Washi (和紙) atau wagami adalah kertas yang dibuat dengan metode tradisional di Jepang. Dibandingkan kertas produksi mesin, serat dalam washi lebih panjang sehingga washi bisa dibuat lebih tipis, namun tahan lama (tidak lekas lusuh atau robek).

Sugiharagami (salah satu jenis washi)
Chiyogami
Origami burung jenjang

Produksi washi sering tidak dapat memenuhi permintaan konsumen sehingga berharga mahal. Di Jepang, washi digunakan dalam berbagai jenis benda kerajinan dan seni seperti origami, shodō dan ukiyo-e. Washi juga digunakan sebagai hiasan dalam agama Shinto, bahan pembuatan patung Buddha, bahan mebel, alas sashimi dalam kemasan, bahan perlengkapan tidur, bahan pakaian seperti kimono, serta bahan interior rumah dan pelapis pintu dorong. Washi digunakan sebagai bahan uang kertas sehingga uang kertas yen terkenal kuat dan tidak mudah lusuh.

Sejarah

sunting

Zaman Asuka

sunting

Orang Jepang mengenal cara pembuatan kertas sekitar 500 tahun lebih awal dibandingkan dengan orang Eropa. Jepang mengenal cara pembuatan kertas berkat hubungan perdagangan dengan Semenanjung Korea yang sudah terjalin sejak zaman kuno.

Menurut buku sejarah Jepang Nihon Shoki, biksu Donchō (Dokyo) datang ke Jepang dari Kerajaan Goguryeo pada tahun 610 (tahun ke-18 era Suiko). Donchō merupakan ahli dalam berbagai bidang, termasuk cara pembuatan kertas dan tinta. Di Jepang, Donchō membuat penggilingan kertas dari gilingan batu dengan tenaga penggerak kincir angin. Bahan baku kertas pada saat itu berupa bubur kertas dari serat rami yang dihaluskan dengan gilingan batu.

Pada zaman itu, teknik pembuatan kertas merupakan rahasia negara kekaisaran Tiongkok yang tidak boleh dibocorkan ke luar negeri. Penyebaran kertas ke Timur Tengah yang dibawa orang Arab yang menjadi bekas tawanan perang di Tiongkok baru terjadi 140 tahun sesudah dikenalnya teknik pembuatan kertas di Jepang.

Sebelum dikenal cara pembuatannya, kertas sudah digunakan di Jepang sebagai bahan pembuatan buku. Menurut Kojiki, pertama kali buku dibawa masuk ke Jepang oleh sastrawan bernama Wani Kishi dari kerajaan Baekje pada tahun 285 (tahun ke-16 era Kaisar Ōjin). Wani membawa 10 jilid buku Analek Konfusius dan satu jilid buku Seribu Aksara Klasik (Qiānzìwén). Data Kojiki mengenai asal usul buku dianggap tidak akurat. Penulis buku "Seribu Aksara Klasik" lahir 100 tahun setelah era Kaisar Ōjin. Buku Analek Konfusius dan Seribu Aksara Klasik dibawa masuk ke Jepang pada abad ke-4 atau abad ke-5.

Zaman Nara

sunting

Pendirian Kantor Perpustakaan

sunting

Seratus tahun lebih setelah cara pembuatan kertas dikenal, Jepang mulai memproduksi kertas secara massal. Menurut catatan Shōsōinmonjo (kantor penyimpanan koleksi buku kaisar), pusat industri kertas dibangun di Provinsi Misaka, Harima, Mino dan Echizen pada tahun 737.

Penulisan buku sejarah Jepang (Kojiki dan Nihon Shoki) serta penulisan Fudoki (buku catatan adat istiadat, budaya dan sejarah lokal) diwajibkan oleh undang-undang Taihōritsuryō. Pemerintah perlu mendirikan Zushoryō (Kantor Perpustakaan) untuk menyimpan buku-buku yang selesai ditulis dan membuat kertas.

