Badud adalah kesenian tradisioanl yang berasal dari Dusun Margajaya, Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Terletak persis di tepi ngarai, di samping pangkal jembatan gantung yang melintang panjang di atas sungai. Kawasan itu dibangun sebagai Kampung Budaya atau sering disebut Kampung Badud.[1] Seni Badud mulai diciptakan tahun 1868 atas dasar keinginan masyarakat yang merasa bosan dan takut pada binatang buas ketika musim panen tiba. Maka dibuat alat yang disebut dogdog, terbuat dari bambu yang dijadikan alat musik pengiring kesenian badud. Pada tahun 2013, seni badud mengalami kepunahan dan baru diakhir tahun 2014 mulai dikembangkan kembali dengan mendirikan padepokan seni badud. Setelah itu, pemerintah Desa Margacinta pun mulai bergerak memperhatikan kesenian buhun ini dengan dengan cara dijadikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah di sekitar Desa Margacinta.[2]

Pergelaran seni Badud dibuat untuk meramaikan ritual panen padi di sawah materi peran yang ditampilkan adalah pemain mengenakan atribut topeng binatang yang berwujud kera, lutung, dan harimau yang dibuat dengan bahan sederhana dan sesuai kemampuan petani. Penari menari menirukan gerak binatang sesuai dengan topeng yang dipakainya, rombongan pemain seni badud berjalan mengiringi rombongan petani yang membawa hasil panen yang akan dimasukan ke dalam lumbung di desa. Selain itu, seni Badud juga menjadi salah satu cara mengusir hama yang mengancam padi. Hal ini dilakukan pada saat musim menebang pohon atau menanam benih padi diikuti dengan bacaan doa, mantra, serta berbagai sesajen.[3]

Pagelaran sunting

Pagelaran kesenian Badud dilangsungkan satu hari satu malam. Sebelum seni ini dimulai, dibuat terlebih dahulu sesajen untuk para leluhur yang telah meninggal dunia atau ruh yang dipercaya memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat setempat. Sesaji ini terdiri dari pedupaan atau kemenyan, rujak bunga ros, telur, rujak pisang, daging mentah, gula batu, rokok bangjo, rokok cerutu, dan rokok berwarna coklat dua batang. Ketika lakon pertunjukan dimulai pada hari besok, sesajen yang yelah terkumpul akan diletakan di tengah-tengah tempat pagelaran. Apabila ada pemain yang kerasukan dan menginginkan jenis makanan, maka tinggal mengambil pada sesajen tersebut. Setiap binatang yang diperankan pemain cenderung ingin makanan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Harimau ketika kesurupan akan memilih atau memakan daging mentah, sedangkan barongsay atau ebeg akan memilih segala jenis rujak. Semua peran binatang tersebut melakukan pertunjukan dalam keadaan kesurupan.[4]

Kesenian pengiring sunting

Kesenian Badud dalam bentuk kesenian kolektif yang terdiri dari seni musik, seni tari, dan seni bermain peran atau drama.[5]

seni musik sunting

Musik yang digunakan adalah delapan buah angklung ralas salendro dengan nada paling rendah sampai nada paling tinggi. Angklung ini dimainkan dengan cara masing-masing pemain memegang satu alat angklung.[3] Adapun jenis angklung yang digunakan terdiri dari angklung roel satu, roel dua, aclik,, sorolok, ambruk satu, ambruk dua, penerus, dan jenglong. Alat musik angklung berperan sebagai melodi syair lagu yang dimainkan. Selain itu, ada enam buah dogdog yang dimaikan oleh enam orang dengan nada yang paling tinggi sampai nada paling rendah. Adapun rincian nama alat musik tersebut berikut.[5]

