Tionghoa Medan (atau disebut China Medan atau Medan Tenglang (Hokkien Medan)) adalah sebuah sebutan yang umumnya disematkan kepada orang-orang beretnis Tionghoa yang berasal dari kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

Tionghoa Medan
Sebuah kelenteng, kemungkinan di Medan
Daerah dengan populasi signifikan
Kota Medan
Bahasa
Hokkien Medan, Hakka, Indonesia, Inggris[1]
Kelompok etnik terkait
Tionghoa Aceh, Tionghoa Bangka, Tionghoa Bukittinggi, Tionghoa Padang, Tionghoa Palembang


Sejarah sunting

Petanda awal datangnya Tionghoa ke Sumatra Utara terbukti dalam penemuan arkeologi di Pulau Kampai[2] and Kota China[3], menunjukkan kehadiran pedagang Tionghoa sedini abad ke-12 masehi. Ketika John Anderson dikirim untuk misi diplomatis ke pesisir timur Sumatera pada tahun 1823, ia mencatat adanya orang Tionghoa dalam jumlah sangat kecil di tanah Deli,[4] dan sekitar 50 sampai 100 orang Tionghoa di Asahan.[5] Perdagangan antara pesisir timur Sumatera dengan Penang dan Melaka sudah terjalin dan berkembang pada masa itu.

Bangkitnya Deli sebagai eksportir utama tembakau membawa influks Kuli Tionghoa dari Penang. Pada tahun 1890, Kuli Tionghoa di Sumatera Timur telah mencapai angka 53,806.[6] Pentingnya peran Penang bagi ekonomi Deli dan pengaruh kaum elit Babanyonya Penang dan Lima Kongsi Besar tidak dapat dipungkiri. Cheah Choo Yew (1841-1931) ialah salah satu pelopor dari Cheah Kongsi yang berkelahiran Langkat, Sumatera Timur. Khoo Cheow Teong (1840-1916) ialah cicitnya Koh Lay Huan (Kapitan Cina Penang yang pertama) dan cucu dari Khoo Wat Seng (perintis Khoo Kongsi). Ia menjabat sebagai Kapitan Cina di Asahan selama 26 tahun. Saudagar ternama Penang Cheong Fatt Tze juga merupakan saudara sekampung dari Kapitan Cina Medan Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian, dan ketiganya memonopolisir berbagai komoditi utama di Sumatera Timur. Hubungan kebudayaan antara Penang dan Medan melampaui jarak. Kita dapat menemukan banyak kesamaan seperti tradisi pemujaan Datuk dan kuliner Peranakan yang sama.

Referensi sunting

  1. ^ Nasution, Vivi Adryani, dkk. (2019). "Pemilihan Bahasa pada Remaja Etnis Tionghoa di Medan: Kajian Sosiolinguistik". TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts. Diakses tanggal 3 Oktober 2021. 
  2. ^ Dussubieux, Laure; Soedewo, Ery (2018). "The glass beads of Kampai Island, Sumatra". Archaeological and Anthropological Sciences (dalam bahasa Inggris). 10 (5): 1129–1139. doi:10.1007/s12520-016-0438-5. ISSN 1866-9557. 
  3. ^ McKinnon, E. E. (1977). "Research at Kota Cina, a Sung-Yüan period trading site in East Sumatra". Archipel. 14 (1): 19–32. doi:10.3406/arch.1977.1355. 
  4. ^ Anderson, John (1826). Mission to the east coast of Sumatra, in 1823, under the direction of the Government of Prince of Wales Island. United Kingdom: Edinburgh : Blackwood ; London : Cadell. hlm. 296. 
  5. ^ Anderson, John (1826). Mission to the east coast of Sumatra, in 1823, under the direction of the Government of Prince of Wales Island. United Kingdom: Edinburgh : Blackwood ; London : Cadell. p. 318
  6. ^ Anthony Reid, An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra (Singapore: Singapore University Press, 2005), p. 223.

Pranala luar sunting