Yohanes Yi Mun-u (1810-1840) adalah seorang martir Katolik Korea yang lahir lahir di Ichon di Provinsi Kyonggi di sebuah keluarga bangsawan Katolik. Ketika dia berusia lima tahun, kedua orang tuanya meninggal. Seorang wanita Katolik yang sangat saleh mengadopsi dia dan membawa dia ke Seoul. Yohanes tidak ingin menikah, namun ibu angkatnya bersikeras supaya dia menikah. Setelah istri dan kedua anak Yohanes meninggal, dia menjalani kehidupan seorang diri dan membaktikan dirinya untuk kegiatan amal dan membantu para misionaris dan umat Katolik. Yohanes menemani Pastor Maubant dalam kunjungan-kunjungan misinya. Selama penganiayaan tahun 1839, Yohanes mengumpulkan barang-barang untuk membantu umat Katolik yang dipenjarakan. Dia mempertaruhkan nyawanya untuk menjaga para misionaris tetap tersembunyi di pegunungan dan memberitahu mereka tentang apa yang sedang terjadi. Dia juga mempertaruhkan nyawanya untuk memakamkan jenazah Uskup Imbert, Pastor Maubant dan Pastor Chastan. Kemudian dia merencanakan untuk melarikan diri ke daerah terpencil.

Sebelum Yohanes melarikan diri, dia ditangkap di rumah seorang teman pada tanggal 10 November 1839. Interogator bertanya kepada Yohanes mengapa dia bisa melepaskan status bangsawannya dan mati sebagai seorang Katolik. Yohanes bersikeras bahwa dia tidak akan pernah menyangkal Allah Sang Pencipta dan Raja di atas segala raja. Interogator berusaha membujuk supaya Yohanes menyerah dari imannya dengan menyuguhi dia makanan dan anggur yang baik. Karena usaha interogator gagal, Yohanes disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara bersama dengan para perampok dan orang-orang yang sudah murtad. Dia pernah menasihati orang-orang yang murtad, dan dengan berani bersaksi tentang imannya.

Yohanes menulis sepucuk surat di penjara, enam hari sebelum dia menjadi martir. Surat itu dengan jelas menggambarkan apa yang terjadi dalam pikiran seorang martir sebelum kematiannya. Ringkasan surat itu adalah sebagai berikut:

“Betapa bahagianya saya bisa bersama dengan teman-teman seimanku! Saya bersyukur kepada Allah atas perjumpaan kembali yang membahagiakan ini.. Dunia ini hanya sesaat, dan tubuh itu sia-sia. Lihatlah pada tubuh setelah sepuluh hari jiwanya pergi. Begitu menyedihkan dan mengerikan tubuh itu dengan bau busuk! Namun orang-orang lebih memperhatikan tubuhnya dan tidak memperhatikan jiwa mereka sendiri. Orang-orang itu bagaikan binatang. Binatang tidak mempunyai jiwa untuk diselamatkan. Betapa menyedihkan bagi manusia yang memiliki jiwa untuk diselamatkan, untuk hidup seperti binatang!… Lawanlah tiga musuh yaitu setan, dunia dan tubuh. Yang paling berbahaya dari ketiganya yaitu tubuh… Kita dapat memeriksa diri kira sendiri melalui meditasi (renungan) dan doa. Mintalah kepada Bunda Maria yang Terberkati untuk perantaraannya. Dia sangat baik dan luar biasa kepada kami semua… Saat ini adalah saat-saat terakhir hidup saya. Jika Anda berdoa bersama-sama, tidak akan ada sesuatu yang berbahaya. Janganlah kamu takut akan kematian. Jangan membuat Tuhan kita yang ingin menyelamatkan jiwa-jiwa kita merasa kecewa. Setelah kalian melalui semua penderitaan dan cobaan, kalian bisa memasuki kebahagiaan dan sukacita abadi di Surga… Surat ini adalah surat yang saya tulis pada saat-saat terakhir hidup saya.”

Pada tanggal 1 Februari 1840, pada usia 31 tahun, Yohanes dibawa ke Tangkogae di dekat Seoul (pada hari ini berada di kota Seoul) dan dia dipenggal di sana bersama dengan dua orang Katolik lainnya. Catatan pemerintah juga membuktikan kejadian ini.[1]

Referensi sunting