Baturijal Hilir, Peranap, Indragiri Hulu

kelurahan di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau

Kenegerian Baturijal terdiri dan dua kampung, yaitu Baturijal Hulu dan Baturijal Hilir. Masing-masing mempunyai Penghulu. Struktur kenegerian dan kepenghuluan ini tidak sesuai dengan struktur kepemerintahan Republik Indonesia, sehingga dihilangkan. Hanya ada 4 orang yang sempat menjadi Wali Negeri, yaitu; Khalil Alie, Mohamad Nuh, Raja Eman dan Saidina AH. Setelah itu, tidak ada lagi jabatan Wali Negeri. Sedangkan kampung Baturijal yang dimaksudkan dalam buku ini, adalah Baturijal secara keseluruhan, eks Kenegerian Baturijal, mencakup Baturijal Hulu dan Baturijal Hilir.Baturijal yang berada di tepi Batang Kuantan itu, mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

Baturijal
Negara Indonesia
ProvinsiRiau
KabupatenIndragiri Hulu
KecamatanPeranap
Kode pos
29354
Kode Kemendagri14.02.05.1008 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²
Peta
PetaKoordinat: 0°31′12″S 101°57′8″E / 0.52000°S 101.95222°E / -0.52000; 101.95222


a. Batas wilayah Baturijal Hulu yaitu: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Kampar dan Pelalawan. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Silunak Kec. Peranap. - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pesikaian Kec. Cerenti. - Sebelah Timur berbatasan dengan Baturijal Hilir Kec. Peranap. b. Batas wilayah Baturijal Hilir yaitu: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Kampar dan Pelalawan. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Silunak Kec. Peranap. . - Sebelah Barat berbatasan dengan Baturijal Hulu Kec. Peranap. - Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Peranap.

Di kenegerian Baturijal ini ada tigapulau, merupakan timbunan pasir di tepi Batang Kuantan, yaitu; Pulau Baru, Pulau Jambu dan Pulau Raman. Karena Pulau Raman berada di tengah Batang Kuantan, disebut juga Pulau Tengah. Pulau ini ada ketika ayek usak (air dangkal) pada musim kemarau. Pada waktu ayek dalam, pulau-pulau dimaksud tenggelam. Pulau ini begitu luas, panjangnya mencapai 500 meter bagian paling lebar mencapai 100 meter, dapat dijadikan lapangan bermain sepak bola.

Selain pasir, ada juga bebatuan. Sedangkan lokasi yang banyak batu - besarnya sekitar kepalan-kepalan tinju, hanya di sekitar Gaung Kecil, sebelah hulu di tebing tinggi sedangkan sebelah hilir sampai ke Gaung Besar. Batu ini tidak ada di tempat lain. Konon di tengah Batang Kuantan, tidak jauh dari Gaung Kecil dekat tebing tinggi yang penuh kaghak, ada sebuah batu besar, seperti "induk" batu-batu tadi. Garis tengahnya melebihi satu meter. Batu itu dipercayai "hidup", namun diam tidak bergerak. Batu itu setia sampai hijau berlumut menunggu lubuk -tempat paling dalam. Tempat ini merupakan perbatasan antara Baturijal Hulu dan Baturijal Hilir.

Diceritakan pula bahwa batu hijau berlumut itu pernah bertarung dengan batu yang datang dari Jambi. Begitu perkasanya, menyebabkan batu yang datang dari Jambi sempat patah. Batu yang ada di Baturijal merupakan batu perkasa.

Berdasarkan kata-kata, Baturijal terdiri dari batu dan rijal. Batu dikaitkan dengan batu besar yang berada di Gaung Kecil itu. Sedangkan rijal dari bahasa Arab, rijaalun, berarti laki-laki. Baturijal berarti batu jantan. Kalau ada batu jantan, tentu ada batu betina. Sampai sekarang belum ada penjelasannya, kalau memang ada, di mana batu betina itu berada.

Ditinj au dari sudut bahasa, dialek Baturijal mempunyai kemiripan dengan dialek Jambi, mungkin yang memberi nama Baturijal adalah pendatang dari Jambi, penduduk dari desa yang juga bernama Baturijal.

Selain dialek, khsususnya dalam melafazkan huruf R yang sama, ada kata-kata yang sfecifik, tidak dijumpai di tempat lain kecuali di Jambi, yaitu kata ganti Ngan dan Kan. Penggunaan Ngan dan Kan ini menimbulkan keyakinan bahwa penduduk Baturijal, berasal dari Jambi. Untuk mengenang daerah asal, maka mereka member! nama Baturijal pula di tempat yang baru mereka menetap.

