Ababi, Abang, Karangasem

desa di Kabupaten Karangasem, Bali

Koordinat: 8°24′14″S 115°35′12″E / 8.403892°S 115.586789°E / -8.403892; 115.586789


Ababi merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, Indonesia.[4] Jarak pusat pemerintahan Desa Ababi dengan ibu kota Kabupaten Karangasem adalah sekitar 7 kilometer ke arah utara dari pusat kota Amlapura dan jarak dengan ibu kota Provinsi, Denpasar, adalah 83 kilometer. Desa ini memiliki objek wisata Taman Air Tirta Gangga.

Ababi
Negara Indonesia
ProvinsiBali
KabupatenKarangasem
KecamatanAbang
Kode pos
80852
Kode Kemendagri51.07.05.2001
Luas10,86 km²[1]
Jumlah penduduk10.393 jiwa (2016)[1]
7.254 jiwa (2010)[2]
Kepadatan668 jiwa/km²
Jumlah KK2.683 KK[3]

Sejarah sunting

Nama asli Desa Ababi dalam Purana Desa Adat Ababi adalah “Karaman Ihara Babi”. Sejak zaman kerajaan di Bali, sebagian dari lembaran purana tersebut hilang sehingga hanya tersisa tiga lembar. Kini satu di antara tiga lembar purana tersebut telah pecah. Purana merupakan kumpulan cerita kuno yang terkumpul dari kalangan rakyat yang mengisahkan kehidupan para Dewa tentang penciptaan semesta. Purana desa ini terbuat dari tembaga dengan tulisan huruf Bali kuno atau para huruf Bali. Berdasarkan penelitian Dinas Kepurbakalan terhadap purana tersebut pada bulan Agustus 1980, diperkirakan bahwa Desa Adat Ababi telah berdiri sejak zaman pemerintahan Raja Sri Anak Wungsu di Bali. Mengacu pada Purana Desa Adat Ababi, nama Desa Ababi yakni “Karaman Ihara Babi” memiliki beberapa pengertian yakni:

  • Karaman yang artinya masyarakat atau krama
  • Ihara yang artinya pohon eha (sejenis pohon penghijauan yang tumbuh di lereng-lereng tebing)
  • Babi yang artinya buah pohon eha yang bernama buah babi

Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka “Karaman Ihara Babi” memiliki arti sebagai masyarakat yang bernaung di bawah pohon eha yang sedang berbuah. Pohon eha ini juga memiliki hubungannya dengan cerita mata air eha yang terdapat di Desa Ababi atau juga terkait dengan pertama kalinya masyarakat Ababi tiba dan bermukim di bawah pohon eha yang sedang berbuah. Asal usul nama Desa Ababi sendiri juga berasal dari tiga kata yaitu “Karaman Ihara Babi”. Karaman yang berarti masyarakat, Hara yang berarti pohon eha, dan Babi yang berarti buah eha, kemudian oleh masyarakat disebut dengan Hara Babi atau Eha Babi yang selanjutnya menjadi Ababi.

Purana Desa Ababi menceritakan bahwa Raja Bali pernah mengutus “pakiran-kiran” (tim peneliti) untuk meneliti laporan Prajuru Desa Adat Ababi yang memohon bebas upeti. Setibanya di Desa Ababi, pakiran-kiran yang dipimpin oleh Dang Acarya Kuturan Lembu Kara langsung mengadakan penelitian dan sesuai dengan laporan Prajuru Desa akhirnya Desa Ababi di bebaskan dari upeti. Raja Bali juga memerintahkan agar masyarakat Desa Ababi tetap berhati-hati dalam bercocok tanam serta tetap melaksanakan pemberantasan hama secara berkala niskala. Desa Adat Ababi hingga saat ini masih melaksanakan perintah Raja Bali tersebut, yaitu mengadakan Upacara Palebon Jero Ketut (pengabenan tikus). Upacara tersebut bertujuan untuk memberantas tikus-tikus dan kemudian tikus tersebut diupacarakan (ngaben) dengan maksud untuk mengembalikan ke alam aslinya.

Selain cerita tersebut di atas, dalam Purana Desa Adat Ababi diceritakan juga bahwa konon pada zaman dahulu kala Dewi kemakmuran yaitu Betara Dewi Dabuh pernah memberikan suatu anugrah suci kepada wong (orang-orang) Desa Ababi setelah sebelumnya Ida Betara melewati beberapa Desa seperti Tianyar, Culik, dan Abang. Dikisahkan dalam perjalanannya, Ida Betara membawa sebungkus air yang dibungkus dengan daun kumbang sejenis daun talas. Setelah tiba di Desa Ababi, sebagian besar air tersebut akan ditumpahkan oleh Ida Betara dengan syarat harus dilakukannya upacara “Bukakak Kebo Metanduk Emas.” Orang-orang Desa Ababi menyetujui serta menyanggupi permintaan Ida Betara tersebut dan seketika itu juga air tersebut ditumpahkan di bawah pohon Eha sehingga sampai saat ini mata air tersebut di beri nama Air Eha.