  • Endol, yaitu dogdog yang paling kecil dipakai sebagai ketukan pembuka oleh dalang.
  • Dogdog sedang atau dungdung, yaitu dogdog yang lebih besar dari ukuran dalang dengan peran hampir sama dengan dogdog endol hanya saja cara menabuhnya sedikit dibedakan.
  • Dogdog bondol atau kentrung satu, mempunyai peran memberikan ketukan yang tetap atau ketukan tesis,
  • Dalang atau kentrung dua (ambruk), bajidor satu (badublag), bajidor dua (badublag), yaitu dogdog yang paling besar antara dogdog bajidot satu dan dua, memiliki peran sebagai pemberi warna tepakan kendang, biasanya dogdog badublag ini memberikan tanda akan ada gong atau memberi bunyi akhir apabila akan terjadi goongan. Dogdog ini dijadikan sebagai pengganti kendang, karena bunyi yang dimunculkan hampir mirip dengan tepak kendang. Hanya saja enam alat musik dogdog akan memberikan nada yang lebih variatif.[5]

seni tari sunting

Dalam kesenian Badud, pemunculan gerak atau tari dianggap kurang tampak karena pada waktu itu pertunjukan kesenian Badud masih disajikan dalam bentuk kesenian helaran atau iring-iringan masyarakat sebagai salah satu prosesi menyimpan padi ke lumbung desa. Para pemain menari dalam keadaan kerasukan, sehingga yang terlihat oleh penonton adalah gerak-gerak jelmaan binatang atau gerak-gerak imitasi dari perilaku binatang sesuai dengan topeng yang dikenakannya. Kebanyakan desain gerak tari yang digunakan adalah kelincahan gerak-gerak langkah kaki dan gerak tangan sebagai penyeimbang. Dalam pertunjukannya para penari peniru binatang sesekali akan melalukan gerak atraksi melonacat dan berguling-guling sehingga penonton tertarik dan betah untuk menyaksikannya.[5]

seni drama sunting

Seni drama dalam penyajian seni Badud ini mempunyai peran mengundang tawa penonton, seperti pada saat pemeran kakek dan nenek muncul untuk membuka acara dengan kelucuan yang khas. Setelah itu, muatan drama sangat kental sekali, terlihat dari operan dan bloking yang muncul dan berakting seperti nemainkan sebuah cerita tentang tokoh-tokoh binatang yang dianggap hama dan senantiasa diawasi oleh peran kakek dan nenek. Peristiwa drama tersebut dapat dibuat dalam sebuah plot atau alur cerita. Meskipun hal ini tidak disadari oleh seniman penciptanya. Peran-peran dalam pertunjukan, seperti peran monyet, babi hutan, harimau, kuda lumping, barongsay, kakek-kakek, dan nenek-nenek adalah peran yang sesuai dengan tema cerita yang ingin ditampilkan. Kehadiran peran binatang yang dianggap hewan pengganggu atau perusak tanaman padi di sawah dan peran kakek serta nenek sebagai pemiliknya. Dalam cerita tersebut ada sebuah konflik ketika para binatang sedang merusak tanaman dan diketahui oleh petani yaitu kakek dan nenek.[5]

Rujukan sunting

  1. ^ Andi Nurroni (2016-08-08). "Ficer: Seni Badud Menolak Punah". Swarapangandaran.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-24. Diakses tanggal 2019-04-24. 
  2. ^ Nurohmah, Ulfah (2018-08-20). "Sejarah dan pelestarian Seni Badud sebagai upaya meningkatkan kesadaran budaya Desa Margacinta Kabupaten Pangandaran Tahun 2013-2017". UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 
  3. ^ a b Paluseri, D. D., dkk. (Oktober 2018). Ratnawati, Lien Dwiari, ed. Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 151. 
  4. ^ irvansetiawan (2018-01-08). "Badud Margacinta". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-26. 
  5. ^ a b c d e Permana, Ruswendi. "Kesenian Tardisional Badud Di Kecamatan Cijulang Kabupaten Ciamis" (PDF). Uinversitas Pendidikan Indonesia. Diakses tanggal 30 Maret 2023. 

Pranala luar sunting