Melihat Baturijal secara geografis, memang dekat dengan wilayah Jambi. Kabupaten Inderagiri, berbatasan langsung dengan Jambi, sedangkan Baturijal hanya di tengahi oleh Silunak, Pematang. Silunak sendiri sudah berbatasan dengan Jambi. Kemungkinan penduduk Baturijal merupakan pendatang dari Jambi sangat besar. Konon memang ada nama desa di Jambi itu bernama Baturijal. Mereka yang berasal dari Baturijal itulah yang memberi nama tempat tinggal mereka yang baru dengan nama Baturijal.

Pendatang di Baturijal, bukan dari Jambi saja. Juga dari etnis Jawa. Mereka banyak dijumpai di Baturijal Hilir, tepatnya dekat Gertak Templong, di bawah legheng Peta. Mereka masih menggunakan adat istiadat Jawa. Penduduk desa Baturjal mengenal pecal, dari mereka ini. Sebelumnya tidak kenal apa itu pecal. Padahal bahannya di Baturijal itu sangat banyak, seperti kacang panjang, nangka muda, pucuk ubi, kangkung danpelayau.

Seperti halnya di Lampung, terutama di Lampung Tengah dekat kota Metro, kita akan menemukan suasana seperti sedang berada di kota Tegal, Jawa Tengah. Suasana waning, adat istiadat dan bahasanya menggunakan bahasa Jawa, dialek Tegal. Sebagai daerah tujuan transmigrasi, nama-nama kota di Lampung banyak yang sama dengan nama kota-kota di pulau Jawa. Mungkin, nama Baturijal juga demikian. Meskipun menurut Islam, nama itu sangat penting, tetapi penduduk Baturijal sendiri tidak mempermasalahkan dari mana asal muasalnya. Apalah arti sebuah nama.

Dari kata Baturijal, batu berkonotasi keras, sedangkan laki-laki berarti menjadi pemimpin, bersifat jantan, bersikap keras. Dari kata-kata jantan ini dikait-kaitkan, penduduk desa Baturijal bersifat dan berkemauan keras, berani serta bertanggung jawab. Keberanian itu menyebabkan banyak yang merantau.

Baturijal adalah sebuah dusun kecil di Wilayah Onderdistrick van Peranap terletak di tepi Batang Kuantan Onderdistrick Peranap ibu kotanya Peranap tempat kedudukan Sutan Muda, wakil Raja Indragiri (Sultan Mahmud Syah) berkedudukan di Rengat.

Baturijal adalah salah satu desa dari Tiga Lorong (tiga negeri) terdiri dari desa Batirijal Hulu, Baturijal Hilir, dan Pematang/Selunak. Desa Tiga Lorong ini adalah sebuah wilayah yang diberikan oleh Sultan Indragiri atas jasanya menentang Raja Dubalang yang ingin menaklukan Indragiri (pada waktu itu) yang datang dari daerah Sumpur Kudus (Sumatera Barat). Oleh karena itu, para pemimpin Baturijal sangat disegani oleh Sultan Indragiri.

H. Harmaini Yusuf menulis untuk buku Sejarah Muhammadiyah Provinsi Riau cetakan ke-2, menyebutkan asal usul nama Baturijal. Konon menurut Konsel Muhammadiyah Indragiri Dr. Umar Amin Husin dari Taluk Kuantan pada waktu itu (1936), nama "Baturijal" berasal dari Bahasa Arab yaitu bait dan rijal, yang berarti tempat bermukimnya para pemimpin. Pernyataan Umar Amir Husin dari Taluk Kuantan tersebut dikuatkan oleh pernyataan H. Darwis Rauf (1956) yang merupakan kepala KUA Kecamatan Peranap.

Ciri khas masyarakat Baturijal itu adalah sangat keras terhadap kezaliman (Ibarat seperti batu) dan Junak seperti bubur kalau sudah berhadapan dengan kebenaran dan keadilan, terbuka, toleran, dan suka bergaul.

Mata pencaharian pokok masyarakatnya ialah berkebun karet, bersawah, dan menangkap ikan. Kebun karetnya sangat luas dan hasilnya lumayan. Antara tahun 1935-1940 banyak masyarakatnya menunaikan Rukun Islam yang ke-5 yailu naik haji ke Mekah al Mukaromah. Masyarakatnya beragama Islam bermazhabkan Syafi'iyah, pelaksanaannya bercampur aduk dengan adat istiadat turun temurun. Penyakit TBC merajalela (Taqlid, Bid'ah, Churafah), pengetahuan agama sangat dangkal dan tertutup bagi pembaharuan.

Ada hubungan khusus antara Baturijal dengan Kerajaan Inderagiri, menarik untuk dikaji. Sebuah kerajaan Minangkabau bernama Pagaruyung, tidak berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain, ingin memperluas kekuasaannya. Di bawah pemerintahan Sultan Muning (1720 -1770) sangat bernafsu mengembang wilayah kekuasaan ke daerah lain. Tersebutlah Datuk Rajo Dobalang di bawah kekuasaan Raja Pagarruyung, melakukan ekspansi ke arah timur yaitu ke wilayah Kuantan. Datuk Rajo Dobalang ini terkenal kezalimannya. Suka meramaikan perjudian dan sabung ayam, melarikan isteri orang dan anak-anak gadis untuk memuaskan hawa nafsunya. Rakyat cemas dan ketakutan, namun tak dapat berbuat apa-apa.

