yang memerlukan udara.[2] Laporan berikutnya menyebutkan bahwa oksigen merupakan komponen udara yang berperan dalam reaksi tersebut.[2]

Penelitian tentang bioluminesensi berkembang pesat setelah Osamu Shimomura, seorang ahli biologi kelautan dan kimia organik, berhasil meneliti tentang protein yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada spesies ubur-ubur Aequorea victoria yang disebut dengan aequorin.[4] Protein tersebut akan berikatan dengan ion kalsium dan menghasilkan cahaya biru yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur.[4] Pada tahun 1985, aequorin berhasil dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan sejak itu aplikasi bioluminesensi mulai banyak diteliti.[4]

Fungsi bioluminesensi

sunting

Pertahanan

sunting
 
Noctiluca scintillans, salah satu dinoflagelata yang mampu menghasilkan bioluminesensi.

Setiap makhluk hidup yang mampu menghasilkan luminesensi untuk tujuan atau fungsi yang berbeda-beda.[5] Sebagian makhluk hidup memanfaatkannya untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi yang berpendar untuk mengejutkan predator yang mendekatinya sehingga memberikan kesempatan kepadanya untuk melarikan diri dari predator.[6] Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda, dan ikan menggunakan pendaran untuk melakukan kamuflase dalam menghindari predator.[3] Mekanisme pertahanan seperti ini disebut dengan penyamaran dengan sinar (kontrailuminasi) yang membuat suatu makhluk hidup tidak terlihat atau tersamarkan di antara sinar lain di lingkungan perairan.[3] Pada spesies bintang ular laut, cacing laut, dan organisme bioluminesensi di daratan, mereka memiliki mekanisme pertahanan yang disebut aposematisme, yaitu menghasilkan pendaran untuk menandakan bahwa makhluk tersebut memiliki toksik (beracun) atau tidak enak dimakan sehingga predator akan menghindarinya.[7]

Pendaran pada larva kunang-kunang juga merupakan salah satu bentuk aposematisme yang melindunginya dari predator karena akan dikenali sebagai makanan yang tidak enak atau tidak menguntungkan.[8]

Beberapa organisme di laut takut untuk memakan zooplankton karena sebagian besar zooplankton memiliki pendaran yang tetap dapat terlihat saat mereka berada di dalam perut pemangsanya.[6] Akibatnya organisme yang memakan zooplankton tampak berpendar dan ini membuatnya mudah dikenali dan diburu oleh predator yang lebih tinggi tingkatannya.[6] Fenomena ini terlihat pada peristiwa dinoflagelata yang menjadi makanan udang misid. Udang tersebut akan tampak berluminesensi karena di dalam tubuhnya terdapat dinoflagelata berpendar sehingga ikan Porichthys notatus dapat lebih mudah memburu dan memakan udang itu.[3]

Predasi

sunting

Selain sebagai mekanisme pertahanan, bioluminesensi pada makhluk hidup juga banyak dimanfaatkan untuk memburu mangsa (predasi), di antaranya adalah ikan angel dan hiu Isistius brasiliensis yang menggunakan luminesensi untuk menarik mangsa mendekat.[6]

Hiu I. brasiliensis memiliki bagian bawah rahang yang berpendar dan tampak seperti siluet yang dihasilkan dari penyamaran dengan sinar, akibatnya cumi dan ikan akan mendekat karena mengira siluet tersebut merupakan penyamaran dari mangsa mereka.[9] Setelah cumi atau ikan mendekati rahangnya, akan lebih mudah untuk hiu ini dalam menangkap makanannya.[9] Hal serupa juga dilakukan oleh paus sperma (Physeter macrocephalus) yang secara intensif menghasilkan pendaran saat berburu mangsa di perairan laut dalam yang gelap.[3] Mangsa yang berupa cumi-cumi akan datang mendekati bagian mulut paus sperma yang berpendar dan saat itulah paus ini menangkap mangsanya.[3]

 
Photinus pyralis, salah satu spesies kunang-kunang yang dapat berpendar.

