Teresia Kim (1797-1840) adalah seorang martir Katolik Korea yang lahir di Myonch’on, di Provinsi Ch’ngch’ong, dari keluarga martir. Dia adalah bibi dari St. Andreas Kim Tae-gon, imam pertama Korea dan juga dia adalah sepupu dari ayah St. Andreas Kim yaitu St. Ignasius Kim Che-jun. Baik kakeknya yaitu Pius Kim Chin-hu dan ayahnya yaitu Andreas Kim Han-hyon, menjadi saksi bagi Yesus Kristus dengan mati bagi iman mereka setelah hidup di penjara untuk waktu yang lama dan disiksa dengan kejam. Ibu Teresia tak lama kemudian meninggal.

Surat-surat ayahnya kepada teman-teman dan keluarganya menunjukkan semangat kemartiran dan menjadi inspirasi bagi hidup Teresia Kim dan ibunya.

“Waktu berlalu. Sudah satu tahun sejak kita terakhir berpisah. Saya bersyukur kepada Allah bahwa kamu telah berhasil bertahan di musim dingin yang keras ini tanpa adanya masalah besar, terlepas dari keterbatasan dari kebebasanmu. Karena mereka telah memenjarakan saya karena iman saya, saya menemukan bahwa penjara adalah lingkungan yang luar biasa. Karena dosa-dosa saya sepertinya saya belum layak untuk kemartiran, saya tidak dapat berbuah, tapi saya seperti sebuah pohon dalam hutan.”

“Waktu begitu berharga, sekali kita membuangnya kita tidak dapat mendapatkanya kembali. Jika kita tidak berusaha, harapan akan keberhasilan apa yang akan kita dapat? Jika melepaskan kesempatan yang akan menyebabkan kerugian bagi dunia, berapa besar lagi kerugian yang kita lepaskan untuk kesempatan untuk menyelamatkan jiwa kita?”

“Saya memasuki Gereja tanpa ada pikiran yang lain selain untuk melayani Allah dan menyelamatkan jiwa saya. Dan, walaupun sesaat saya telah meragukan apakah sesuatu yang baik akan terjadi, dari dalam hati saya tidak lagi merasa ragu. Namun demikian, ketika saya membaca situasi istri saya yang miskin, hati saya dipenuhi rasa sakit dan pedih. Saya membicarakannya karena keadaan istri saya yang tidak memiliki seorang pun yang dapat diandalkan di musim dingin yang begitu dingin ini. Sebelumnya, dia tinggal bersama dengan kerabat atau temannya, namun sekarang tidak ada seorang pun yang bersedia untuk membantu dia, karena mereka merasa takut akan dihubungkan dengan saya. Mereka berhati-hati supaya mereka tidak masuk ke dalam masalah. Hal ini memang situasi yang kejam dan tak berperasaan.”

“Saya datang kepada Gereja untuk melayani Allah dan menyelamatkan jiwa-jiwa, kita diminta untuk membuat pengorbanan besar. Kita harus meninggalkan rumah kami dan ke suatu tempat yang jauh yang membuat kami menjadi orang asing. Saya percaya, untuk hal baik maupun buruk, ini adalah kehendak Allah. Jika dengan menerima segala sesuatu, hal yang baik maupun buruk, dari tangan Allah adalah suatu cara untuk memastikan keselamatan, sehingga dengan menerima dan membantu orang lain yang berkebutuhan adalah cara yang lain. Saya mohon padamu, untuk merawat istri saya yang tidak mempunyai tempat tujuan. Ini akan memberikan kontribusi bagi keselamatanmu sendiri. Gereja itu satu tubuh. Begitu pula dengan alam semesta yang adalah satu. Bagaimana sesuatu itu bisa bertahan jika tidak memiliki dasar kasih dan persatuan? Banyak bagian yang membentuk tubuh. Bagaimana mungkin jika salah satu bagian berkata bahwa bagian itu tidak mengasihi bagian yang lain, ataupun mengkhianatinya? Mereka harus membantu dan mendukung satu sama lain. Setiap pribadi adalah berdiri sendiri, namun Allah adalah kepalanya.” (Dari surat kepada Yi Saeng-won).