Keseluruhan pegawai Kantor Perpustakaan berjumlah 34 orang, 20 orang di antaranya bertugas menyalin buku serta dokumen, sementara 4 orang pegawai bertugas membuat kertas. Kantor Perpustakaan juga menugaskan sejumlah ahli pembuat kertas untuk memproduksi kertas di 50 pusat pembuatan kertas (kamiko) yang tersebar di Provinsi Yamashiro. Pada waktu itu, target pembuatan kertas untuk keperluan pemerintah sejumlah 20.000 lembar per tahun, dan semuanya bebas pajak. Selain untuk keperluan pemerintah, semua kertas yang diproduksi dikenakan pajak.

Pada tahun 739, pemerintah mendirikan Kantor Transkripsi (Shakyōshi) sebagai pusat penyalinan dokumen, sehingga kebutuhan kertas semakin melonjak. Pada sekitar tahun 774, Kantor Perpustakaan menunjuk lebih banyak lagi provinsi sebagai pusat industri kertas. Pusat industri kertas didirikan di berbagai provinsi seperti di Misaka, Harima, Izumo, Tsukushi, Iga, Kazusa, Musashi, Mino, Shinano, Kōzuke, Shimotsuke, Echizen, Etchū, Echigo, Sado, Tango, Nagato, Kii, dan Ōmi.

Walaupun pusat industri kertas sudah tersebar di seluruh Jepang, jumlah kertas yang diproduksi masih sedikit sehingga kertas merupakan barang langka yang berharga mahal. Kertas belum pernah digunakan untuk keperluan sehari-hari dan rakyat biasa masih menulis di atas papan kayu bertulis(mokkan) yang berharga murah.

Jenis washi

sunting

Kertas mashi

Mashi adalah kertas yang dibuat dengan cara pembuatan kertas yang paling tua. Bahan baku dari serat pohon Cannabis sativa L. (hemp) dan Boehmeria nivea (sejenis rami), serta jala usang yang tidak bisa lagi dipakai menangkap ikan ditambah kain bekas dari serat rami. Kain bekas dari rami mempunyai serat yang kuat sehingga harus dipotong-potong kecil dulu sebelum direbus atau digiling dengan penggilingan batu.
Permukaan kertas masih kasar sehingga harus dipukul-pukul dengan palu kayu di atas alas yang disebut kamikinuta. Sesudah itu, kertas digosok dengan batu, kerang, atau gigi taring binatang agar menjadi permukaan kertas yang halus dan licin. Tahap selanjutnya berupa penambalan pori-pori kertas dengan lapisan tepung mineral berwarna putih yang dibuat dari gips, batu kapur, dan kaolin. Kertas dilapisi sekali lagi dengan tepung kanji agar tinta yang dituliskan tidak merembes (belobor).
Kertas mashi sulit ditulisi sehingga bahan baku diganti dengan serat yang sama kuat tetapi mudah ditulisi. Pada perkembangan selanjutnya tercipta kertas kokushi yang bahan bakunya dari pohon murbei kertas (kōzo atau kaji).

Kertas kokushi

Kokushi adalah sebutan untuk kertas dengan bahan baku pohon murbei kertas (Broussonetia kazinoki atau dalam bahasa Jepang disebut koku). Bahan baku berasal dari serat kulit dari dahan pohon yang masih muda. Kulit dahan pohon harus direbus dulu sebelum dapat dibuat kertas.
Permukaan kertas halus agak sedikit kasar tetapi serat kertas panjang-panjang sehingga tahan lama. Jenis kertas ini banyak digunakan dalam kantor pemerintah untuk dokumen resmi dan pekerjaan penyalinan dokumen. Kertas jenis ini dapat digunakan begitu saja sebagai bahan bangunan tanpa perlu diberi warna lebih dulu.

Kertas hishi (ganpishi)

Hishi atau ganpishi adalah sebutan untuk jenis kertas dengan bahan baku tanaman perdu Diplomorpha sikokiana (ganpi) atau Edgeworthia chrysantha (mitsumata). Serat kertas pendek-pendek dan permukaan kertas yang halus bercahaya sehingga dikenal sebagai kertas torinoko.

Kertas danshi (michinokugami)

Bahan baku utama adalah kulit dahan yang masih muda dari pohon suku Celastraceae (nishiki). Kertas jenis ini berwarna putih dan tebal.