Raja Inderagiri waktu itu Raja Hasan bergelar Sultan Salahuddin Syah (1735 - 1765) yang berkedudukan di Pekan Tua, ada juga yang menyebutkan di Kota Lama, gusar mendengar tingkah polah Rajo Dobalang yang zalim itu. Raja Inderagiri khawatir, Rajo Dobalang sampai ke Inderagiri akan mengganggu ketenteraman rakyatnya yang aman dan damai. Untuk mencegahnya, Raja mudik menuju Peranap. Di Peranap menemui Penghulu-penghulu sekitarnya minta dicarikan hulubalang untuk menghentikan ekspansi Rajo Dobalang. Begitu perkasanya, sampai ke Teluk Kuantan, Baserah dan Cerenti, Rajo Dobalang tidak mendapat perlawanan. Rajo Dobalang, dengan leluasa menguasai dan menjarah wilayah itu. Rajo Dobalang semakin ganas, bemafsu untuk meneruskan ekspansinya ke Kerajaan Inderagiri. Setelah Cerenti, selangkah lagi, sampai di Baturijal. Hati penduduk Baturijal pun bangbok, penuh kekhawatiran, gegham, takut dan benci luar biasa, bercampur baur terhadap Rajo Dobalang dari Minangkabau yang zalim.

Dalam pencarian hulubalang, Penghulu-penghulu itu sampai ke Simpang Kiri, menemukan serpihan-serpihan tarahan kayu. Berarti di situ ada kehidupan. Akhirnya, Penghulu pun bertemu dengan Tiga Beradik yaitu; Tiala dengan Saudaranya bernama Sabila Jati serta kemenakannya yang bemama Jo Mahkota. Tiga Beradik ini sebenarnya berasal dari Batu Jangko yang disuruh oleh Datuk Kibaya untuk merantau. Misinya untuk mencari wilayah berair yang jernih dan ikan yang banyak.

Dalam perjalanan melalui Padang Lawas, Tiga Beradik sampai ke Ibul Jundung, lalu turun ke Pangkalan hingga sampai di pasir Koto Simbung (Siambung). Kemudian Tiga beradik itu berhenti dan mencari damar sambil membuat-membangun-Koto Simbung. Di Koto Simbung inilah mereka ditemui oleh Penghulu-penghulu sebagai utusan Raja Inderagiri untuk mencari hulubalang.

Penghulu menceritakan maksud Raja Inderagiri untuk~ menghentikan gerakan Rajo Dobalang. Hati nurani Tiga Beradik terusik, terhadap kebatilan Rajo Dobalang. Mereka berjanji akan datang menghadap raja 3 hari kemudian, setelah melakukan mufakat terlebih dahulu. Setelah 3 hari, Tiga Beradik memenuhi j anj inya menghadap Raj a sekaligus menyatakan kesediaannya. Raja merasa puas, langsung menanyakan kapan berangkat. Tiga Beradik pun menjawab: "Menunggu perintah tuanku. Bila cukup syaratnya oleh tuanku, kami Tiga Beradik berangkat." Sekarang giliran Raja minta tunggu 3 hari untuk mengumpulkan para Menteri dan rakyat, berpesta dulu sambil menyiapkan perbekalan.

Ketika Tiga Beradik ditawarkan apa yang diperlukan, mereka menjawab: 'Wan tuo mengambil dulu seekor ayam sabung rupa-rupanya betina, tuahnya "Cahaya negeri". Dua buah keris bersarung emas, buatan Mojopahit tuahnya, "Senang hati". Nan Tengah: mengambil pedang Jawi, hulunya bertahta intan yang bertuliskan Muhammad, tuahnya "Bintang negeri". Nan Kecik. mengambil /ew&zngbersarung dengan mas suasa serupa, tuahnya "Pelepas utang".

Kemudian Tiga Beradik itupun berangkat dengan perahu, serta tukang kayuhnya sebanyak 12 orang, menemui Rajo Dobalang di Sibuai Tinggi. Setelah bertemu, Tiga Beradik ditantang menyabung ayam di gelanggang oleh Rajo Dobalang. "Apa larangan dan pantangannya?", tanya Tiga Beradik. "Pertama bersorak dan bertepuk tangan. Kedua memekik dan menghantam tanah. Ketiga menyingsing lengan baju. Dan keempat memutar keris ke depan," jawab Rajo Dobalang.