Di Provinsi Kyogsang, lebih dari seratus orang pria dan wanita, tua dan muda, telah ditangkap. Di antara mereka telah meninggal karena kelaparan di penjara dan sebagian lagi meninggal ketika dipindahkan ke sini. Sebagian lagi yang imannya lemah, telah menyerah, sehingga sekarang kami hanya ada tiga belas orang yang tersisa. Oleh karena rahmat Allah kami bisa bertahan. Memang kami penuh dengan rasa syukur. Namun demikian, karena saya tidak kuat secara fisik, sulit bagi saya untuk menahan ha ini dengan sukacita. (Dari surat kepada saudaranya).

“Jika kamu dengan rela menderita demi Yesus, kamu akan menjadi orang pilihan Allah. Semuanya tergantung pada pilihan seseorang yang baik atau jahat. Oleh karena itu, saya mengimbau kamu supaya dengan berani untuk menderita apapun yang terjadi padamu.”

“Saya telah menderita di penjara ini selama lebih dari satu tahun, namun dengan rahmat khusus, saya baik-baik saja. Saya bersyukur kepada Allah atas rahmat ini dan hanya dapat berharap untuk rahmat terakhir yaitu kemartiran. Namun demikian, saya merasa takut bahwa saya tidak layak untuk menerima rahmat ini. Kehidupan yang mudah membuat jiwa lemah dan seiring jiwa yang melemah, kekuatan daging akan tumbuh. Saya merasa takut bahwa jika saya kehilangan kesempatan ini, maka kesempatan ini tidak akan datang lagi dalam jalan hidup saya. … Saya berdoa dengan sungguh-sungguh supaya Allah akan membawa saya ke tujuan saya.” (Dari surat kedua kepada saudaranya).

Teresia Kim adalah seorang yang ramah dan suka beramal. Pada usia 17 tahun, dia menikah dengan Yosef Son yang kemudian meninggal demi imannya di penjara Haemi. Dia memiliki banyak anak yang dia besarkan untuk mengasihi Allah. Setelah dia menjadi janda pada usia 32 tahun, dia menjalani kehidupan penyangkalan diri dengan melakukan puasa setiap hari Rabu dan Jumat, sejauh apa yang dilakukannya dia dapat dipanggil sebagai teladan istri dan janda Kristiani. Dari masa mudanya, Teresia Kim memiliki keinginan yang kuat yang ditunjukkan dalam semangat dan penampilannya.

Ketika seorang imam dari Tiongkok yaitu Pastor Pasifikus Yu datang ke Korea, Teresia dipilih sebagai seorang yang mengurus urusan rumah tangga bagi beliau. Dia dipuji oleh Pastor Yu dan orang-orang lainnya, bahwa dia adalah seorang teladan kehidupan Kristiani karena pekerjaan yang dia lakukan sangat baik. Setelah Pastor Yu meninggalkan Korea, Teresia menjadi salah seorang dari para wanita yang mengurus urusan rumah tangga untuk Uskup Imbert walaupun dia terancam untuk ditangkap. Dia tidak melarikan diri dan dia ditahan pada tanggal 19 Juli 1839, pada usia 44 tahun, dan juga dia tidak tinggal di penjara untuk waktu yang lama. Dia teguh dalam imannya dan dia tidak memberitahukan tentang keberadaan para misionaris dan teman-teman Katoliknya, oleh karena itu dia dicambuk sebanyak 300 kali. Setelah enam bulan mengalami penderitaan di penjara, Teresia dicekik sampai mati di Seoul pada tanggal 9 Januari 1840.

Teresia Kim dibeatifikasi pada tanggal 5 Juli 1925 dan kemudian dikanonisasi pada tanggal 6 Mei 1984 di Yoido, Seoul oleh Paus Yohanes Paulus II.[1]

Referensi

sunting