!Kung

suku bangsa di Namibia

!Kung adalah nama untuk kelompok masyarakat adat San yang tinggal di Gurun Kalahari di Namibia, Botswana, dan Angola.[1] Mereka termasuk dalam kategori masyarakat yang berbentuk kawanan (band) yang mendiami daerah tersebut selama ribuan tahun sebagai pemburu peramu dan berbicara dalam bahasa !Kung. Makanan pokok mereka berupa kacang mongongo (Schinziophyton rautanenii) yang tumbuh secara musiman dalam jumlah besar.[2]

seorang pria San mempersiapkan alat panah untuk berburu

Sekitar tahun 1950-an, salah satu sumber menyebutkan orang-orang !Kung terdiri atas 19 kawanan dengan tiap kawanan memiliki anggota berjumlah 8 hingga 42 orang yang mendiami wilayah seluas 250 hingga 650 km persegi (disebut dengan istilah n!ore).[3] Saat ini, dalam beberapa dasawarsa terakhir orang-orang !Kung mulai mengganti metode bertahan hidupnya dengan bertani dan bermukim di satu tempat.[4]

Karakteristik umum

sunting

Hubungan kekerabatan

sunting

Para penutur dialek bahasa !Kung di dalam daerah Nyae Nyae menyebut sesama penutur bahasa mereka dengan istilah jù/wãsi, yang memiliki makna berarti orang, berarti baik, jujur, tulus, bersih, tidak membahayakan dan si merupakan istilah untuk akhiran jamak. Kunjungan yang sering dilakukan antar kerabat di dalam daerah Nyae Nyae membuat keakraban secara pribadi diantara kawanan dan anggotanya yang berjumlah kurang lebih seribu orang di daerah tersebut, sehingga menjadikan mereka jù/wãsi terhadap satu sama lain. Istilah yang berlawanan dari jù/wãsi adalah jù/dole, memiliki makna yang buruk (dole memiliki arti buruk, asing, dan membahayakan). Istilah tersebut menurut mereka diberlakukan untuk semua orang kulit putih, orang-orang Bantu yang berkulit hitam, dan termasuk orang-orang !Kung yang menjadi penutur dialek yang sama tetapi merupakan anggota kelompok jauh tanpa ada hubungan kerabat mereka di dalamnya.[5]

Kehidupan sosial

sunting

Wilayah tempat tinggal orang-orang !Kung dihuni secara bebas meskipun tiap kawanan !Kung memiliki n!ore (wilayah) masing-masing. Namun orang luar yang tidak memiliki hubungan dengan para pemilik n!ore baik itu hubungan darah atau pernikahan tidak akan diberikan izin untuk memasuki wilayah mereka.[2] Permasalahan yang sering dihadapi adalah langkanya sumber air di Gurun Kalahari serta perkiraan curah hujan yang tidak pasti dari tahun ke tahun, sehingga memungkinkan orang-orang !Kung saling berbagi sumber air dengan wilayah tetangganya, dan karena setiap kawanan !Kung perlu menghabiskan sebagian besar waktunya di dekat sumber air.[3] Dalam beberapa kasus seperti perburuan, siapapun yang berburu hewan di n!ore tetangganya yang mereka lewati harus memberikan sebagian daging hasil buruannya sebagai hadiah bila berjumpa dengan anggota kawanan yang memiliki n!ore tersebut.[2]

Makanan

sunting

Orang-orang !Kung mengenal dengan baik berbagai jenis tanaman yang tumbuh disekitar wilayah mereka. Dari kesemua jenis tanaman tersebut, Orang-orang !Kung telah menyirikan dan menamai setidaknya 200 spesies tumbuhan lokal, dengan 105 diantaranya merupakan tumbuhan yang dapat dimakan. Salah satu tumbuhan yang paling dicari oleh mereka adalah kacang mongongo yang dianggap memiliki kandungan gizi paling banyak dan memberikan setengah dari seluruh kalori nabati yang dikonsumsi oleh orang-orang !Kung.[6]

