Tes amplifikasi asam nukleat
Tes amplifikasi asam nukleat adalah salah satu jenis tes antigen yang umumnya memanfaatkan reaksi berantai polimerase.[1] Prinsip kerja dari tes amplifikasi asam nukleat ialah menggandakan asam nukleat di dalam virus hingga dapat dideteksi oleh alat di laboratorium. Tes amplifikasi asam nukleat dilakukan dalam ruang khusus dengan spesidfikasi tertentu serta emerlukan proses yang cermat.Sebagian besar kasus virus di dunia bergantung pada teknik ini. Tes amplifikasi asam nukleat diterapkan secara khusus pada diagnosis penyakit koronavirus 2019.[2] Beberapa metode lain untuk tes amplifikasi asam nukleat juga telah dikembangkan, diantaranya metode NASBA, metode 3SR, metode SDA, dan metode LAMP. Tiga metode pertama memungkinkan proses amplifikasi berlangsung tanpa perlu menunggu suhu denaturasi. Selain itu, instrumen siklus termal dapat dihilangkan dalam pelaksanaan reaksi. Sedangkan metode LAMP merupakan gabungan prinsip kerja dari ketiga metode sebelumnya.[3]
Metode
suntingTes amplifikasi asam nukleat telah dikembangkan dengan beberapa jenis metode. Metode terkini ialah metode LAMP yang dikembangkan oleh Notomi dan rekan-rekannya pada tahun 1999 M. Metode LAMP merupakan metode uji diagnostik molekuler cara langsung yang dilandasi oleh uji identifikasi asam nukleat bakteri. Metode LAMP merupakan hasil pengembangan dari beberapa metode amplifikasi asam nukleat sebelumnya. Kemudahan teknologi pada metode LAMP merupakan perpaduan antara metode nucleic acid sequencebased amplification (NASBA), metode self-sustained sequence replication (3SR), dan metode strand displacement amplification (SDA). Kelebihan metode NASBA dan 3SR adalah amplikasi asam nukleat dilakukan pada suhu tetap dengan teknik pemanfaatan transkripsi primer dan transkripsi balik. Sementara kelebihan metode SDA ialah mampu meniadakan siklus denaturasi dengan cara menyediakan enzim restriksi dan substrat DNA. Gabungan ketiga metode ini yang membentuk metode LAMP yang memungkinkan proses amplifikasi berlangsung tanpa perlu menunggu suhu denaturasi serta dapat meniadakan instrumen siklus termal dalam pelaksanaan reaksi. [3]
Reaksi berantai polimerase
suntingReaksi berantai polimerase merupakan suatu reaksi enzimatik yang dapat menggandakan untai DNA secara selektif dalam proses in vitro. Bahan yang diperlukan berupa sepasang primer oligonukleotida spesifik yang membatasi fragmen DNA tertentu. Selain itu, diperlukan konsentrasi ensim Tag polymerase, dNTPs, Mg2+, dan cetakan DNA. Reaksi berantai polimerase merupakan metode yang berguna untuk analisis DNA. Perbedaan dalam berbagai variabel yang mengontrol jalannya reaksi membuat reaksi amplifikasi pada reaksi berantai polimerase bersifat eksponensial. Hasil reaksi dipengaruhi oleh bahan yang digunakan, tahap denaturasi, tahap aniling, polimerisasi, periode waktu dan jumlah siklus dan laju penyusunan dimer primer, serta kontaminan DNA.[4] Proses amplifikasi metode reaksi berantai polimerase bagian DNA dengan menggunakan primer yang telah diketahui urutan basanya. Dengan menggunakan analisis mikrosatelit, pemeriksaan DNA dapat dilakukan secara mudah dan cepat. Analisis utamanya dilakukan pada DNA sidik jari. Reaksi berantai polimerase dapat mengamplifikasi lokus-lokus pada mikrosatelit yang memiliki ukuran alel yang kecil (kurang dari 300 pasangan basa) dan pada sampel yang mengalami degradasi.[5]
