Albert Manumpak Sipahutar

jurnalis Indonesia

Albert Manoempak Sipahoetar[a] (disingkat sebagai A. M. Sipahoetar; 26 Agustus 1914 – 5 Januari 1948) adalah jurnalis Indonesia dan salah satu pendiri kantor berita nasional Antara. Lahir di Tarutung, ia merambah dunia jurnalistik pada usia muda dan memimpin dua kantor berita pada usia 20 tahun. Setelah bekerja di Medan, ia pindah ke ibu kota Batavia (sekarang Jakarta) bersama Adam Malik. Pasca bergelut di dunia politik dan periklanan, ia mendirikan Antara bersama tiga wartawan lain, lalu memimpin kantor berita ini selama satu tahun antara 1938 dan 1939. Meski ia masih aktif sebagai wartawan setelah keluar, kondisi kesehatannya memburuk dan ia meninggal dunia di sanatorium dekat Yogyakarta.

Albert Manoempak Sipahoetar
Lahir26 Agustus 1914
Tarutung, Tapanuli, Hindia Belanda
Meninggal5 Januari 1948(1948-01-05) (umur 33)
Pakem, Yogyakarta, Indonesia
Nama lainA. M. Sipahoetar
PekerjaanJurnalis, penulis
Tahun aktif1932–1942
AnakDerita Tjitanegara Revolusiani Tara Sipahutar

Kehidupan awal dan karier

sunting

Albert Manumpak Sipahutar, seorang bersuku Batak,[1] lahir Tarutung, Tapanuli, Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada tanggal 26 Agustus 1914.[2] Ia adalah seorang nasionalis yang tertarik dengan dunia jurnalisme saat masih muda. Bersama temannya, Adam Malik, ia mendirikan cabang Partai Indonesia (Partindo) di Pematang Siantar sekitar tahun 1932. Pada waktu itu pula, ia mendirikan majalah Sinar Marhaen yang usianya tidak lama dan memimpin harian Zaman Kita bersama Arif Lubis.[3]

Majalah dan harian tersebut ditutup tahun 1934 dan Albert pun menjadi koresponden untuk Pewarta Deli yang berkantor pusat di Medan. Ia semakin tidak puas dengan jabatannya dan mengikuti jejak Malik ke Batavia (sekarang Jakarta), ibu kota Hindia Belanda. Di sana ia terlibat dalam gerakan nasionalis bawah tanah. Salah satu pemimpinnya, Djohan Sjahroezah, memberinya pekerjaan di biro iklan Arta milik pebisnis Belanda.[4]

Antara

sunting

Di Arta, Albert juga menulis artikel bertopik polisik dan kejahatan untuk sejumlah koran lokal, salah satunya adalah Tjaja Timoer pimpinan Soemanang Soerjowinoto. Soemanang, yang senang dengan tulisan Albert, mengundangnya untuk berkolaborasi bersamanya.[5] Mereka berdua tidak senang melihat kantor berita Aneta yang memberi sedikit ruang bagi kantor berita lokal.[6][7] Setelah mempersiapkan selama beberapa bulan, kantor berita Antara didirikan pada tanggal 13 Desember 1937.[5]

Soemanang yang merupakan wartawan senior dijadikan pemimpin redaksi, sedangkan Albert menjadi redaktur senior. Malik juga bergabung sebagai redaktur senior.[5] Setelah Soemanang meninggalkan Antara tahun 1938, Albert diangkat menjadi redaktur pelaksana.[5] Albert keluar dari Partindo dan bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) berhaluan anti-fasis pimpinan Amir Sjarifuddin. Gerakan ini memungkinkan dirinya mendirikan majalah baru, Toedjoean Rakjat, pada tahun 1938.[1]

Sekitar tahun 1939, Albert menderita penyakit paru-paru dan pulang ke Sumatra untuk beristirahat.[7][5] Jabatannya sebagai redaktur pelaksana Antara sempat digantikan sementara oleh Alwi Soetan Osman, karyawan Kementerian Kehakiman Hindia Belanda, sebelum karyawan lama Antara Pandoe Kartawigoena menggantikan Osman.[7]

Kehidupan akhir

sunting

Albert kembali ke Batavia setelah merasa baikan walaupun kondisi fisiknya masih buruk. Ia tetap aktif di dunia politik dan terus menulis untuk sejumlah surat kabat, termasuk Keng Po milik Tionghoa dan Kebangoenan milik pribumi Indonesia.[8] Atas aktivitas politiknya, pemerintah Belanda menangkap Albert. Ia pertama ditahan di Sukabumi, kemudian di Garut dan Nusakambangan.[5]

Pasca pendudukan Jepang di Hindia Belanda pada awal 1942, Albert dan sesama tahanan politiknya dibebaskan dan kembali ke Batavia untuk membuka lagi Antara. Akan tetapi, pemerintah pendudukan meminta kantor berita ini dilikuidasi.[5] Akhirnya perusahaan ini berganti nama menjadi Yashima pada tanggal 29 Mei dan digabung ke Dōmei Tsushin tiga bulan kemudian.[7][9] Ia kemudian menulis biografi pendek tentang tokoh nasionalis Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sartono. Menurut jurnalis Indonesia Soebagijo I.N, buku berjudul Siapa?: Loekisan tentang Pemimpin2 ini adalah biografi berbahasa Indonesia pertama.[4]

Albert meninggalkan Domei tidak lama kemudian karena penyakit paru-parunya kambuh lagi. Ia pergi ke Sukabumi untuk istirahat.[10] Ia menikahi perawatnya, Jetraningrat Kartadiwiria, pada 3 April tahun 1946 di Tasikmalaya. Pada Mei 1947, ia dan keluarganya pindah ke Yogyakarta, awalnya dengan kereta api dari Sukabumi ke Jakarta, lalu bergabung dengan Hamengkubuwono IX dalam perjalanan ke ibu kota Indonesia yang baru itu. Albert menghabiskan sisa hidupnya di sebuah sanatorium di Pakem, sebelah utara Yogyakarta, dan meninggal dunia di sana pada tanggal 5 Januari 1948.[2]

Jasad Albert dimakamkan di Yogyakarta dalam upacara pemakaman yang dihadiri sejumlah tokoh politik ternama, termasuk Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifoeddin. Pada Desember tahun 1978, bertepatan dengan HUT Antara ke 41 tahun, jasadnya dipindahkan ke TPU Tanah Kusir di Jakarta dan pemakamannya dihadiri menteri kabinet Ismail Saleh dan Adam Malik yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI[2]

Catatan penjelas

sunting
  1. ^ Ejaan yang Disempurnakan: Albert Manumpak Sipahutar. Beberapa sumber keliru menulis marganya sebagai "Sipanhoentar" atau "Sipanhuntar"

Referensi

sunting
  1. ^ a b van Klinken 2003, hlm. 130.
  2. ^ a b c I.N. 1981, hlm. 389.
  3. ^ I.N. 1981, hlm. 385.
  4. ^ a b I.N. 1981, hlm. 386.
  5. ^ a b c d e f g I.N. 1981, hlm. 387.
  6. ^ Cribb & Kahin 2004, hlm. 299.
  7. ^ a b c d Setiawanto 2008.
  8. ^ van Klinken 2003, hlm. 144.
  9. ^ McVey 1985, hlm. 146.
  10. ^ I.N. 1981, hlm. 388.

Sumber

sunting