Sinyal kawin

sunting

Berbagai spesies kunang-kunang memanfaatkan bioluminesensi sebagai sinyal kawin.[5] Setiap spesies memiliki pola dan warna pendaran yang berbeda.[5] Umumnya, kunang-kunang jantan yang terbang rendah akan memulai memancarkan pendaran untuk menarik perhatian lawan jenisnya.[5] Selanjutnya, dalam kurun waktu tertentu kunang-kunang betina akan membalas sinyal tersebut dengan pola pendaran spesifik yang berbeda.[5] Salah satu kunang-kunang dari genus Photuris dapat meniru dan menghasilkan pendaran yang sama seperti yang dimiliki spesies kunang-kunang lainnya.[5] Akibatnya pejantan atau betina dari spesies lain dapat salah mengenali dan mendekati Photuris[5] Hal ini dimanfaatkan Photuris untuk memangsa spesies kunang-kunang lainnya.[5] Seperti halnya kunang-kunang, sejenis cacing di lautan Bermuda yang disebut Odontosyllis enopla juga menggunakan bioluminesensi untuk menarik pasangannya.[6] Cacing betina akan mengeluarkan lendir berpendar untuk menarik pejantan[6] Ketika cacing jantan datang, cacing betina akan mengeluarkan telur dan jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi.[6]

Reaksi bioluminesensi

sunting

Secara umum, reaksi bioluminesensi melibatkan enzim lusiferase dan substrat lusiferin yang strukturnya dapat berbeda antara organisme yang satu dengan lainnya.[5] Berikut ini adalah beberapa jenis lusiferin yang telah diketahui mekanisme dan strukturnya.

Bakteri

sunting

Reaksi yang menyebabkan terjadinya pendaran pada bakteri adalah sebagai berikut:

 .

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan dan merupakan oksidasi senyawa riboflavin fosfat (FMNH2) (lusiferin bakteri) serta rantai panjang aldehida lemak hingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang dikatalisis oleh enzim lusiferase.[10] Luciferase adalah suatu enzim heterodimer berukuran 77 kDa yang terdiri dari dua subunit, yaitu subunit alfa (α) dan subunit beta (β)[10] Subunit α (~40 kDa) disandikan oleh gen luxA, sedangkan subunit β (~37 kDa) disandikan oleh gen luxB.[10] Selain luciferase, masih terdapat beberapa enzim lain yang terlibat dalam keseluruhan reaksi ini dan ekspresi enzim-enzim tersebut diatur oleh suatu operon yang disebut operon lux.[10]

Enzim lusiferase akan mempergunakan substrat senyawa aldehida yang disintesis di dalam sel dengan bantuan multienzim yang disebut kompleks enzim aldehida lemak reduktase (fatty aldehyde reductase complex).[10] Kompleks enzim ini terdiri dari tiga subunit enzim yaitu redutase, transferase, dan sintetase yang masing-masing disandikan oleh gen luxC, luxD, dan luxE.[10] Subunit transferase akan mengkatalisis pemindahan grup lemak asil yang teraktivasi ke air, oksigen, dan akseptor tiol.[10] Kedua subunit lainnya, yaitu reduktase (~54 kDa) dan sintetase (~42 kDa)akan mengkatalisis reduksi senyawa asam lemak menjadi aldehida dengan reaksi sebagai berikut:

RCOOH + NADPH + ATP --> RCHO + NADP + AMP + PPi.

Komponen sistem bioluminesensi lainnya adalah flavoprotein yang disandikan oleh gen luxF.[10] Protein ini hanya ditemukan pada Photobacterium dan fungsinya belum diketahui tetapi dari sekuens asam aminonya, diketahui bahwa protein ini homolog dengan lusiferase.[10] Pada bakteri juga ditemukan luxG yang diduga memiliki peranan dalam reaksi bioluminesensi untuk bakteri yang hidup di lingkungan perairan.[10] Khusus untuk V. harveyi, juga ditemukan luxH yang berperan dalam sistem luminesensinya.[10] Operon lux bekerja dibawah pengaruh protein regulator yang berupa protein reseptor (luxR) dan autoinduser (luxI).[10]

Selain protein-protein yang disandikan oleh operon lux, masih terdapat 4 protein lain yang memengaruhi reaksi bioluminesensi, yaitu lumazine, protein fluoresensi kuning, flavin reduktase, dan aldehida dehidrogenase.[10] Lumazine yang ditemukan pada Photobacterium dan Vibrio berfungsi memperpendek panjang gelombang yang dihasilkan dari emisi cahaya (<490 nm), sedangkan protein fluoresensi kuning berfungsi mengubah panjang gelombang cahaya menjadi 540 nm pada V. fischeri sehingga cahaya yang diemisikan mengalami perubahan warna.[10] Flavin reduktase dapat mengkatalisis reduksi FMN menjadi FMNH2 sehingga substrat tersedia terus-menerus karena diregenerasi.[10] Yang terakhir adalah enzim aldehida dehidrogenase yang berperan dalam degradasi senyawa aldehida.[10]

 
Struktur lusiferin dinoflagelata.