Mikrosatelit merupakan daerah-daerah DNA dengan panjang unit-unit pengulangan kurang dari 1 kb (kilobasepair). Karena sampel yang telah terdegradasi pun dapat dianalis, maka amplifikasi dengan mudah dilakukan dengan reaksi berantai polimerase. Pengulangan yang sedikit hanya menghasilkan perbedaan alel dari individu heterozigot dengan ukuran yang sama. Keberagaman jumlah pengulangan dalam penanda mikrosatelit di antara individu memberikan efektifitas tujuan identifikasi manusia. Penanda mikrosatelit menjadi lebih baik pada ukuran alel mikrosatelit yang kecil. Penanda ini digunakan dalam aplikasi forensik saat DNA yang rusak sangat banyak. Penyelesaian amplifikasi reaksi berantai polimerase dari sampel-sampel DNA yang rusak menjadi lebih mudah pada ukuran penanda yang lebih kecil.[6] Selama reaksi berantai polimerase, DNA yang dibutuhkan relatif dalam jumlah yang sangat sedikit. Reaksi berantai polimerase juga dapat melakukan amplifikasi meski tingkat kesegaran DNA relatif lebih rendah. Teknik ini lebih unggul dibandingkan dengan teknik Polimorfisme Panjang Berkas Restriksi yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan DNA forensik. Reaksi berantai polimerase merupakan penemuan dari Kary Mullis pada tahun 1985 yang mengatasi persoalan yang terkait dengan jumlah dan kualitas DNA.[7]
PCR waktu nyata
suntingTeknik PCR waktu nyata adalah teknik reaksi berantai polimerase yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas amplikon fragmen DNA. Deteksi dan pengukuran hanya dilakukan setelah setiap siklus terbentuk. Pengukuran flouresensi pada tabung reaksi terjadi selama proses amplifikasi fragmen DNA. Interkalasi bahan pewarna flouresensi (SYR Hijau I) pada amplikon menghasilkan flouresensi yang berkorelasi dengan jumah amplikon. Hasil yang sama diperoleh dengan menggunakan pelacak internal spesifik yang memanfaatkan efek transfer energi resonansi fluoresensi. Jenis pelacak berupa pelacak TaqMan, suar molekular, atau primer kalajengking. Semakin tinggi konsetrasi asam nukleat, semakin sedikit siklus amplikon yang diperlukan untuk mencapai batas ambang jumlah amplikon yang diinginkan dan intensitas flouresensinya. Karenanya, teknik ini dapat digunakan untuk kuantifikasi asam nukleat. Teknik ini juga cocok untuk deteksi dan kuantifikasi target spesifik DNA dan RNA. PCR transkriptase balik perlu dilakukan sebelum real-time PCR dimulai pada target spesifik RNA. PCR waktu nyata utamanya menggunakan PCR siklus cahaya untuk SYBR Hijau I. Pada pelacak Taqman yang mempunyai spesifitas tinggi digunakan siklus Taqman (ABI). Metoda PCR dengan SYBR Hijau I membutuhkan biaya operasional yang lebih murah dari pada metoda PCR waktu nyata dengan TaqMan. Kekurangannya metoda ini adalah hasil yang diperoleh kurang sepsifik. Sebaliknya, metoda PCR waktu nyata dengan TaqMan berbasis transfer energi resonansi fluoresensi memberikan hasil yang lebih spesifik, namun biaya operasionalnya lebih tinggi dibandingkan dengan metoda PCR waktu nyata dengan SYBR Hijau I.[8]
Metode Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP)
suntingMetode LAMP dikembangkan pada tahun 1999 di Jepang sebagai teknik diagnostik molekuler. Pengembangannya bertujuan untuk mengatasi kendala-kendala dalam penerapan uji diagnostik molekuler.[9] Amplifikasi DNA yang menggunakan metode LAMP hanya dilakukan pada suhu tetap, sehingga peralatan siklus termal tidak diperlukan. Pada suhu tetap, amlipfikasi dapat terjadi dengan jumlah primer yang lebih banyak. Prinsip kerja amplifikasi berdasarkan reaksi berantai polimerase tersarang atau reaksi berantai polimerase transkiptase balik.[10]
Proses amplifikasi pada metode LAMP dapat mengalami kegagalan. Selama proses reaksi amplifikasi berlangsung, kegagalan dicegah dengan menambahkan enzim yang dapat menjadi substrat. Sistem deteksi menggunakan metode LAMP sangat sederhana karena hanya memerlukan 1 arena amplikon berbentuk endapan. Penambahan reagen pengendap dilakukan pada saat proses reaksi dimulai. Bahan ampifikasi juga dapat berupa fluoresen dengan penambahan reagen fluoresen selama proses reaksi. Kondisi ini membuat deteksi hasil akhir dapat diamati secara visual secara langsung. Prinsip amplifikasi DNA bakteri pada suhu tetap dianggap sebagai suatu keunggulan. Anggapan yang sama juga diberikan pada hasil yang terdeteksi berupa presipitasi ataupun pendar fluoresensi yang dapat dengan mudah diamati. Metode LAMP direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebagai uji diagnosis rutin dalam laboratorium rujukan mengenai tuberkulosis di sejumlah negara.[11]