Apabila melakukan semua larangan itu, dianggap kalah. Tiga Beradik bertanya lagi: "Berapa tarahannya ?" Jawab Rajo Dobalang: "Tanah Inuman di sebelah kiri mudik sungai Indragiri, lebar, dan panjangnya sehabis pemandangan di gelanggang di Sibuai Tinggi." Sedangkan Tiga beradik menyebutkan taruhannya: "Tanah danau Koto Simbung di sebelah kiri mudik sungai Indragiri lebar dan panjangnya penghabisan pemandangan di gelanggang di Sibuai Tinggi. Kata Rajo Dobalang: "Kapan kita menyabung?" "Terserah tuanku," jawab Tiga Beradik. Kemudian Rajo Dobalang menetapkan: "Dua hari yang ketiga, sebab kami mengumpulkan rakyat, hari ketiga kita menyabung."

Pada hari yang telah ditentukan berkumpullah Penghulu-penghulu dan rakyat di tempat gelanggang. Rajo Dobalang dengan congkaknya melepas ayamnya. Sampai dua kali kelepou yang ketiga, ayam Tiga Beradik itu kalah dan kena dulu, kepaknya sebelah kiri patah. Melihat ayam Tiga Beradik itu kena dulu, sampai tiga kali kelepou, ramailah sorak Rajo Dobalang dengan rakyatnya di tempat gelanggang. Kelepou yang keempat, ayam Rajo Dobalang kena, lehemyahampir putus, hingga tidak kuat lagi melawan.

Melihat ayamnya kalah, Rajo Dobalang marah-marah dan warna mukanya menjadi merah padam, sampai memekik, menghantam tanah, menyingsing lengan baju, memutar kens ke depan terus menikam Tiga Beradik sampai dua kali. Berarti sudah melanggar pantangan dan dianggap kalah. Tiga beradik mengelak sambil memberi pantun, "Litak nek begalah, cubo-cubo mengaleh. Litak nek mengalah di cubo membaleh". Pertarungan berlanjut. Nan tuo dulu menikam, Raja Dobalang terus tagolek. Disambut adik Nan tengah, dicincang terus jatuh ke tanah. Disambut yang kecil, ditikam sampai mati.

Melihat sudah tidak bernyawa lagi, kepala Rajo Dobalang di potong oleh adik yang tengah dimasukkan ke dalam peti untuk dibawa pulang. Kepala Rajo Dobalang dibawa Tiga Beradik itu turun ke perahu. Sampai di perahu dilihat kembali oleh Tiga Beradik itu, nasib digerakkan Allah. Berani karena benar, takut karena salah. "Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orangyang zalim ". (Q.S. Al Qashash, 28; 40)

Setelah Rajo Dobalang tewas oleh Tiga Beradik, Raja dan Penghulu-penghulu Kuantan merasa senang dan gembira. Mereka menahan Tiga Beradik untuk merayakan kemenangan dengan berpesta selama 8 hari. Karena terlalu lama, dikabulkan hanya 4 hari saja. Tiga Beradik ingin segera menghadap Raja Inderagiri untuk menyerahkan kepala Rajo Dobalang. Atas jasanya, Tiga Beradik diberi selembar bendera kehormatan dan nama, Datuk Mangkuto.

Selelah hilir mengikuti arus sungai Inderagiri, sampailah di tepian raja di Pekan Tua. Kepala Rajo Dobalang di dukung dengan kain belacu putih oleh nan kecil. Sampai di Istana dipersembahkanlah kepala tersebut kepada raja. Bukan main banyak orang melihat di Istana sambil berdecak kagum. Kepala Rajo Dobalang berpusing-pusing waktu dilihat raja di Istana.

Yang Dipertuan Besar Inderagiri menawarkan kepada Tiga Beradik di depan para Menteri apa yang mereka sukai sebagai balas jasa.

"Apakah uang atau emas?" Mereka sebenarnya ikhlas untuk membantu, tidak mengharapkan balas jasa. Setelah didesak beberapa kali, dijawab oleh Tiga Beradik: "Sesuatu yang tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan." "Baiklah," jawab Raja." Dalam tempo 8 hari raja dan para Menteri serta orang-orang tua kampung mengadakan rapat membicarakan perihal permintaan Tiga Beradik itu. Para Menteri dan orang-orang tua digerakkan Allah pikirannya, masing-masing sepakat mendapatkan jawabannya; "Kepada Tiga Beradik itu di beri pangkat".

Dengan upacara kerajaan dan pesta, kepada Tiga Beradik diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong dan diberikanlah pangkat: Nan tua saudaranya yang bernama Sabila Jati, diangkat Dana Lelo, Penghulu Pematang lawan ke Batang Hari, benderanya hitam kumia Raja Inderagiri. Nan tengah kemenakannya Jo Mahkota, Penghulu Baturijal Hulu lawan ke Kuantan benderanya merah kurnia Raja hideragiri dan bendera hitam kurnia raja Kuantan. Nan kecil anaknya bemama Tiala diangkat Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan sungai Indragiri benderanya putih kurnia Raja Inderagiri.

