Ahmad Khātib as-Sambāsi

pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Al-ʿAlimul ʿAlāmah Al-ʿĀrif Bīllāh Al-Faqīh Ash-Shūfī Al-Waliyullāh Al-Quthub Hadhratus-Syaikh Ahmad Khātib Syambās Al-Qōdiri An-Naqsyabandiyyi ibni ʿAbdul Ghaffār qs. wa ra. adalah seorang Ulama Sufi dari Tanah Air yang Masyhur di Mekkah. Mursyid Kamil Mukammil, sekaligus Pengasas Perkumpulan Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atau singkatnya TQN. Perkumpulan Tarekat ini merupakan sebuah Majelis gabungan, penyatuan, dan pengembangan terhadap metode dua Tarekat Sufi besar, yakni Thoriqoh Qodiriyah dan Thoriqoh Naqsyabandiyah. TQN adalah aliran Tarekat yang Mu'tabarah (bahasa Arab: الطريقة المعتبرة) terjamin keabsahannya. Menjadikannya sebagai aliran Tarekat yang paling pesat perkembangannya di dunia, bahkan penganutnya telah tersebar hingga keseluruh dunia. Pusat penyebarannya berkiblat di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

Hadhratus-Syaikh Ahmad Khātib Syambās ibni ʿAbdul Ghaffār
Al-ʿAlimul ʿAlāmah Al-ʿĀrif Bīllāh Al-Faqīh Ash-Shūfī Al-Waliyullāh Al-Quthub Hadhratus-Syaikh Ahmad Khātib Syambās Al-Qōdiri An-Naqsyabandiyyi ibni ʿAbdul Ghaffār qs. wa ra.
NamaHadhratus-Syaikh Ahmad Khātib Syambās ibni ʿAbdul Ghaffār
Nisbahas-Sambāsi
LahirShafar, 1217 H (1803 M)
Kampung Dagang, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat
Meninggal1289 H (1875 M)
Madrasah Syeikh Ahmad Khātib, Jabal Qubays, Mekkah, Arab Saudi
Dimakamkan diJannatul Maʿlā, Makkah Al-Mukarommah
KebangsaanIndonesia
Karya yang terkenalFathul ʿArifin

Kelahiran dan Silsilah

sunting

Ahmad Khatib as-Sambasi dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan Safar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari Raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.

Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib as-Sambasi menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya.

Silsilah :

1. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

2. Fatimah Az-Zahra

3. Hasan Al-Mujtaba

4. Hasan Al-Mutsanna

5. Abdullah Al-Mahdi

6. Musa Al-Jun

7. Abdullah Ar-Ridha

8. Musa Ats-Tsani

9. Muhammad Ats-Tsair

10. Abdullah Al-Akbar

11. Ali As-Salami

12. Sulaiman

13. Husein

14. Isa

15. Abdul Karim

16. Mutha'an

17. Amir Idris

18. Amir Qatadah

19. Ali Al-Akbar

20. Amir Hasan Abu Sa'ad

21. Amir Muhammad Abu Numai Al-Awwal

22. Amir Rumaitsah

23. Amir Ajlan

24. Sultan Syarif Ali Al-Barakat Brunei

25. Sultan Sulaiman Al-Qanuni

26. Sultan Bolkiah Shah Alam

27. Pangeran Muhammad Tajuddin Al-Akbar

28. Sultan Saiful Rizal Nurul Alam

29. Sultan Muhammad Hasan

30. Sultan Haji Muhammad Ali / Marhum Tumbang Dirumput

31. Pangeran Muhammad Utsman Abdul Kafi / Pangeran Muda Bungsu

32. Syaikh Muhammad Utsman Abdurrazzaq / Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi Al-Awwal

33. Jalaluddin

34. Muhammad

35. Abdullah

36. Abdul Ghaffar

37. Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi

Pendidikan

sunting

Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam arti intelektual), yang juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Dakwah, Ketokohan dan Pengaruh

sunting

Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah

sunting

Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang dipimpin oleh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Tarekat yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun ia juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Ia selain amalan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Desember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Ajaran

sunting

Ajaran Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Tarekat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Survey tentang sejarah Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktik-praktik Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.

Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).

Pandangan Filosofis

sunting

Pandangan filosofis Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah mengenai hubungan kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim mahupun dengan yang bukan muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian Tanbih berikut:

  1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling menghargai.
  2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati bergotong- royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;
  3. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah menghinanya atau berbuat tidak senonoh bersika angkuh, sebaliknya harus bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan;
  4. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan.

Kewafatan

sunting

Umar Abdul Jabbar, menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan 1802 M.) sebagai tanggal lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi. Namun mengenai tahun wafatnya di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad Abul Khair menyebut bahwa Syeikh Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira bersamaan 1863 M.), tetapi menurut Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-kira bersamaan 1872 M.).

Tahun wafat 1280 H. yang disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah pasti ditolak, karena berdasarkan sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam Singapura, menyebutkan bahwa Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari mengambil tariqat (berbaiat) dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di Makkah menjalani khalwat. Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi pada hari Rabu ketujuh bulan Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut oleh Umar Abdul Jabbar lebih mendekati kebenaran.