Dinoflagelata

sunting

Pada dinoflagelata, substrat lusiferin yang berperan adalah tetrapirol yang mirip dengan klorofil namun berbeda pada ion metalnya.[11] Struktur lusiferin yang seperti hampir sama juga ditemukan pada sejenis udang yang bergenus euphausiid.[11] Pada salah atu genus dinoflagelata yaitu Gonyaulax, diketahui bahwa pada pH 8 molekul lusiferinnya akan berikatan dan dilindungi oleh protein pengikat lusiferin.[3] Namun begitu terjadi perubahah pH menjadi ± 6, luciferin akan mengalami perubahan konformasi dan mengakibatkan sisi aktinya bebas dan dihasilkan pendaran cahaya.[3]

 
Struktur coelenterazine.

Coelenterazine

sunting

Coelenterazine adalah jenis lusiferin dengan struktur imidazopyrazinone yang sangat banyak ditemukan pada makhluk hidup, terutama di lingkungan perairan.[3] Telah diketahui bahwa ada 6 filum makhluk hidup yang menggunakan lusiferin jenis ini, di antaranya adalah kopepoda, radiolaria, ctenophore, cnidarian, cumi, serta beberapa jenis ikan dan udang.[3] Selain lusiferase, lusiferin jenis ini memiliki fotoprotein yang disebut aequorin untuk membantu penghasilan emisi cahaya.[3]

 
Struktur lusiferin ostracod.

Ostracod

sunting

Substrat lusiferin pada ostracod (sejenis udang-udangan) berhasil dikristalisasi dan dikarakterisasi pertama kali pada tahun 1957.[3] Lusiferin jenis ini banyak terdapat pada genus Cypridina dan Vargula, serta beberapa jenis ikan.[3] Para peneliti menyatakan bahwa lusiferin ostracod disintesis dari asam amino triptofan, arginin, dan isoleusin namun jalur metabolisme pembuatannya masih belum diketahui.[3] Diperkirakan bahwa mekanisme reaksi luminesensi pada beberapa ikan tergantung dari makanannya.[5] Beberapa jenis ikan dapat berhenti berpendar apabila kekurangan makanan.[3]

 
Struktur lusiferin pada kunang-kunang.

Kunang-kunang

sunting

Kunang-kunang (Photuris) menggunakan substrat berupa D-lusiferin untuk menghasilkan pendaran.[12] D-lusiferin akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan energi dari ATP sehingga dihasilkan emisi cahaya.[12] Kunang-kunang juga memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi D-lusiferin yang dapat digunakan kembali sebagai substrat.[12] Selain D-lusiferin, senyawa L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat bagi kunang-kunang untuk menghasilkan pendaran.[13]

Penerapan bioluminesensi

sunting

Adanya penemuan tentang bioluminesensi telah dimanfaatkan manusia di dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang tersebut bioluminesensi dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang disebut bioluminescence imaging (BLI).[14] Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat dapat ditentukan.[14] Temuan ini juga dapat mempermudah riset mengenai perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit tersebut karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.[14] Selain itu, bioluminesensi juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia.[15] Penggunaan bioluminesensi sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman transgenik hasil rekayasa genetika.[16] Salah satu penelitian yang telah dilakukan adalah penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut.[16] Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat digunakan untuk pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan atau kontaminan tertentu di lingkungan.[17] Salah satu contoh yang telah diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik organotin.[17] Dalam industri makanan, bioluminesensi yang memanfaakan penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi mikrob patogen yang terkandung di dalam makanan.[18]