Dalam cerita lain, Tiga Beradik itu diberi gelar Datuk, gelar kebesaran orang Melayu, yaitu:Datuk Denang Lelo menjadi Penghulu Pematang,Datuk Jomangkuto Penghulu Baturijal Hulu, dan Datuk Lelo Dirajo Penghulu Baturijal Hilir.

Sebagai Penghulu Tiga Lorong, mereka diangkat sebagai anak Mas Raja dan Datuk Kerajaan Inderagiri. Mereka pun bersumpah: "Tiada boleh akal buruk, budi merangkak, menggunting dalam lipatan, memakan darah di dalam, makan sumpah 1000 siang 1000 malam. Ke atas dak bapucuk ke bawah dak baurat. Dikutuk Kitab Al-Qur'an 30 juz." Di bawah pimpinan Tiga Beradik, Tiga Lorong berkembang menjadi desa yang maju, rakyatnya hidup makmur, tenteram, damai dan sentosa.

Dengan demikian, jelaslah bahwa desa Baturijal mempunyai hubungan historis yang sangat dekat dengan kerajaan Inderagiri. Baturijal sebagai benteng terdepan kerjaan Indragiri. Sampai sekarang masih ada hubungan kekerabatan antara pihak Raja Inderagiri dengan penduduk desa Baturijal. Kisah di atas disarikan dari dokumen yang dimiliki Elmustian yang berkaitan dengan sejarah Inderagiri, wawancara dengan tetua dan Tambo Baturijal.

Hubungan Baturijal dengan Batang Kuantan Dalam keseharian, Baturijal tidak dapat dipisahkan dengan Batang Kuantan. Baturijal dan Batang Kuantan sudah menyatu. Karena Batang Kuantanlah, desa Baturijal itu ada, tumbuh dan berkembang. Di tepi-tepi Batang Kuantan, seberang berseberangan penduduk Baturijal berdiam, sebelum pindah ke dekat jalan raya yang disebut juga dengan lebuh. Orang Baturijal, menyebutnya pindah ke dusun. Di Seberang, tepi selatan tempat berdiam penduduk mulai dari Pulau Raman sampai ke Pulau Jambu. Sedangkan tepi utara, mulai dari dekat muara Sebungkul sampai ke Padang, mendekati Pulau Baru.

Di tepi Batang Kuantan itu pula masjid raya Baturijal berdiri. Sebuah masjid pusaka peninggalan orang tua-tua dulu, berusia 200 tahunan - sudah berulang kali direnovasi, antara lain tahun 1927. Waktu yang tepat, tidak ada catatan resmi. Jangankan 200 tahun yang lalu, orang yang lahir setelah kemerdekaan, ada yang tidak dicatat. Wajar kalau masjid tidak tercatat, kapan mulai dibangunnya. Konon di bawah masjid itu terdapat tajau, taka atau tempayan berisi mas.

Ketika penulis masih kecil, belajar mengaji di rumah Bapak Haji Saleh, persis di dekat Gaung Kecil, pernah diceritakan, kalau tajau itu keluar bergolek-golek di Gaung Kecil apabila hari hujan gerimis di waktu senja. Apabila ada orang datang, ia akan mencebur ke dalam air lalu menghilang. Masih menurut cerita, kalau sempat melihat dan memukul dengan kain besah, tajau itu pecah. Emas berserakan dan boleh diambil sehingga menjadi kaya raya. Karena ingin kaya, setiap gerimis waktu senja sengaja penulis ke tepian, tidak ada rasa takut, melihat, menunggu dengan harapan bertemu dengan tajau.

Di sebelah timur Masjid ada sebuah kolam, untuk tempat berwudhu' atau sekadar mencuci kaki. Aimya yang agak keruh, ditutupi tumbuhan air, kiambang kecil. Jama'ah lebih senang turun berwudhu' ke Batang Kuantan. Padahal, ketika musim kemarau, tebing itu benar-benar tinggi. Jama'ah yang ingin mengambil wudhu', harus menuruni paling tidak 20 anak tangga. Induk tangga dipilih dari batang nio yang paling tinggi. Itu sebabnya tebing itu disebut dengan tebing tinggi.

Di tepi Batang Kuantan itu terdapat pasar, tepatnya dekat Teluk sekarang. Agak ke hulu dari tebing tinggi sebelum anak sungai Alur. Pasar ini tidak berkembang dan tutup dengan sendirinya, karena penduduk banyak yang pindah ke dekat jalan raya. Tambahan pula daerah Teluk itu selalu terendam pada musim banjir setiap tahun. Padahal tempatnya strategis, di tepi Batang Kuantan dan ada teluk, mirip pelabuhan, tempat motor singgah. Pasar di dekat jalan raya pun tidak bertahan lama. Bangunannya menjadi usang sehingga dikenal dengan pasar usang. Pasar, mati dengan sendirinya, padahal sudah diberi jatah pada hari Ahad. Padahal pasar atau lebih dikenal dengan pekan karena dilakukan sekali sepekan, sangat strategis. Pekan Sabtu di Peranap, mudik sedikit, pekan Ahad di Baturijal, kemudian terus mudik lagi, pekan Senayan - hari Senen - di Cerenti, Selasa, kembali ke Silunak.

