Werner Otto von Hentig

Werner Otto von Hentig (1886-1984) adalah seorang tokoh, politisi, diplomat, orientalis, dan ahli sejarah peradaban Islam berkebangsaan Jerman yang menjadi anggota Rezim Reich Ketiga atau Jerman Nazi selama Perang Dunia II.[1][2]

Perang Dunia I sunting

Misi ke Afghanistan sunting

Werner Otto von Hentig sudah menjadi seorang diplomat yang berkarier di Kementerian Luar Negeri Jerman (saat itu masih Kekaisaran Jerman) sejak tahun 1909. Von Hentig juga ikut berkontribusi dalam Perang Dunia I, ia bersama koleganya yang bernama Oskar Niedermayer, kemudian memimpin sebuah misi ke Afghanistan untuk mendorong Pemerintah Afghanistan saat itu agar mau bergabung dengan Blok Sentral - bersama Kekaisaran Jerman, Turki Usmaniyah, Austria-Hungaria, dan Bulgaria - untuk menghadapi Blok Sekutu atau Tiga Entente - Kerajaan Britania Raya, Kekaisaran Rusia, dan Republik Prancis. Tujuan dari misi diplomasi ke Afghanistan itu adalah agar Afghanistan mau membantu Blok Sentral untuk menyerang kedudukan Britania Raya di India yang saat itu menjadi jajahannya. Namun sayangnya, misi diplomasi - yang disebut Blok Sekutu sebagai upaya "Jihad Made in Berlin" ini gagal, karena Afghanistan menolak.[1][2][3]

Perang Dunia II sunting

Saat Jerman dipimpin oleh Adolf Hitler dan Partai Nazi, Von Hentig diangkat menjadi Kepala Divisi Politik VII di Kementerian Luar Negeri Jerman (saat itu masih Jerman Nazi) yang memiliki tugas dan wewenang untuk menangani permasalahan politik luar negeri di wilayah Timur Dekat dan Timur Tengah (sekitar wilayah Afrika Utara, Semenanjung Arab, Turki, dan Levant).[1]

Mein Kampf Berbahasa Arab sunting

Hitler mengangkat Von Hentig dan meletakkannya dalam posisi itu bukan tanpa alasan, Hitler melihat bahwa Von Hentig memiliki jaringan yang kuat di Timur Tengah, terutama dengan para tokoh Pan-Turanisme (para pendukung Nasionalis Turki dan ingin menyatukan semua Bangsa Turki dalam sebuah negara Turki Raya), kelompok Nasionalis Arab, dan Nasionalis Persia (sekarangIran). Bahkan pada tahun 1938, Von Hentig pernah diminta oleh seorang Ahli Al-Qur'an untuk menerjemahkan Mein Kampf ke dalam Bahasa Arab. Terjemahan itupun ditulis dengan kaidah penulisan dalam Al-Qur'an, seperti adanya tanda baca dan cara membacanya, agar tidak terjadi salah tafsir dan tidak bertentangan dengan Ajaran Islam, tujuannya adalah agar Nazisme mendapatkan tempat di hati Umat Muslim di seluruh dunia. Von Hentig juga sempat menyarankan kepada konsulat Jerman Nazi di Mekah, Arab Saudi agar, eksemplar Mein Kampf yang berbahasa Arab untuk dibagikan selama musim Haji.[3][4]

Mengenai terjemahan Mein Kampf ke dalam Bahasa Arab itu, Von Hentig pernah menulis pernyataan:

"Jika berhasil (menerjemahkan dan mempublikasikan Mein Kampf berbahasa Arab), maka terjemahan Arab dari buku Führer akan menemukan tempat yang subur dan bergaung dari Maroko hingga India."[1]

Ide tentang penerjemahan Mein Kampf ke dalam Bahasa Arab itu bukannya tidak diketahui oleh pihak Blok Sekutu, terutama Britania Raya yang memang lebih banyak bertugas di wilayah Timur Tengah. Saat itu sebuah jurnal bernama ''L'Orient'' yang bermarkas di Beirut, Lebanon - wilayah koloni Prancis dan pro-Inggris melaporkan rencana Jerman untuk menerbitkan Mein Kampf berbahasa Arab. Dalam jurnal itu dikatakan:

"Kaum Orientalis Jerman bersiap unutk memalsukan Al-Qur'an dengan tujuan politik. Mereka menyampaikan, dalam ayat-ayat Al-Qur'an, suatu kumpulan kutipan Mein Kampf sehingga Kaum Muslim akan percaya bahwa Adolf Hitler adalah utusan Allah dan bahwa bukunya mendapat inspirasi dari ilahi."[5]