Rujukan

sunting
  1. ^ (Indonesia) Arti kata pendar hayati dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ a b c d e f g (Inggris) Vincent Pieribone, David F. Gruber (2006). Aglow in the Dark: The Revolutionary Science of Biofluorescence. Belknap Press. ISBN 978-0-674-01921-8. Hal. 11-21
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u (Inggris) Steven H.D. Haddock, Mark A. Moline, James F. Case (2010). "Bioluminescence in the Sea". Annual Review of Marine Science. 2: 443–467. doi:10.1146/annurev-marine-120308-081028. 
  4. ^ a b c (Inggris) Osamu Shimomura (2006). Bioluminescence: Chemical Principles And Methods. World Scientific Publishing Company. ISBN 978-981-256-801-4. 
  5. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) John G. Burr (1985). Chemi- and bioluminescence. CRC Press. ISBN 978-0-8247-7277-2. Hal.321-323;331-332
  6. ^ a b c d e f g (Inggris) James B. Wood, Kim Zeeh. "Marine Animal Bioluminescence: A host of simple and complex marine animals light up their world and ours with bioluminescence" (PDF). 
  7. ^ (Inggris) Raphaël De Cock, Erik Matthysen (1999). "Aposematism and Bioluminescence: Experimental evidence from Glow-worm Larvae(Coleoptera: Lampyridae)" (PDF). Evolutionary Ecology. 13: 619–639. doi:10.1023/A:1011090017949.  [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ (Inggris) Todd J. Underwood, Douglas W. Tallamy, John D. Pesek (1997). "Bioluminescence in firefly larvae: A test of the aposematic display hypothesis (Coleoptera: Lampyridae)". Journal of Insect Behavior. 10: 365–370. doi:10.1007/BF02765604. 
  9. ^ a b (Inggris) Widder EA (1998). "A predatory use of counterillumniation by the squaloid shark, Isistius brasiliensis". Environmental Biology of Fishes 53. 53: 267–273. 
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p (Inggris) Edward A. Meighen (1991). "Molecular Biology of Bacterial Bioluminescence" (PDF). Microbiological review. 55 (1): 123–142. 
  11. ^ a b (Inggris) Frank TM, Widder EA, Latz MI, Case JF. (1984). "Dietary maintenance of bioluminescence in deep-sea mysid" (PDF). J. Exp. Biol. 109: 385–389. 
  12. ^ a b c (Inggris) Keiko Gomi, Naoki Kajiyama‡ (2001). "Oxyluciferin, a Luminescence Product of Firefly Luciferase, Is Enzymatically Regenerated into Luciferin". Journal of Biological Chemistry. 276: 36508–36513. doi:10.1074/jbc.M105528200. 
  13. ^ (Inggris) Nicolas LEMBERT (1996). "Firefly luciferase can use L-luciferin to produce light" (PDF). Biochem. J. 317: 273–277. 
  14. ^ a b c (Inggris) Dikmen, Z. G. Gellert, G. Dogan, P. Mason, R. Antich, P. Richer, E. Wright, W. E. Shay, J. W. (2005). "A New Diagnostic System in Cancer Research: Bioluminescent Imaging (BLI)" (PDF). Turk J Med Sci. 35: 65–70. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2008-10-15. 
  15. ^ (Inggris)Wilson K., Yu J., Lee A., Wu J.C. (2008). In vitro and in vivo Bioluminescence Reporter Gene Imaging of Human Embryonic Stem Cells. JoVE. 14. http://www.jove.com/index/Details.stp?ID=740, doi: 10.3791/740.
  16. ^ a b (Inggris) David W. Ow, Jeffrey R. De Wet, Donald R. Helinsky, Stephen H. Howell, Keith V. Wood, Marlene Deluca (1986). "Transient and Stable Expression of the Firefly Luciferase Gene in Plant Cells and Transgenic Plants". Science. 234. no. 4778, pp. 856 - 859: 856 – 859. doi:10.1126/science.234.4778.856. 
  17. ^ a b (Inggris) J.G. Bundy, J.L. Wardell, C.D. Campbell, K. Killham, G.I. Paton (1997). "Application of bioluminescence-based microbial biosensors to the ecotoxicity assessment of organotins". Letters in Applied Microbiology. 25: 353–358. [pranala nonaktif permanen]
  18. ^ (Inggris) M. W. Griffiths (1993). "Applications of Bioluminescence in the Dairy Industry" (PDF). J Dairy Sci. 76: 3118–3125. 

Bacaan lanjutan

sunting

Pranala luar

sunting