Sisa dari air yang telah ditumpahkan di Desa Ababi kemudian dibawa oleh Ida Betara ke Desa Jungutan (Desa Adat Sibetan) dan dengan permintaan serta persyaratan yang sama, Ida Betara menumpahkan air yang berasal dari titisan air. Tempat tersebut kemudian diberi nama Telaga Tiista (Telaga Tista). Daun kumbang sebagai pembungkus air tersebut dilemparkan di atas telaga tista dan sampai saat ini disebut kumbang. Desa Ababi sejak dahulu kala telah memiliki akar kebudayaan yang sangat kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya purana dan awig-awig desa. Desa babi juga telah mengalami pemekaran menjadi lima Desa Adat yaitu Kesimpar, Peladung, Kertasari, Tampuangan dan Jasi. Oleh karena Desa Adat tersebut merupakan bekas wilayah Desa Ababi maka hingga saat ini masih terdapat hubungan kerja atau ikatan antara desa-desa tersebut.[5]

Geografi sunting

Desa Ababi memiliki luas wilayah sebesar 10,86 km² dan berada pada ketinggian wilayah rata-rata 573 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Secara umum wilayah desa ini berada di kaki Gunung Agung dengan kemiringan lahan ke tenggara. Sebelah utara merupakan wilayah daerah paling tinggi dan sebelah timur dan tengah adalah daerah dengan tanah berbukit kecil yang sebagian besarnya area persawahan. Sedangkan sebelah barat dan selatan adalah daerah datar. Suhu udara siang hari berkisar 29 °C-35 °C. Desa Ababi memiliki curah hujan sebesar 2887,7 milimeter/tahun.

Batas wilayah sunting

Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

Utara Desa Abang dan Desa Pidpid
Timur Desa Tiyingtali dan Kecamatan Karangasem
Selatan Desa Tiyingtali, Kecamatan Karangasem dan Kecamatan Bebandem
Barat Kecamatan Bebandem

Pemerintahan sunting

Pembagian wilayah sunting

Wilayah desa Ababi terdiri dari 12 dusun atau banjar. Beberapa nama dusun atau banjar tersebut memiliki persamaan nama dengan beberapa tempat di Klungkung. Hal ini mencirikan bahwa Desa Ababi mempunyai hubungan yang erat dengan Kerajaan Klungkung yakni orang-orang Klungkung yang berpindah ke Desa Ababi yang ditugaskan Kerajaan Bali untuk mengamankan desa pada waktu itu. Selain memiliki dua belas banjar, Desa Ababi juga memiliki satu Desa Adat atau Desa Pakraman Ababi yang terdiri dari lima Banjar Adat Murwa (Ngarep), tiga Banjar Adat Pemade, dua Banjar Adat Pragunung, dan tiga Desa Adat Sasempalan. 12 dusun atau banjar tersebut yaitu:

  1. Banjar Ababi
  2. Banjar Tanah Lengis
  3. Banjar Besang
  4. Banjar Pikat
  5. Banjar Umanyar
  6. Banjar Gunaksa
  7. Banjar Bias
  8. Banjar Sadimara
  9. Banjar Kuhun
  10. Banjar Abianjero
  11. Banjar Tumpek
  12. Banjar Tukad Bungbung

Demografi sunting

Penduduk desa Ababi sampai dengan tahun 2016 sebanyak 10.393 jiwa terdiri dari 5.271 Laki-laki dan 5.122 Perempuan dengan rasio jenis kelamin manusia bernilai 103.[1] Mata pencaharian utama penduduk Desa Ababi masih bertumpu pada sektor pertanian sawah. Sebanyak 1.838 dan 895 penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Selain itu, terdapat juga penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai peternak dan tukang batu. Tidak hanya terbatas pada sektor pertanian dalam arti luas, tetapi juga terdapat sejumlah penduduk Desa Ababi yang bekerja di sektor pemerintahan sebagai sumber mata pencahariannya.

Transportasi sunting

Sarana transportasi untuk menjangkau Desa Ababi adalah transportasi darat berupa motor, mobil, atau bus. Jika menggunakan kendaraan motor atau mobil, lama waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari Denpasar ke Amlapura sekitar 1 jam 40 menit dan dari Amlapura ke Ababi sekitar 15 menit. Sedangkan lama waktu perjalanan jika menggunakan bus atau transportasi umum yakni sekitar 3 jam dari Denpasar ke Amlapura dan sekitar 20 menit dari Amlapura ke Desa Ababi.[butuh rujukan]

Referensi sunting

  1. ^ a b c "Kecamatan Abang dalam Angka 2017". Badan Pusat Statistik Indonesia. 2017. Diakses tanggal 16 Desember 2018. 
  2. ^ "Penduduk Indonesia Menurut Desa 2010" (PDF). Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 1385. Diakses tanggal 14 Juni 2019. 
  3. ^ "Prodeskel Binapemdes Kemendagri". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-01. Diakses tanggal 2018-03-19. 
  4. ^ "Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan". Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 Desember 2018. Diakses tanggal 3 Oktober 2019. 
  5. ^ Nggauk, Christin Debora (2011). "Dampak pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan sumbak embukan (studi kasus:desa Ababi, kecamatan Abang, kabupaten Karangasem)". repository.ipb.ac.id. Diakses tanggal 13 Mei 2020. 

Pranala luar sunting