Instrumen sederhana berupa penangas air atau pelat pemanas dapat digunakan pada metode LAMP karena amplifikasi DNA dilakukan pada suhu tetap. Proses penafsiran hasil reaksi dilakukan secara sederhana, Pengamatan hanya menggunakan mata telanjang atau sinar ultraungu sederhana. Pemakaian metode LAMP sesuai pada negara-negara dengan sumber daya teknologi yang terbatas.[12]
Amplifikasi
suntingAmplifikasi gen 16S rRNA
suntingMolekul 16S rRNA mempunyai fungsi yang identik pada seluruh organisme. Daerah-daerah molekul 16S rRNA memiliki sifat yang sangat lestari dan terdistribusi secara universal. Proses amplifikasi gen dengan reaksi berantai polimerase sangat mudah karena ukuran gen 16S rRNA cukup memadai untuk proses sekuensing. Hanya beberapa bagian lain yang daerahnya bersifat semi-lestari dan variabel. Gen 16S rRNA terdapat 9 daerah variabel dengan tanda V1 sampai V9. Daerah-daerah variabel ini dapat membedakan organisme pada tingkat genus hingga spesies, tetapi tidak mampu membedakan hingga ke tingkat antar strain dalam spesies yang sama. Amplifikasi gen 16S rRNA bakteri dapat dilakukan pada daerah yang sangat lestari menggunakan metode.[13]
Amplifikasi gen 16S rRNA bakteri dengan metoda reaksi berantai polimerase secara umum menggunakan primer universal. Pada spesies bakteri tertentu digunakan primer spesifik. Primer universal gen 16S rRNA bakteri adalah primer yang komplemen dengan suatu urutan nukleotida. Jenis primer universal tersedia secara melimpah di dalam gen 16S rRNA dengan sumber bakteri yang berbeda-beda dan beragam. Primer universal yang dipakai untuk amplifikasi gen 16S rRNA bakteri yaitu primer 27F, 765R dan 1495R. Pada gen 16S rRNA Bacillus dirancang primer khusus berdasarkan penjajaran urutan gena, yaitu 400F, 700F, dan 1000F. Sedangkan primer 16S rRNA yang digunakan untuk mendeteksi Paenibacillus macerans adalah MAC 1, dan MAC 2. Pada Bacillus subtilis digunakan primer Bsub5F dan Bsub3R.[14]
Deteksi virus
suntingDeteksi genetik HIV
suntingMateri genetik dari virus HIV dapat dideteksi melalui tes amplifikasi asam nukleat dengan pemeriksaan reaksi berantai polimerase. Deteksi secara khusus berpusat pada bagian yang paling dipertahankan dari gen GAG HIV. Tes amplifikasi asam nukleat juga lebih dikhususkan pada deteksi dini. Penggunaan tes amplifikasi asam nukleat berkembang pesat di Amerika Serikat sejak tahun 2001 M. Tes asam nukleat telah dipakai dalam skrining darah donor. Selan itu, tes ini digunakan untuk memperpendek periode jendela menjadi sekitar 12-15 hari dalam rentang masa infeksi dan detektabilitas genom virus. Pemeriksaan diagnostik kualitatif yang menunjukkan adanya infeksi virus HIV dapat diperoleh melalui tes DNA dan RNA. Tes ini juga digunakan pada pemantauan prognosis atau pengobatan dengan sistem deteksi kuantitatif yang mengukur kadar dari kopi asam nukleat HIV.[15]
Konfirmasi infeksi SARS-Cov-2
suntingTes amplifikasi asam nukleat digunakan untuk konfirmasi standar infeksi SARS-CoV-2 akut. Deteksinya didasarkan pada sekuensing virus khusus, seperti real time reverse-transcription polymerase chain reaction (rRT-PCR).[16] Tes amplifikasi asam nukleat menargetkan genom SARS-CoV-2. Sekuens khusus sarbecovirus juga menjadi target yang wajar, karena saat ini belum diketahui terjadi penyebaran SARS-CoV-1 secara global. Pada asai yang tersedia di pasaran, interpretasi hasil harus dilakukan sesuai instruksi penggunaan. Tes amplifikasi asam neukleat akan menghasilkan diagnostik yang optimal dengan setidaknya dua target genom SARS-CoV-2 yang tidak terkait. Namun, algoritma sederhana dengan satu target pembeda tunggal dapat digunakan pada wilayah-wilayah dengan persebaran SARS-CoV-2 secara meluas. Selain itu, strategi memantau mutasi yang dapat berdampak pada kinerja dipersiapkan saat menggunakan asai dengan target tunggal.[17]
