Artocarpus

genus tumbuh-tumbuhan

Artocarpus adalah nama genus tumbuhan dengan anggota sekitar 50 spesies pohon, yang banyak dari antaranya menghasilkan buah yang dapat dimakan, seperti nangka, cempedak dan sukun. Marga yang tergolong ke dalam famili Moraceae ini memiliki wilayah asal usul dari Asia Selatan, Asia Tenggara, Papua dan Kepulauan Pasifik selatan.

Artocarpus
Artocarpus altilis (sukun)
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo: Rosales
Famili: Moraceae
Tribus: Artocarpeae
Genus: Artocarpus
J.R.Forster & G.Forster
Spesies
Lihat pada teks

Pengenalan

sunting

Kebanyakan anggotanya adalah pohon-pohon dengan kualitas kayu yang baik, sementara sebagian lagi berupa perdu. Lembar daunnya agak keras serupa jangat (kulit), dengan bulu-bulu halus terutama di sisi bawahnya, bervariasi dari yang berukuran kecil dan bertepi rata (misalnya pada cempedak) hingga yang berukuran besar dan berbagi dalam seperti pada sukun dan mentawa. Ujung ranting tertutup oleh sepasang daun penumpu (stipulae) yang meruncing, yang –apabila besar– memeluk ranting, meninggalkan bekas bentuk cincin apabila gugur. Semua bagian, apabila dilukai, mengeluarkan getah yang lekat dan putih seperti susu (lateks).[1][2]

Artocarpus bersifat monoesis (monoecious, berumah satu) di mana bunga jantan dan betina berada di satu pohon. Bunga jantan maupun betina tersusun dalam bongkol berkelamin tunggal, soliter atau berpasangan, muncul di ketiak, di cabang-cabang, atau di batang utama (cauliflory). Setelah dibuahi, bunga betina akan berkembang menjadi buah semu majemuk (syncarp), kecil maupun besar sampai besar sekali (panjang sampai dengan 90 cm pada nangka). Bijinya berukuran besar, tanpa endosperma, terlindung oleh ‘daging buah’ yang sebetulnya tenda bunga yang membesar; perkecambahannya hipogeal.[1][2]

Manfaat

sunting

Banyak jenis Artocarpus yang menghasilkan buah yang dapat dimakan; sebagian daripadanya merupakan buah-buah yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, atau merupakan buah yang penting sebagai penghasil karbohidrat. Artocarpus yang berukuran besar umumnya menghasilkan kayu perkakas yang baik. Dan sekitar selusin jenisnya digunakan dalam pengobatan tradisional di Asia Tenggara.[1]

Beberapa jenis Artocarpus juga menghasilkan biji yang dapat dimakan, setelah direbus atau dipanggang. Beberapa yang lain menghasilkan bahan pewarna kuning; dan dari pepagan nangka dihasilkan tanin. Pepagan beberapa spesies, benda di antaranya, khususnya dari pohon muda, dimanfaatkan untuk menghasilkan serat yang dipakai sebagai bahan tali dan pakaian. Sementara lateks yang dihasilkan oleh banyak spesies digunakan sebagai perekat untuk menjerat burung, bahan obat tradisional, pengganti susu dalam pembuatan saus, dicampur dengan malam untuk membatik, sebagai bahan campuran cat, bahan campuran pembuatan gula merah, dan lain-lain.[3]

Empat jenis Artocarpus penghasil buah yang terpenting adalah sukun (Artocarpus altilis), nangka (A. heterophyllus), cempedak (A. integer), dan terap (A. odoratissimus).[3] Sukun merupakan buah sumber karbohidrat yang penting, terutama di kawasan Pasifik selatan. Varian liarnya yang disebut timbul atau kulur, buah mudanya biasa disayur.[4] Nangka dan cempedak adalah penghasil buah yang penting, baik untuk dimakan segar, dijadikan kue, diproses menjadi keripik, atau dicampurkan ke dalam minuman atau es. Buahnya yang muda dijual di pasar untuk sayur.[5][6]

Di samping itu, beberapa banyak Artocarpus juga menghasilkan buah –kebanyakan musiman– yang diperjualbelikan di pasar lokal atau hanya dikonsumsi sendiri. Misalnya A. chaplasha, A. nitidus (tampang), A. rigidus (tempunai), A. sericicarpus (pedalai).[1] Juga A. anisophyllus (mentawa), A. elasticus (benda), A. lanceifolius (keledang), dan lain-lain.