Ritual berburu

sunting

Anak-anak laki-laki !Kung mulai diizinkan bermain dengan senjata tajam seperti busur dan anak panah sejak mereka sudah bisa berjalan, dan mulai berburu bersama orang tuanya ketika mereka mencapai usia remaja.[7] Selama melakukan ritual perburuan, para laki-laki !Kung mengatasi kecemasan mereka dengan cara mengecek cakram ramal yang konon meramalkan arah mana yang paling menjanjikan, dan buruan apa yang bisa mereka dapatkan hari itu. Cakram tersebut merupakan perangkat-perangkat yang terbuat dari kulit tipis antelop, terdiri atas lima atau enam lingkaran bergradasi diameter dari lima hingga delapan sentimeter dengan permukaan atas dan bawah yang berbeda dan memiliki namanya masing-masing. Setiap laki-laki !Kung mempunyai satu perangkat cakram tersebut.[8]

Cara melakukannya dengan meletakkan cakram-cakram di atas telapak tangan kiri dengan cakram terbesar berada paling atas, kemudian pemiliknya mengguncang-guncang dan meniupkannya serta mengucapkan mantra-mantra atau pertanyaan. Langkah terakhir adalah melemparkan cakram-cakram tersebut ke atas sehelai kain yang dibentangkan di atas tanah. Seorang peramal membaca dan mengartikan pola-pola cakram tersebut menurut ciri-ciri yang ditemukan seperti, apakah mereka bertumpang-tindih atau tidak, dan cakram-cakram mana yang mendarat dengan tegak atau dengan terbalik. Bila cakram satu sampai empat berada pada posisi terbalik, artinya perburuan hewan kemungkinan mendapat hasil yang besar. Terlepas dari keakurasian ramalan cakram-cakram tersebut, pada dasarnya orang-orang !Kung sangat memahami perilaku hewan yang akan mereka buru, sehingga rencana perburuan mereka biasanya membawakan hasil yang baik. Di sisi lain, pola-pola yang terbentuk dari cakram-cakram tersebut berperan penting untuk membuat para pemburu !Kung bersemangat dalam menuntaskan aktivitas perburuannya, dimana mereka dapat menentukan arah yang akan dipilih bersama-sama.[8]

Referensi

sunting
  1. ^ Diamond 2017, hlm. 340.
  2. ^ a b c Diamond 2017, hlm. 52.
  3. ^ a b Diamond 2017, hlm. 51.
  4. ^ Diamond 2017, hlm. 227.
  5. ^ Diamond 2017, hlm. 57.
  6. ^ Diamond 2017, hlm. 401.
  7. ^ Diamond 2017, hlm. 442.
  8. ^ a b Diamond 2017, hlm. 443.

Daftar pustaka

sunting

Bacaan Lanjutan

sunting
  • Katz, Richard: Boiling Energy, Community Healing among the Kalahari Kung (1982). Cambridge (Mass.): Harvard University Press.
  • Lee, Richard B.: Subsistence Ecology of ǃKung Bushmen (1965), PhD Dissertation, University of California, Berkeley.
  • Lee, Richard B.: The ǃKung San: Men, Women and Work in a Foraging Society (1979), Cambridge i Nova York: Cambridge University Press. (Chapter 9 available here)
  • Lee, Richard B.: Politics, sexual and non-sexual, in an egalitarian society (1982). In E. Leacock & R. B. Lee (Eds.), Politics and History in Band Societies (pp. 37–59). New York: Cambridge University Press.
  • Lee, Richard B.: Art, science, or politics? The crisis in hunter-gatherer studies (March 1992). American Anthropologist 94(1), 31–54.
  • Lee, Richard B.: The Dobe Juǀʼhoansi (2003), 3rd ed., Thomson Learning/Wadsworth.
  • Sahlins, Marshall: «The Original Affluent Society»
  • Shostak, Marjorie: Nisa The Life and Words of a ǃKung Woman, (2006 special edition) Boston: Harvard University Press.
  • Thomas, Elizabeth Marshall: The Old Way, A Story of the First People (2006), New York: Farrar Straus Giroux.

Pranala luar

sunting