Badawang atau Memeniran adalah patung orang-orangan besar atau makhluk seperti raksasa yang terbuat dari kerangka bambu yang dilapisi kain kostum dan dilengkapi topeng atau ukiran wajah dan kepala. Di dalam kerangka orang-orangan ini terdapat rongga yang dapat dimasuki orang yang akan membawanya berjalan berpawai dan menggerakannya menari-nari. Badawang adalah tradisi masyarakat Sunda di Jawa Barat dan sangat mirip dengan kesenian Ondel-ondel Betawi dari Jakarta dan Barong Landung dari Bali.[1] Tradisi orang-orangan ini sudah memiliki sejarah yang lama. Walaupun dalam perkembangannya mengalami perubahan dalam bentuk yang lebih lucu, peniruan makhluk hidup sebagai bagian dari tradisi mistis totemistik yang berasal dari sistem kepercayaan asli Indonesia. Badawang menjadi ikon dalam tradisi helaran pada masyarakat Sunda di masa lalu, karena sangat akrab dengan anak-anak dengan mengejar dan menakut-nakutinya dalam setiap pagelaran.[2]

Tokoh punakawan yang dijadikan model boneka badawang.

Etimologi

sunting

Dalam Bahasa Sunda istilah Badawang kadang bersinonim dengan wujud perawakan seseorang yang tinggi besar, misalnya Awak kawas badawang: jangkung gedé teu matut, Tubuhnya seperti badawang: tinggi besar tapi tidak pastas atau patut. Tidak ada yang tahu kapan munculnya istilah badawang, tapi, apabila melihat wujudnya kemungkinan diambil dari kata menir (meneer) tuan dalam bahasa Belanda). Indikasi ini terlihat karena sosok badawang adalah seseorang yang perlente tengah digendong oleh rakyat yang berpakaian sederhana. Badawang diartikan sebagai orang-orangan tinggi besar dibuat dari kerangka bambu dan diberi berpakaian, diusung oleh seseorang yang ada di dalamnya sehingga dapat berjalan dan digerak-gerakan mengikuti irama tetabuhan.[3]

Badawang adalah een pop ter grootte en van de gedaante van een mensch. (vgl. Bebegig). Artinya boneka yang berukuran dan berbentuk seorang pria. Dalam definisi tersebut, penamaan Badawang merujuk atau memiliki persamaan dengan Bebegig. Arti bebegig itu sendiri adalah: pop in de gedaante en ter grootte van een mensen, dienst doende bij optochten of als vogelverschrikker boneka dalam bentuk dan ukuran seseorang, melayani dalam parade atau sebagai orang-orangan sawah.[4]

Pemain dan musik pengiring

sunting

Dalam pertunjukannya, Badawang menonjolkan unsur ketrampilan memainkan boneka yang disukai banyak penonton. Beberapa figur punakawan seperti Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng beraksi seperti sedang bicara, melambaikan tangan, berjoget, menari, bersorak, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan penampilan atraksi kepala berputar, melikuk-liuk, dan berkeliling bersama-sama. Atraksi memainkan boneka memerlukan tenaga dan persiapan yang matang mengingat kepala Badawang yang beratnya mencapai 30 kg. Kerangka tubuh dan tangan Badawang terbuat dari kayu, besi plat, rotan, bambu, dan plastik. Bagian penyangga kerangka dilapisi oleh kain tebal agar pemain nyaman menyangga boneka yang cukup berat tadi. Atas dasar itu, pemain badawang harus berbadan kuat dan memiliki usia 20 tahun ke atas.[5]

Pemain Badawang berjumlah 4 sampai 9 orang. Setiap pemain wajib tahu dan menghapalkan karakter badawang yang dimainkan. Contohnya karakter Gareng yang memiliki sifat radikal, pemarah, brutal, tapi selalu jujur dan lincah. Gerakan khas Gareng adalah improvisasi tari mincid, pakbang, benjang, keurseus, gedut, dan pencak silat. Selain itu, ada badawang Sukasrana yang berkarakter jujur, tanggung jawab, baik hati, disiplin, dan kerap menarikan tari keurseus. Pemilihan tokoh punakawan dalam Badawang bukan aturan bersifat baku. Oleh karena itu, karakter dan bentuk kepala Badawang dapat disesuaikan, tapi unsur kelucuan dalam penampilan harus diutamakan. Selain pemain boneka, diperlukan juga 3 orang pemain bendi atau kuda, 16 pemain musik, 1 orang dalang, dan 1 orang sinden. Jumlah personil tidak baku tergantung dari skala helaran badawang yang berlangsung.[5]

Musik pengiring yang digunakan sama dengan pengiring pencak silat, hanya saja kadang ditambah dog-dogdan bedug. Demikian juga lagu-lagu yang dibawakan ada Golempang dan Padungdung. Sesuai permintaan penonton dan perkembangan zaman, lagu-lagu kawih seperti rayak-rayak, kembang beureum, talak tilu, dan lagu-lagu dangdut populer sering ditampilkan. Pengeras suara yang digunakan juga sudah portabel dengan cara diusung menggunakan gerobak untuk memudahkan saat helaran berlangsung.[5]

Lihat juga

sunting

Rujukan

sunting
  1. ^ Kurnia, Ganjar (2003). Deskripsi kesenian Jawa Barat. Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad. hlm. 14. ISBN 978-979-97718-0-3. 
  2. ^ "Badawang-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-10-25. Diakses tanggal 2020-09-24. 
  3. ^ Rosidi, Ajip (2000). Ensiklopedi Sunda: alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya. hlm. 80. ISBN 978-979-419-259-7. 
  4. ^ Coolsma (1884). Soendaneesch-Hollandsch woordenboek (dalam bahasa Belanda). Sijthoff. hlm. 89. 
  5. ^ a b c irvansetiawan (2018-07-09). "Badawang, Kesenian Tradisional Jawa Barat". Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-09-24.