Kebanyakan spesies Artocarpus menghasilkan kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan, atau untuk membuat perabotan rumah dan peralatan lain. Secara garis besar, kayu-kayu Artocarpus digolongkan ke dalam dua kelompok berdasarkan nama perdagangannya; yakni kayu terap dan kayu keledang. Kedua kelompok ini dibedakan menurut sifat-sifat kayunya, terutama beratnya, meskipun banyak terdapat tumpang tindih karakter di antaranya. Kelompok kayu terap lebih ringan daripada keledang, dengan batas kasar kira-kira pada BJ kayu 0,64; sementara kayu teras kelompok keledang biasanya berwarna lebih gelap dan lebih kontras perbedaan dengan kayu gubalnya jika dibandingkan dengan kelompok terap.[3]

Terap tergolong dalam kayu ringan; densitas kayunya berkisar antara (310-)365 – 640(-780) kg/m3 pada kadar air 15%. Kayu terasnya berwarna kuning hingga kuning-cokelat pucat, dan biasanya kurang terbedakan dengan kayu gubal yang umumnya lebih pucat warnanya. Tekstur kayunya kasar, namun merata; urat kayunya berpautan. Nilai penyusutan kayunya cukup tinggi; dari kondisi kayu segar ke kadar air 15% dan kering tanur, kayu ini menyusut berturut-turut sebesar 1,5-2,0% dan 3,2% di arah radial, serta 2,9-4,4% dan 7,7% di arah tangensial. Kayu ini mengering cukup cepat hingga sedang, dengan sedikit hingga agak besar kecenderungan untuk melengkung atau pecah. Hingga mencapai taraf kering udara, kayu terap setebal 15 mm dan 40 mm memerlukan waktu antara 1-1,5 bulan dan 2,5-4 bulan, berturut-turut.[3]

Kayu terap mudah dikerjakan: digergaji, diserut, dilubangi, dan dibubut dengan hasil baik; namun sering kasar bila dipernis, terutama pada sisi radial, karena menyerabutnya urat kayu yang berpautan. Terap mudah dikupas untuk dijadikan venir, dan memuaskan untuk diproses menjadi kayu lapis karena permukaannya mudah direkatkan.[3]

Terap kurang awet pada kondisi tropis, terutama bila digunakan di luar, terpapar oleh perubahan cuaca, atau bersinggungan dengan tanah. Namun keterawetan kayu gubalnya termasuk mudah, sementara kayu terasnya tergolong agak sukar diawetkan.[3]

Keledang tergolong kayu yang sedang beratnya. Kayu terasnya berwarna cokelat-kekuningan jingga, kadang-kadang dengan kilauan hijau-zaitun, menjadi lebih gelap bila terpapar cahaya, dan biasanya terbedakan dengan jelas dari kayu gubal yang lebih pucat warnanya. Pada kadar air 15%, kepadatan kayunya berkisar antara (420-)640 – 875(-945) kg/m3. Tekstur kayunya sedang hingga kasar, dan merata; urat kayunya sangat berpautan. Nilai penyusutan kayu keledang termasuk sedang; dari kondisi kayu basah ke kadar air 15%, kayu ini menyusut sebesar 0,8-1,2% di arah radial, dan 1,7-2,6% di arah tangensial. Keledang mengering dengan kecepatan sedang hingga lambat, dan dengan kecenderungan ringan untuk melengkung atau pecah. Hingga mencapai taraf kering udara, kayu keledang setebal 15 mm dan 40 mm memerlukan waktu sekitar 3,5 bulan dan 4,5 bulan, berturut-turut.[3]

