Bendung Glapan
Bendung Glapan adalah sebuah bendung yang terletak di Glapan, Gubug, Grobogan, Jawa Tengah. Bendung ini dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda mulai tahun 1852 hingga 1859.
Hingga tahun 2015, total luas lahan pertanian di Grobogan dan Demak yang dapat diairi oleh bendung ini mencapai 18.740 hektar.[1] Bendung ini kini dikelola oleh pemerintah pusat melalui BBWS Pemali Juana, dengan operasional dan pemeliharaannya diperbantukan kepada pemerintah provinsi setempat.
Sejarah
suntingLatar belakang
suntingDemak telah lama dikenal sebagai daerah yang sangat datar, sehingga pengaliran air dari daerah ini ke Laut Jawa secara alami tidak lancar. Keadaan tersebut menjadi makin parah setelah Herman Willem Daendels membangun Jalan Raya Pos yang ternyata makin menyulitkan pengaliran air ke laut. Sejajar dengan Jalan Raya Pos dari Semarang ke Demak, kemudian juga dibangun saluran pelayaran (prauwvaart kanaal) yang umum dijumpai di Eropa. Namun, di Eropa tidak ada hujan tropis yang dapat menurunkan banyak air dalam waktu singkat, sementara di Demak, hujan tropis rutin terjadi sesuai musimnya. Saluran pelayaran yang dibangun untuk memfasilitasi lalu lintas pelayaran kemudian juga tidak dapat berkembang sesuai harapan. Saluran tersebut pun berubah fungsi menjadi penampung bagi air banjir yang datang dari arah selatan. Namun, karena saluran pelayaran tersebut sangat datar, maka daya tampungnya juga sangat terbatas.[2]
Untuk mengatasi banjir, pada tahun 1836, telah dibangun tanggul di sepanjang Sungai Tuntang. Namun, keadaan tidak banyak berubah, karena pemerintah Hindia Belanda telah menjual lahan-lahan di Demak ke pihak swasta, yang kemudian melindungi lahan miliknya dengan membangun tanggul, sehingga makin menyulitkan pengaliran air ke laut. Walaupun di musim hujan terjadi banjir, masyarakat di Demak tetap kesulitan untuk mendapat air di musim kemarau, sehingga muncul istilah "Nek rendeng wong Demak ora biso ndodok, nek ketiga ora bisa cewok" (Bahasa Jawa: Di musim hujan, warga Demak tidak bisa jongkok [untuk buang air besar], tapi di musim kemarau, tidak bisa membilas [setelah buang air besar]). Pada tahun 1848 dan 1849, terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen, sehingga terjadi bencana kelaparan yang menyebabkan lebih dari 200.000 orang meninggal, belum termasuk hewan ternak yang mati karena tidak sempat diungsikan ke daerah lain. Banyak yang menyatakan bahwa bencana tersebut tidak hanya terjadi akibat iklim yang kering, tetapi terutama akibat kebijakan Tanam Paksa dari pemerintah, yang membuat masyarakat terlalu fokus menanam tanaman ekspor.[2]
Pembangunan
suntingPemerintah Hindia Belanda kemudian berniat mengembangkan irigasi di Grobogan dan Demak, agar kegiatan pertanian di sana tidak terlalu bergantung pada iklim. Bendung Glapan lalu mulai dibangun di Sungai Tuntang pada tahun 1852 dan dapat diselesaikan pada tahun 1859. Di sekitar Bendung Glapan tidak dapat diperoleh batu yang cukup, sehingga pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan klinker dari Belanda dengan menggunakan kapal dan kemudian dipikul ke lokasi pembangunan bendung ini.[2]
Air yang terbendung oleh bendung ini lalu belum dapat langsung dimanfaatkan, karena jaringan saluran irigasi di sisi kanan dan kiri dari bendung ini baru dapat diselesaikan antara tahun 1880 hingga 1890. Itupun karena pada tahun 1873 hampir terjadi bencana kelaparan lagi.[2]
Referensi
sunting- ^ "Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 14/PRT/M/2015". Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. 2015. Diakses tanggal 29 Januari 2023.
- ^ a b c d Angoedi, Abdullah (1984). Sejarah Irigasi di Indonesia. Bandung: Komite Nasional Indonesia untuk ICID.