Batang Kuantan sangat bersahabat dengan penduduk Baturijal. Jarang memakan korban. Seingat dan sepengetahuan penulis, hanya seorang anak kecil yang pernah menjadi korban. Kabarnya, ia terjun loncos, sedangkan di bawah tanah berlumpur. Untuk melepaskan kaki dari benaman tanah berlumpur memerlukan waktu, sehingga kekurangan oksigen untuk bernapas. Kedua seorang dewasa, pendatang yang memang tidak bisa berenang. Orang yang bernama Maban itu naik perahu, kebetulan perahunya lengga, ia pun jatuh tercebur hanyut dan tenggelam. Baru ditemukan beberapa hari kemudian tersangkut di tunggak, sudah tidak bemyawa lagi dan membusuk.

Batang Kuantan ini banyak memberi inspirasi dan memberi warna kehidupan penduduk desa Baturijal. "Malam cuaca, di Batang Kuantan. Air mengalir, berkilau-kilauan ", merupakan sebagian syair sebuah lagu.

Lagu yang sangat popular tahun 1950-an. Sering dinyanyikan sambil duduk santai di halaman masjid, di atas balai dari buluh di bawah batang mempelam, sambil melihat buih dan kapa - batang kayu lapuk dan sampah hanyut. Bagi yang tidak terbiasa bernyanyi, ada pantun.

Baturijal airnya sejuk, tempat mandi bersama-sama. Adik yang tinggal jangan merajuk, Abang yang pergi takkan lama

Sayang lagu dan pantun itu sekarang tidak pernah kedengaran lagi.

Desa Baturijal Ikut Berjuang ! Meskipun desa Baturijal merupakan desa kecil dan terpencil, namun selama masa penjajahan Belanda dan Jepang, penduduk Baturijal mempunyai andil dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dipelopori dan dipimpin oleh alim ulama, seperti H. Abdul Majid, dengan gigih rakyat desa Baturijal ikut berjuang. H. Abdul Majid tewas, termasuk Anas dan anak muda Syafii. Bagi Belanda, rakyat Baturijal dikenal sebagai pemberani, menyebabkan Belanda merasa geghun.

Daghoko ada empat orang Wali Negeri yang meletakkan fondasi tatanan masyarakat dan memimpin desa Baturijal yaitu; Khalil Alie, Mohamad Nuh, Raja Eman dan Saidina Ali. Pada waktu itu, sebagai Camatnya Yakub Syarif, lebih dikenal dengan panggilan Camat Yasabari. Mereka itulah yang memimpin penduduk Baturijal.

Di jalur militer dan kepolisian ada dua orang putera terbaik Baturijal ikut berjuang. Mereka sempat menapak pangkat sebagai perwira. Thoha Hanafi, melepaskan pangkatnya Letnan Kolonel, karena ingin menjadi pengusaha kaya. Sebagai pengusaha, tidak tertutup kemungkinan untuk menjadi orang kaya, sedangkan sebagai perwira TNI, tidak mungkin kaya dari gaji. Demikian pikiran Thoha Hanafi. Kemudian Thoha Hanafi mendirikan perusahaan ekspor impor di Rengat. Usaha di Rengat tidak memuaskan, maka ia pindah ke Jakarta.

Ironi sekali, Thoha Hanafi pada hari tuanya, tidak sesuai rencana menjadi orang kaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia kembali ke Riau menjadi kontraktor. Order yang didapatkan dari Guberaur Riau, tidak lain dari mantan bawahannya. Seorang bawahan Thoha Hanafi, Subrantas sempat menjadi Jenderal dan menjadi Gubernur di Riau. Kolega dia Marah Halim juga menjadi Jenderal dan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Nyatanya sekarang justru Jenderal banyak yang kaya, di luar perhitungan Thoha Hanafi.

Melalui jalur kepolisian, putera Baturijal Mahadan sempat menjadi Mayor Polisi, sampai pensiun di Pekanbaru. Kemudian, Rusli adik kandung Mahadan, masuk tentara sebagai anggota korp musik. Tak sempat menjadi perwira dan tidak banyak berhubungan dengan senapan, hanya peniup terompet.