Selain ''L'Orient'', beberapa surat kabar di Eropa - terutama wilayah [[Blok Sekutu - juga melaporkan hal serupa. Kementerian Luar Negeri Jerman kemudian berusaha mengklarifikasi berita dari Blok Sekutu dengan menyebarkan sendiri terjemahan Mein Kampf berbahasa Arab dari Afrika Utara hingga Semenanjung Arab, tetapi teksnya tidak lengkap. Sampai berakhirnya Perang Dunia II eksemplar Mein Kampf berbahasa Arab yang asli tidak pernah utuh.[6]

Duta Nazi di Crimea sunting

Kualifikasi Von Hentig dalam memahami Dunia Islam sangat luas untuk ukuran seorang orientalis saat itu. Saat Jerman Nazi memutuskan hubungan diplomatik dan membatalkan Perjanjian Ribentrop-Molotov dengan Uni Soviet, Perang Dunia II meluas ke Eropa Timur, dengan tujuan utama Jerman adalah menaklukkan Rusia. Saat sebagian wilayah Uni Soviet sebelah barat (sekarang wilayah Ukraina) berhasil diduduki Jerman, Von Hentig kemudian ditunjuk untuk menjadi Duta Kementerian Luar Negeri Jerman di Crimea, hal ini dikarenakan Crimea memiliki populasi minoritas Muslim Tatar yang cukup besar.[7]

Menjaga Timur Tengah sunting

meskipun Von Hentig pernah berusaha mengajak Afghanistan untuk berperang melawan Inggris di India pada Perang Dunia I dengan alasan jihad, tetapi Von Hentig tak pernah ingin Perang Dunia II meluas ke Timur Tengah dan Asia Selatan, dan juga meskipun dikenal sebagai anggota Partai Nazi yang dekat dengan Kaum Muslim di banyak negara, Von Hentig tidak mau mengobarkan jihad perang kepada Kaum Muslim di daerah pendudukan negara Blok Sekutu, seperti Inggris, Prancis, dan Uni Soviet - tidak seperti Kekaisaran Jepang yang mengajak Kaum Muslim Indonesia untuk berjihad melawan Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Hal ini berdampak cukup signifikan, karena selama Perang Dunia II, wilayah Timur Tengah, terutama Semenanjung Arab dan Levant menjadi salah satu wilayah yang kondusif dan tidak terdampak dalam Perang Dunia II.[7]

Setelah Perang Dunia II sunting

Ketika Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Blok Poros - (menyerahnya Jerman Nazi, Republik Sosial Italia, dan Kekaisaran Jepang) - Von Hentig yang saat terjadi Pertempuran Berlin sedang bersama Mufti Besar Yerusalem, Haji Amin el-Husseini - yang saat itu merupakan sahabat Adolf Hitler - bersama-sama untuk melarikan diri keluar Berlin yang sudah dihancurkan dan dikepung oleh Tentara Merah Uni Soviet. Von Hentig dan Haji Amin el-Husseini akhirnya melarikan diri ke arah selatan yang lebih dekat menuju daerah yang dikuasai oleh Amerika Serikat - mereka lebih memilih tertangkap oleh Amerika Serikat ketimbang Uni Soviet, karena mereka tahu apa akibatnya bila tertangkap Uni Soviet sebagai seorang pendukung Nazi - keduanya kemudian berpisah di Bad Gastein, yang mana akhirnya mereka tertangkap oleh tentara Amerika Serikat.[7]

Perang Dingin dan Indonesia sunting

Setelah Perang Dunia II berakhir, Jerman terbagi menjadi dua wilayah pendudukan Blok Sekutu, Jerman Barat atau (Republik Federal Jerman) menjadi wilayah pendudukan Amerika Serikat, Britania Raya, dan Prancis, sementara Jerman Timur atau (Republik Demokratik Jerman) menjadi daerah pendudukan Uni Soviet. Von Hentig yang sebelumnya ditahan oleh Amerika Serikat kemudian berkat kontaknya yang luas dengan Dunia Islam akhirnya diangkat menjadi Duta Besar Pertama Jerman Barat atau Republik Federal Jerman untuk Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Soekarno dan menjadi negara dengan komunitas Muslim terbesar di dunia. Selama menjalankan tugasnya di Indonesia, Von Hentig tetap menjaga kontaknya dengan Timur Tengah, bahkan Von Hentig datang ke Konferensi Asia-Afrika yang digagas Soekarno di Bandung, Jawa Barat untuk menemani delegasi dari Arab Saudi sebagai Penasihat Khusus.[3][7]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d Nino Oktorino, Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 144
  2. ^ a b Ravensburg, Munzinger-Archiv GmbH,. "Werner Otto von Hentig - Munzinger Biographie". www.munzinger.de (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 2017-11-11. 
  3. ^ a b c "GESTORBEN: Werner Otto von Hentig". Der Spiegel. 34. 1984-08-20. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-15. Diakses tanggal 2017-11-11. 
  4. ^ Nino Oktorino, Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 144 - 145
  5. ^ Nino Oktorino, Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 145
  6. ^ Nino Oktorino, Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 145 - 146
  7. ^ a b c d Nino Oktorino, Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2015), hal. 146