Asai tes amplifikasi asama nukleat telah tersedia secara umum. Beberapa sistem tes amplifikasi asam nukleat memiliki kemampuan tes secara otomatis dan menyeluruh. Kerjanya dimulai dari pemrosesan sampel, kapasitas ekstraksi, amplifikasi, hingga pelaporan RNA. Di wilayah-wilayah dengan kapasitas laboratorium yang terbatas, sistem-sistem tersebut memberikan akses pada tes. Selain itu, sistem-sistem tersebut memberikan hasil yang cepat saat digunakan untuk tes di dekat pasien. Validasi data dari sebagian asai ini sekarang sudah tersedia. Penggunaan asai-asai ini di tempat-tempat tertentu memerlukan staf yang cukup terlatih dengan penilaian kinerja langsung pada tempat tersebut. Penggunaan asai juga melibatkan sistem pemantauan kualitas. Tes amplifikasi asam nukleat dapat dibantu dengan metode amplifikasi atau deteksi tambahan yang dapat bermanfaat seperti CRISPR, teknologi amplifikasi asam nukleat isotermal dan asai mikrolarik molekuler. CRISPR dapat membantu dalam menarget klaster urutan berulang palindrom pendek berjarak reguler. Sedangkan teknologi amplifikasi asam nukleat isotermal dapat berupa amplifikasi isotermal mediasi lingkar transkripsi balik (RT-LAMP). Peningkatan akses pada tes SARS-CoV-2 dilakukan dengnan validasi kinerja analitis dan klinis asai-asai, demonstrasi potensi kegunaan operasional, pembagian cepat data, serta pengkajian darurat atas peraturan tentang tes berkinerja baik yang dapat diproduksi. Hasil tes amplifikasi asam nukleat positif lemah secara hati-hati diinterpretasi, karena beberapa asai terbukti menghasilkan sinyal palsu dengan nilai Ct yang tinggi. Pengambilan sampel pasien harus diulang dan pasien dites laga apabila hasil tes terbukti invalid atau diragukan. RNA harus diekstraksi kembali dari sampel awal jika sampel-sampel tambahan dari pasien tidak tersedia, lalu dites lagi oleh staf yang berpengalaman. Hasilnya dapat dikonfirmasi melalui tes-tes amplifikasi asam nukleat alternatif atau pengurutan virus jika beban virusnya cukup tinggi. Setiap hasil yang tidak terduga di laboratorium harus memperoleh konfirmasi dari laboratorium referensi.[18]
Diagnosis penyakit
suntingDiagnosis tuberkulosis
suntingDiagnosis tuberkulosis pada pasien yang mengidap HIV dapat dilakukan dengan metode foto toraks, kultur, mikroskopi sputum, pemeriksaan histologi dan kultur jaringan. Namun, metode-metode tersebut memiliki sensitivitas yang terbatas sehingga memerlukan banyak waktu agar diagnosis dapat diselesaikan. Tes amplifikasi asam nukleat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk mempersingkat diagnosis tuberkulosis pada penderita HIV.[19]
Penyingkatan periode jendela
suntingSerokonversi rata-rata memiliki periode jendela selama 22 hari dengan tes antibodi HIV-1 subtipe B. Melalui tes antigen, periode jendela dapat dipersingkat menjadi sekitar 16 hari. Sedangkan pada tes antigen berjenis tes amplifikasi asam nukleat, periode jendela dipersingkat lagi menjadi 12 hari.[20]
Polimorfisme Panjang Berkas Restriksi
suntingAnalisis pengujian protein DNA di di dalam sel meliputi lima tahapan saat menggunakan polimorfisme panjang berkas restriksi. Amplifikasi DNA merupakan tahapan kedua. Metode ampifikasi yang digunakan ialah reaksi berantai polimerase.[21]
Referensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ Gunung, dkk. 2003, hlm. 60.