Pada tahun 1957 terjadi pemberontakan PRRI, yang dilakukan oleh Dewan Banteng di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Husein. Beberapa pemimpin Baturijal, ikut masuk hutan bergabung dengan PRRI. Desa Baturijal stagnan, seperti anak ayam kehilangan induk. Hidup dalam suasana mencekam, takut dikatakan sebagai mata-mata pemberontak. Iring-iringan truk yang membawa ientara pusat yang diturunkan di lapangan terbang Simpang Tiga, Pekanbaru, melewati desa Baturijal. Penduduk semakin tertekan. Gerak-gerik penduduk diawasi dengan ketat. Keluar malam dibatasi, memakai senter pun dilarang. Menghidupkan radio hati-hati, apalagi mendengarkan siaran propaganda PRRI yang dipancarkan dari hutan belantara. Untuk menjaga keamanan, di Kecamatan Peranap ditempatkan Mobbrig, sekarang Brimob. Suasana semakin mencekam. PRRI, berpusat di Sumatera Barat, menyebabkan hubungan dengan daerah Sumatera Barat putus. Pelajar Baturijal yang menuntut ilmu di sana terkurung, tak bisa pulang. Di antaranya ada yang ikut masuk hutan, misalnya A. Haitami, ikut PRRI. Sejak itu pelajar-pelajar Baturijal tidak dapat lagi melanjutkan pendidikan ke Sumatera Barat. Kiblat pelajar mulai pindah ke pulau Jawa, Jakarta, Yogya dan Solo.

Setelah Pemerintah Pusat, memberikan pengampunan, anggota PRRI yang berada dalam hutan, satu persatu keluar kembali hidup bergabung dengan masyarakat. Setelah di luar, perlu adaptasi, mencari dan membuat pekerjaan sendiri untuk menopang biaya hidup secara normal. Sebagian besar, mulai dari nol lagi.

Pasang Surut Desa Baturijal di Masa Lalu Baturijal juga tak terlepas dari masa susah, masa paceklik. Untuk mendapatkan beras ransom dengan menggunakan kupon. Orang-orang tua menyebutnya masa kupon. Rakyat dibatasi membeli kebutuhan pokok. Ada uang pun tetap sulit, barangnya tidak ada. Kemudian pada zaman penjajahan Jepang, penduduk Baturijal banyak yang kelaparan. Tanaman padi selalu gagal. Kalau tidak diserang hama, terkena banjir. Untuk mengganti beras, penduduk makan sagu. Lompong sagu menjadi makanan pokok. Supaya kenyang, setelah makan lompong sagu, minum air yang banyak, sagu mengembang dalam perut. Sedangkan pisang tidak sempat taniso, sudah ditebang sebelum cukup tua. Ubi kayu dan ubi jalar, tak sempat berisi, sudah dimakan menso.

Baju terbuat dari goni atau paling mewah belacu. Pada waktu itu oleh penjajah Jepang, tumo, tungau dan kepinding sengaja dibiarkan berkembang biak. Saluk-saluk tilam dan bucu-bucu kelambu, penuh dengan kepinding dan telurnya memutih. Ketika tilam dialai, telurnya menetas, semakin banyak anak kepinding, membuat tidur semakin tidak nyaman.

Tanggal 17Agustus 1945, Indonesia merdeka. Dengan mendapat kemerdekaan tidak langsung hidup menjadi sejahtera. Belanda tidak rela Indonesia merdeka, terjadilah agresi pertama dan kedua. Rakyat tetap sengsara. Selain makan sagu juga makan bulgur yang didatangkan dari Amerika. Di sana bulgur untuk makanan ternak, di Indonesia dijadikan makanan pokok penduduk. Harga getah tidak mencukupi untuk membeli beras. Bagi pegawai dalam hal ini guru - beberapa orang, lumayan ada beras jatah, meskipun berasnya berkapang dan bau apak. Bahan pokok lain termasuk minyak tanah langka dan harus antre untuk membeli. Kehidupan pada waktu itu sangat suram, terbayang dari wajah yang selalu muram. Tidak ada terlihat gelak dan tawa.

Masa-masa sulit itu akhirnya dapat juga diatasi, seperti halnya, badai pasti berlalu. "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (Q.S. Alam Nasyrah, 94; 6). Datang masa-masa senang dan sejahtera. Harga getah membaik, padi berhasil. Hari-hari yang bersejarah diperingati untuk menghormati para pahlawan dan suhada. Bermacam-macam cara memperingatinya, namun yang berkesan adalah panjat batang pinang, pacu goni dan pacu perahu. Rakyat bersuka cita menyukuri kemerdekaan, sebagai Rahmat Allah swt. Di Batang Kuantan perahu berpacu, di atas tebing, irama ketawak dan calempong - sejenis alat musik pukul berbentuk seperti gong kecil, berkumandang mengiringi orang bersilat. Ada juga kesenian randai dan memainkan alat musik genggong yang bergetar dekat mulut. Gendang baghegung, berkumandang membuat suasana menjadi riang, penuh tawa dan canda.

