Walang sangit
Walang sangit (Leptocorisa oratorius Fabricius, (Hemiptera:Alydidae); syn. Leptocorisa acuta) adalah serangga yang menjadi hama penting pada tanaman budi daya, terutama padi. Di Indonesia, serangga ini disebut: lango (Makassar), kungkang (Sunda), pianggang (Sumatra), dan tenang (Madura), Kameru (Malaka).[1] Hewan ini mudah dikenali dari bentuknya yang memanjang, berukuran sekitar 2 cm, berwarna cokelat kelabu, dan memiliki "belalai" (proboscis) untuk mengisap cairan tumbuhan. Walang sangit adalah anggota ordo Hemiptera (bangsa kepik sejati).
Walang Sangit | |
---|---|
Walang sangit di malai padi | |
Klasifikasi ilmiah | |
Domain: | Eukaryota |
Kerajaan: | Animalia |
Filum: | Arthropoda |
Kelas: | Insecta |
Ordo: | Hemiptera |
Subordo: | Heteroptera |
Famili: | Alydidae |
Genus: | Leptocorisa |
Spesies: | L. oratorius
|
Nama binomial | |
Leptocorisa oratorius | |
Sinonim | |
|
Walang sangit mengisap cairan tanaman dari tangkai bunga (paniculae) dan juga cairan buah padi yang masih pada tahap masak susu sehingga menyebabkan tanaman kekurangan hara dan menguning (klorosis), dan perlahan-lahan melemah.
Nama hewan ini menunjukkan bentuk pertahanan dirinya, yaitu mengeluarkan aroma yang menyengat hidung sehingga dinamakan "sangit". Sebenarnya tidak hanya walang sangit yang mengeluarkan aroma ini, tetapi juga banyak anggota Alydidae lainnya.
Perilaku & pengendalian gangguan
suntingSerangga betina menghasilkan 100–200 telur, yang diletakkan pada daun bendera padi.[1] Nimfanya berwarna hijau, yang berangsur-angsur menjadi cokelat, dan mengalami ganti kulit 5 kali. Stadia nimfa terjadi selama 17–27 hari. Pada kondisi yang cocok, imago dapat hidup hingga 115 hari. Nimfa dan imago menyerang buah padi yang matang susu dengan cara mengisap cairan buah, sehingga buah menjadi hampa.[1] Pada bekas tusukannya, timbul suatu bercak-bercak putih yang disebabkan cendawan Helminthosporium. Cara mengendalikannya adalah dengan penanaman secara serentak, sanitasi pada tanaman yang diserang, atau dengan penyemprotan insektisida menurut dosis anjuran.[1]
Referensi
sunting- ^ a b c d Tjahjadi, Nur (2001). Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 72. ISBN 978-979-413-009-4.