Atmakusumah Astraatmadja

Atmakusumah Astraatmadja (20 Oktober 1938 – 2 Januari 2025) adalah pemenang Penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2000 untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif, yang disampaikan oleh The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila pada 31 Agustus 2000 untuk perannya dalam meletakkan fondasi profesional dan kelembagaan bagi era baru kemerdekaan pers di Indonesia.[1] Atmakusumah memperoleh Penghargaan Kebebasan Pers 2008 dari Aliansi Jurnalis Independen[2] karena dinilai menunjukkan dedikasi dan komitmennya dalam memperjuangkan pers di Indonesia dan Lifetime Achievement dalam Anugerah Dewan Pers 2023[3] atas pengabdian dan jasanya kepada dunia pers.

Atmakusumah Astraatmadja
Foto diambil tahun 1992 di LPDS
Lahir(1938-10-20)20 Oktober 1938
Labuan, Banten, Hindia Belanda
Meninggal2 Januari 2025(2025-01-02) (umur 86)
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPenulis, wartawan, pengajar
Suami/istriSri Rumiati Atmakusumah
Anak3
Orang tuaJoenoes Astraatmadja (ayah)
Ratu Kartina (ibu)
PenghargaanRamon Magsaysay Award

Karier Atmakusumah sebagai wartawan muda dimulai setamat sekolah menengah atas pada usia 19 tahun di Harian Indonesia Raya Minggu pada 1957. Kariernya di sini sangat pendek karena setahun kemudian harian ini dibredel pemerintah. Kehilangan pekerjaan, Atmakusumah sempat berkuliah, berpindah-pindah kerja dan akhirnya memutuskan meninggalkan Indonesia untuk bekerja di Australia dan Jerman karena merasa tidak aman berada di bawah pengawasan sensor militer. Pada 1968 pemimpin redaksi Mochtar Lubis mengajaknya menerbitkan kembali Harian Indonesia Raya. Atmakusumah setuju dan di harian ini kariernya berkembang sampai ia diangkat menjadi redaktur pelaksana. Namun demikian, pada 1974 harian ini kembali dibredel oleh pemerintah terkait pemberitaan peristiwa Malari.

Masuk ke dalam daftar hitam, tidak bisa bekerja sebagai wartawan atau penulis, Atmakusumah bekerja di kedutaan besar Amerika Serikat sebagai Asisten Pers sampai pada 1992 wartawan senior Djafar Assegaff memintanya mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dan dua tahun kemudian ia menggantikan Djafar sebagai direktur eksekutif.[4]

Sebagai penulis dan kolumnis, tulisan-tulisannya dimuat antara lain di harian Kompas, Sinar Harapan, The Jakarta Post, Republika, Suara Karya; majalah Tempo, D & R (Demokrasi & Reformasi), Prisma, Optimis, Femina, X-tra, Intisari, Editor, Forum Keadilan, Independen Watch, Trust; surat kabar mingguan edisi akhir pekan Media Indonesia Minggu, Bisnis Indonesia Minggu; media Internet Tempo Interaktif (Jakarta), dan majalah Reflexie (Den Haag, Nederland).

Atmakusumah dapat disebut sebagai peletak dasar prinsip kebebasan pers melalui pembentukan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pada tahun 1999, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menunjuknya menjadi narasumber pemerintah untuk turut serta menyusun rancangan undang-undang tentang pers dan mendiskusikannya dengan anggota parlemen.[5] Melewati perdebatan yang alot, Undang-Undang Pers yang mengubah drastis undang-undang sebelumnya dan sangat melindungi kebebasan pers ini akhirnya disahkan oleh Presiden B. J. Habibie.[6]

Dengan Undang-Undang Pers yang baru ini pemerintah tidak punya lagi kekuasaan untuk menyensor dan membredel media cetak. Undang-Undang Pers juga mengubah Dewan Pers, yang dulunya selalu dipimpin oleh Menteri Penerangan, menjadi lembaga independen yang ketuanya dipilih secara demokratis oleh organisasi wartawan, perusahaan pers, dan tokoh masyarakat. Pada tahun 2000 Atmakusumah terpilih menjadi Ketua Dewan Pers independen pertama sampai masa jabatannya berakhir pada 2003.[7]

Selama 30 tahun terakhir ia berbicara pada seminar dan lokakarya tentang jurnalisme serta kebebasan pers dan berekspresi di sekira 40 kota besar dan kecil di Indonesia. [8] Sampai akhir hayatnya, Atmakusumah diperkirakan telah mendidik 20.000 wartawan di Indonesia dan Timor Leste.[9]

Karier

sunting
  • Komentator masalah dalam negeri dan luar negeri pada Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta.
  • Penyiar Radio Australia (ABC) di Melbourne, Australia,
  • Deutsche Welle (Radio Jerman) di Koeln, Jerman.
  • Persbiro Indonesia (PIA), Jakarta.
  • Redaktur Kantor Berita Antara, Jakarta.
  • Redaktur, redaktur pelaksana, harian Indonesia Raya (1968–1974).
  • Press assistant dan information specialist pada U.S. Information Service (USIS) (1974–1992);
  • Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis di Jakarta, sejak 1992 sampai sekarang.
  • Direktur Eksekutif LPDS (1994–2002)
  • Ketua Tim Ombudsman harian Kompas (2000–2003).
  • Ketua Dewan Pers independen yang pertama, sejak Mei 2000 sampai Agustus 2003.
  • Anggota Dewan Pakar LPDS sejak Maret 2003.
  • Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (1980, kontributor bersama Adrian B. Lapian, Leo Suryadinata, Hilman Adil, Pollycarpus Swantoro, penyunting Abdurrachman Surjomihardjo)
  • Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia (1981).
  • Mengangkat Masalah Lingkungan ke Media Massa (1996, penyunting bersama Maskun Iskandar dan Warief Djajanto Basorie)
  • Panduan Jurnalistik Praktis: Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers (2004, penyunting bersama Maskun Iskandar)
  • Kebebasan Pers dan Ekspresi: Tuntutan Zaman (2009)
  • Pers Ideal untuk Masa Demokrasi (2018).
  • Membangun Pers Independen (2023)
  • Penyunting beberapa buku, di antaranya, "Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX," "Mochtar Lubis: Wartawan Jihad," dan "Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya (jilid 1, 2, & 3)."
  • Selain itu, tulisan-tulisannya tentang jurnalisme, media pers, dan kebebasan pers dimuat dalam 30 buku.
  • Pemimpin rubrik komunikasi massa dan kontributor untuk Ensiklopedi Nasional Indonesia (18 jilid; pemimpin umum Dr. B. Setiawan, pemimpin redaksi dr. E. Nugroho; penerbit PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1988–1991).

Rujukan

sunting

Referensi

sunting