- ^ Aditama, Tjandra Yoga (2020). Covid-19 dalam Tulisan Prof. Tjandra (PDF). Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB). hlm. 68. ISBN 978-602-373-177-0. [pranala nonaktif permanen]
- ^ a b Lisdawati, dkk. 2012, hlm. 5.
- ^ Wahyono 2017, hlm. 20.
- ^ Yudianto 2019, hlm. 12.
- ^ Yudianto 2019, hlm. 13.
- ^ Yudianto 2019, hlm. 17.
- ^ Wahyono 2017, hlm. 22-23.
- ^ Lisdawati, dkk. 2012, hlm. 3.
- ^ Lisdawati, dkk. 2012, hlm. 3-4.
- ^ Lisdawati, dkk. 2012, hlm. 4.
- ^ Lisdawati, dkk. 2012, hlm. 4-5.
- ^ Syukur, Sumaryati (2017). Bioteknologi Dasar dan Bakteri Asam Laktat Antimikrobial. Padang: Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (LPTIK), Universitas Andalas. hlm. 68. ISBN 978-602-5539-05-3.
- ^ Azhar, Minda (2016). Biomolekul Sel: Karbohidrat, Protein, dan Enzim (PDF). Padang: UNP Press. hlm. 52. ISBN 978-602-1178-12-6.
- ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 89.
- ^ World Health Organization 2020, hlm. 2.
- ^ World Health Organization 2020, hlm. 5.
- ^ World Health Organization 2020, hlm. 6.
- ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 16.
- ^ Menon dan Kamarulzaman 2009, hlm. 86.
- ^ Susilowati, Rina Priastini (2019). Kajian Sel dan Molekuler: Hubungannya Dengan Penyakit Pada Manusia (PDF). Banyumas: CV. Pena Persada. hlm. 232. ISBN 978-979-3025-78-0.
Daftar pustaka
sunting- Gunung, dkk. (2003). Buku Pegangan Konselor HIV / AIDS (PDF). Prahran: Macfarlane Burnet Institute for Medical Research and Public Health Limited. ISBN 1-876-644-01-X.
- Menon, A., dan Kamarulzaman, A. (2009). Inikah HIV? Buku Pegangan Petugas Kesehatan (PDF). Darlinghurst: The Australasian Society for HIV Medicine. ISBN 978-1-920773-73-1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-01-24. Diakses tanggal 2021-03-22.
- Lisdawati, dkk. (2012). Pedoman Operasional Baku Uji diagnostik Molekuler: Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) untuk Deteksi Cepat TB Paru (PDF). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISBN 978-602-235-172-6.
- World Health Organization (11 September 2020). "Tes Diagnostik untuk SARS-CoV-2: Panduan Interim" (PDF). www.who.int. World Health Organization.
- Yudianto, Ahmad (2019). Cell Free Fethal DNA Metode Non Invasive dalam Pemeriksaan Identifikasi (PDF). Surabaya: Scopindo Media Pustaka. ISBN 978-623-6500-10-1.
- Wahyono, Daniel Joko (2017). Diagnosa Molekul Epsteins-Barr Virus: Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring (PDF). Banyumas: Lembaga Peneltian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Jenderal Soedirman. ISBN 978-602-1643-47-1.