Jenis berdasarkan penggunaan

sunting

Menurut catatan Shōsōinmonjo, di Jepang diproduksi kertas berwarna dengan bahan pewarna alami dan kertas yang dicampur lembaran emas. Kertas juga dibuat dalam berbagai ukuran dan kualitas, panjang atau pendek, kertas ukuran setengah, hanshi (kertas untuk kaligrafi), dan uwagami (kertas pembungkus). Menurut penggunaannya, kertas terdiri dari kertas untuk menulis, kertas untuk menyalin dokumen, kertas halaman sampul, dan kertas tipis untuk shōji.

Kebudayaan kertas zaman Nara

sunting

Peran kertas menjadi semakin penting dalam kebudayaan Buddha zaman Nara. Kertas dan kain digunakan untuk menyalin sutra dan membuat patung Buddha dengan teknik lak kering (kanshitzu). Salah satu terbitan tertua di dunia yang masih tersisa sekarang adalah Hyakumantō Dharani (Seribu Pagoda dan mantra Dharani) yang ditulis pada tahun 770. Hyakumantō Dharani berusia 700 tahun lebih tua dari teknik percetakan letter press yang diciptakan oleh Johann Gutenberg.

Zaman Heian

sunting

Pada zaman Heian, bahan-bahan untuk pembuatan kertas dicatat dalam buku Engishiki (protokol istana era Engi). Literatur klasik Genji Monogatari membanggakan teknik pembuatan kertas di Jepang yang dikatakan sudah menghasilkan kertas berkualitas lebih baik daripada kertas dari Dinasti Tang.

Pendirian pabrik kertas

sunting

Setelah ibu kota pindah ke Heian-kyō (805-809), pusat pembuatan kertas di Provinsi Yamashiro ditutup, dan digantikan pabrik kertas yang disebut kamiya-in atau kanya-in. Pabrik kertas masa itu sudah menggunakan teknik lokal pembuatan kertas yang disebut nagashizuki.

Teknik nagashizuki

sunting

Pada teknik nagashizuki, tikar penapis digerakkan dengan gerakan ke atas, ke bawah dan ke samping agar larutan bubur kayu menempel pada tikar penapis dan larutan bubur kayu yang berlebih kembali ke dalam air. Lapisan bubur kayu yang menempel di atas tikar penapis inilah yang kemudian dikeringkan menjadi kertas.

Teknik nagashizuki Jepang berbeda dengan teknik nagashizuki dari Cina dan Korea dalam cara menggerakkan tikar penapis dan penambahan bahan perekat ke dalam larutan bubur kayu. Di Cina dan Korea, tikar penapis digerakkan ke depan dan ke belakang sampai ketebalan kertas yang diinginkan tercapai. Kertas yang lebih tipis dapat dihasilkan tanpa bahan perekat. Di Jepang, bahan perekat dari getah digunakan untuk mengikat serat agar lapisan serat menempel pada tikar penapis sewaktu sewaktu tikar digerakkan ke atas, ke bawah dan ke samping. Penggunaan bahan baku berupa perdu Diplomorpha sikokiana (ganpi) yang mengandung bahan perekat juga membuat larutan bubur kayu menjadi lengket.

Kertas karakami produksi Jepang

sunting

Pada zaman Heian, pemisah ruangan masih menggunakan kain tenun dari sutra dan kertas impor dari Cina (karakami). Kertas impor dari Cina memiliki motif yang dibuat dengan cara mencampur mika pada kertas. Sejalan dengan kemajuan teknik pembuatan kertas, kertas karakami juga bisa diproduksi di Jepang.

Karakami adalah kertas ganpi atau kertas torinoko yang dilapisi dengan campuran bubuk kulit kerang dan gelatin. Jenis kertas ini memiliki motif yang terlihat seperti segi enam dan motif gaya Arab. Motif pada kertas dibuat dengan cetakan blok kayu dan bubuk Mika. Penggunaan shōji) sebagai pembatas ruangan menjadi populer pada zaman Muromachi. Oleh karena itu, kertas karakami juga disebut kertas fusuma (kertas pintu dorong).