Kayu keledang sukar digergaji, ia kerap menumpulkan mata gergaji karena seratnya yang liat dan mengandung silika. Kayu ini juga dapat diserut hingga halus, dengan kecenderungan menyerabut pada sisi radial. Agak sukar hingga sukar dilubangi, kayu keledang ternyata mudah dibubut dan dipaku dengan hasil baik. Keledang kurang begitu disukai untuk produksi kayu lapis karena densitasnya yang cukup tinggi.[3]

Keawetan kayu keledang tergolong kurang hingga sedang; penggunaan secara bersinggungan dengan tanah di luar ruangan hanya menghasilkan daya tahan 1,2 – 3,3 tahun, bervariasi menurut spesiesnya. Kayu ini cukup tahan serangan rayap, namun tidak begitu tahan serangan kumbang bubuk. Kayu A. lanceifolius tampaknya cukup tahan serangan cacing laut. Kayu teras keledang sukar diawetkan; dengan teknik perendaman hanya menyerap sedikit bahan pengawet.[3]

Etimologi

sunting

Nama 'Artocarpus' berasal dari bahasa Yunani artos yang berarti "roti" dan karpos yang berarti "buah", terutama merujuk pada sukun yang menghasilkan buah tak berbiji serupa roti. Nama ini diberikan oleh Johann Reinhold Forster dan J. Georg Adam Forster, bapak dan anak ahli botani yang mengikut kapal HMS Resolution pada pelayaran James Cook yang kedua.

Keragaman jenis

sunting

Marga Artocarpus telah direvisi pada sekitar tahun 1950an oleh F.M Jarret (Smith dkk. 1992) dan menurutnya terdiri dari dua anak marga, yakni Artocarpus dan Pseudojaca. Awal tahun 2000an marga ini telah ditinjau kembali oleh N.C. Zerega.

Beberapa contoh anggota marga Artocarpus penghasil buah yang populer, di antaranya:

Sedangkan Artocarpus penghasil kayu, di antaranya:

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d Seibert, B. & P.C.M. Jansen. 1997. Artocarpus J.R. & G. Forster, dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Buah-buahan yang dapat dimakan. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 2: 87-91. Penerbit Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.
  2. ^ a b Argent, G. et al.. t.t. Manual of the Larger and More Important Non-Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia. Vol. 2: 430. Forest Research Institute, Samarinda.
  3. ^ a b c d e f g h i Djarwaningsih, T., D.S. Alonzo, S. Sudo, and M.S.M. Sosef. 1995. Artocarpus J.R. Forster & J.G. Forster. in R.M.H.J. Lemmens, I. Soerianegara and W.C. Wong (eds.). Timber Trees: minor commercial timber. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5(2): 64.
  4. ^ Rajendran, R. 1997. Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg, dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Buah-buahan yang dapat dimakan. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 2: 92-96. Penerbit Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.
  5. ^ Soepadmo, E. 1997. Artocarpus heterophyllus Lamk, dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Buah-buahan yang dapat dimakan. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 2: 96-103. Penerbit Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.
  6. ^ Jansen, P.C.M. 1997. Artocarpus integer (Thunb.) Merr., dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). Buah-buahan yang dapat dimakan. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 2: 103-106. Penerbit Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2.

Bacaan lanjutan

  • Smith, N.J.H, J.T. Williams, D.L. Plucknett, and J.P. Talbot. 1992. Tropical Forest and Their Crops. Cornell Univ., Ithaca. ISBN 0-8014-8058-2.
  • Zerega, Nyree Conrad - Dissertation Topic: Phylogeny of the genus Artocarpus (Moraceae), with a focus on the systematics, genetics, conservation, and biogeography of breadfruit
  • Zerega, NJC and TJ Motley. 2001. Artocarpus (Moraceae) molecular phylogeny and the systematics and origins of breadfruit, Artocarpus altilis. Presented at the Botanical Society of America annual meeting, Albuquerque, NM, August 12 – 16, 2001.
  • Possible subgenera of Artocarpus Diarsipkan 2005-12-27 di Wayback Machine.

Pranala luar

sunting