Ketika tanaman padi berhasil dan banyak kesempatan menakik menyebabkan dompet mulai menebal, hasil dan menjual getah. Suasana desa cerah, hidup pun bergairah. Betapa tidak, belubua penuh padi, tinggal mengighik, jemo dan tumbuk, jadi beghas. Tinggal lauknya. Bagi yang tidak mencari ikan, banyak yang jual keliling.

Betapa nikmatnya suasana ketika menjalani kehidupan masa kecil. Ketika mandi masih telanjang, terjun kempul - kaki dan lutut menekuk sebingga posisi badan menjadi bulat - di tebing Batang Kuantan dekat muara Alur atau di gertak panjang, tidak jauh dari Simpang. Percikan airaya tinggi. Sebaliknya ada terjun loncos, kaki dalam keadaan lurus, tanpa pecikan air, tanpa berbunyi langsung tenggelam. Tidak boleh berhenti mandi meskipun mata sudah merah, tangan sudah berkerut. Setiap mau keluar dari air, satu lemparan lumpur menempel di badan, membuat yang bersangkutan kembali terjun membasuhnya. Berarti hams lebih lama lagi mandi. Diulangi lagi dengan cara sembunyi-sembunyi naik ke darat, teman lain dengan mengintip, siap melemparkan tanah lumpur, sehingga membuat berlepotan. Mau tak mau terjun lagi, mandi lagi. Budak-budak jantan bermain bedil-bedilan menggunakan bunga jambu atau kertas yang dibasahi membuat gumpalan-gumpalan atau buah mensigho sebagai peluru, membuat bedil meletup. Suara bedil meletup begitu merdu terdengar di telinga. Waktu itu masih memakai seghewal katuk tanpa baju. Paling-paling dilengkapi kain sarung yang dikalungkan pada kuduk membuat angka delapan. Ketika musim duku, kulitnya dijadikan peluru untuk bermain perang-perangan. Hanya bermodalkan kojai, sudah dapat bermain perang-perangan dengan asyik.

Budak-budak batino dengan berjingkrak-jingkrak bermain lera dengan menggunakan tuju dari pecahanpinggan yang berbunga indah. Lincah penuh gelak tawa. Atau bermain saghembas menggunakan batu-batu kecil sebagai taruhan. Tangan-tangan mungil begitu lincah memainkan perannya membalik-balikkan telapak tangan, melambungkan batu-batu kecil dan menangkapnya. Sungguh indah permainan yang sangat sederhana tetapi penuh makna.

Belum lagi, gelak tawa ketika anak remaja bermain wing tatkala bulan purnama setelah musim menuai. Sedangkan yang lebih dewasa atau ibu-ibu masih neneruskan menumbuk padi yang belum selesai ketika senja mendatang. Harus berhenti ketika waktu maghrib suara bang, berkumandang. Memenuhi panggilan Maha Pencipta yang telah memberi rezeki. Menumbuk dengan hentakan antan sekali-sekali bertingkah pada tepi lesung terdengar merdu ke mana-mana. Suara tingkahan antan itu menandakan di sana ada anak gadis membantu menumbuk atau menampi, mengundang bujang untuk berkunjung datang.

Pada malam hari sering diadakan pertunjukan joget. Dua orang laki-laki, E. Mohir dan Lahmudin memerankan sebagai wanita, berkebaya dan berkacamata hitam, duduk di kursi di halaman rumah tempat terbuka. Apabila hujan langsung bubar. Penari lain ada juga, tetapi pasangan E. Mohir dan Lahmudin merupakan artis favorit. Terutama Lahmudin yang berperawakan kurus, lemah gemulai. Berjoget cukup diiringi oleh biola, gendang dan gong. Lagunya, lagu melayu yang berirama joget untuk mengiringi, seperti TanjungKatung, HitamManis ztauAnakKala. Ketika ada lelaki yang mau mengibing, harus membayar terlebih dulu. Orkes dimainkan, kemudian mendatangi tempat duduk penari dan mengajaknya berjoget. Semakin larut malam, suasana semakin ramai. Anak-anak, bebas menonton dengan asyik, lupa besok harus ke sekolah.

Pada masa-masa senang itu banyak bujang dan gadis melangsimgkan pernikahan, membangun rumah tangga. Pengantin baru hilir mudik menjinjing si 'a berisikan penganan, buatan sendiri diantarkan ke rumah mertua. Mertua senang tidak alang kepalang. Merasa kebahagiaan tersendiri, menerima penganan dari menantu. Sedangkan bujangan yang belum menikah, juga asyik hilir mudik seperti kumbang mencari bunga tempat hinggap. Bujangan mendatangi budak batino, mengapa lagi kalau tidak mengurat. Suasana sangat ceria, riang dan gembira. Hari-hari penuh bahagia.

Sumber: Elmustian Rahman dan Tarmizi Yusuf. 2012. "Ensiklopedi Baturijal". Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.