Kebudayaan kertas zaman Heian

sunting

Pada zaman Heian, washi dapat diproduksi dalam jumlah besar berkat pendirian pabrik-pabrik kertas dan teknik Nagashizuki. Pada masa itu, washi juga diproduksi di 44 provinsi selain produksi pabrik yang disebut kamiya-in. Istana kaisar mulai menggunakan washi dalam jumlah banyak dan pemakaian papan kayu bertulis (mokkan) mulai ditinggalkan.

Danshi

Pria bangsawan zaman Heian menulis aksara kanji di atas kertas kokushi, sedangkan wanita menulis aksara hiragana di atas kertas danshi. Pada zaman Heian, kertas danshi tidak lagi dibuat dari pohon suku Celastraceae (nishiki) melainkan dari pohon murbei kertas. Penjelasan mengenai kertas danshi terdapat dalam literatur Genji Monogatari dan Makura no Sōshi.

Hishi (ganpishi)

Kertas diproduksi dengan tiga macam ketebalan (tipis, sedang dan tebal). Menurut literatur klasik Utsubo Monogatari dan Makura no sōshi, laki-laki pada zaman Heian menyenangi kertas hishi yang tebal untuk dipakai sebagai kaishi (kertas alas makan kue), sedangkan wanita lebih menyenangi kertas tipis.

Kaishi

Pada umumnya, bangsawan Jepang menyisipkan kertas kaishi di bawah lengan kimono. Kaishi adalah kertas berfungsinya sebagai sapu tangan, lap cangkir (sakazuki) sewaktu minum sake, alas makan kue, atau kertas untuk menulis kalau tiba-tiba perlu menulis waka. Menurut kebiasaan penggunaan Kaishi pada zaman Heian, laki-laki menggunakan kertas jenis danshi dan wanita menggunakan kertas jenis hishi.

Akhir zaman Heian

sunting

Washi sudah diproduksi besar-besaran tetapi tetap merupakan barang langka. Kertas bahkan digunakan sebagai barang hadiah. Pada masa ini kertas mulai didaur ulang. Kertas baru hasil daur ulang yang agak kehitaman disebut sebagai kertas usuguroshi.

Kertas usugiroshi

sunting

Pada tahun 880 setelah Fujiwara no Tamiko wafat, surat-surat dari Kaisar Seiwa dikumpulkan untuk didaur ulang. Kertas hasil daur ulang dipakai untuk menyalin Lotus Sutra yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah kaisar. Pada waktu itu orang Jepang belum mengenal cara menghilangkan tinta dari kertas daur ulang. Kertas hasil daur ulang masih berwarna kehitaman.

Penutupan pabrik kertas pemerintah

sunting

Setelah para tuan tanah di berbagai daerah di Jepang mulai memproduksi kertas sendiri, pabrik kertas pemerintah menjadi kekurangan bahan baku. Pabrik kertas pemerintah yang sebelumnya hanya memproduksi kertas berkualitas tinggi akhirnya hanya bisa memproduksi kertas daur ulang dari kertas bekas dan sampah kertas. Kertas hasil daur ulang produksi pabrik pemerintah disebut kertas shukushi, dan akhrinya kertas kehilangan status sebagai barang mahal. Pabrik-pabrik kertas milik pemerintah akhirnya semua ditutup pada zaman Istana Utara dan Selatan.

Zaman Kamakura

sunting

Pada zaman Kamakura, pemerintahan berada di tangan samurai, sehingga penggunaan washi ikut meluas di kalangan samurai. Kertas yang tebal dan kuat seperti buatan Sugiharagami, Harima dan minowashi (washi dari Mino) populer di kalangan samurai.

Washi sebagai hadiah

sunting

Washi sebagai barang langka digunakan sebagai tanda rasa hormat atau ucapan terima kasih. Menurut buku harian Midōkanpakuki, washi dipakai sebagai hadiah untuk perayaan hari ulang tahun Buddha. Pejabat setingkat menteri mendapat kertas selebar 5 , penasihat mendapat 4 jō, dan anggota dewan perwakilan rakyat mendapat 3 (1 sama dengan 48 lembar). Di kalangan samurai, hadiah dalam bentuk washi biasanya dijadikan satu set dengan kipas lipat atau kain tenunan yang diikat dengan mizuhiki.

Pranala luar

sunting