Suku Kurudu
Suku Kurudu (Kurudu: Miobo) adalah kelompok etnis yang mendiami pulau Kurudu dan pesisir Pamai Erar di pesisir utara Papua. Masyarakat suku Kurudu sendiri merupakan campuran dari berbagai etnis yang berasal dari Yapen, Waropen, dan Biak yang telah berasimilasi dengan penduduk asli Kurudu di masa lampau dan membentuk penduduk suku Kurudu sekarang.[2] Saat ini, suku Kurudu dan Kaipuri telah disatukan dan kemudian dikenal sebagai orang Miobo.[3]
Miobo | |
---|---|
Jumlah populasi | |
2.180 (1988)[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Indonesia (Pulau Kurudu dan Pamai Erar) | |
Bahasa | |
Kurudu | |
Agama | |
Kekristenan (mayoritas Protestan) | |
Kelompok etnik terkait | |
Berbai • Kaipuri • Serui |
Seorang penulis Belanda, dr. J.J. De Hollander yang hidup pada masa 1800-an, menuliskan bahwa "Penduduk Kurudu terdiri dari suku-suku yang sepenuhnya liar, mereka sebagai orang-orang yang berbahaya tapi sopan".[4]
Sejarah
suntingPulau Kurudu atau disebut sebagai Miobo Krudu oleh penduduk setempat, merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam wilayah Kepulauan Yapen, provinsi Papua. Konon, pulau ini telah dikenal pada masa lalu sebagai pemasok barang-barang dagangan, baik antara sesama pedagang Papua maupun dengan para pedagang dari luar. Hal ini dapat diketahui melalui berbagai catatan-catatan orang Eropa yang pernah menyinggahi pulau ini pada masa VOC sampai masuknya pemerintahan kolonial Belanda di Tanah Papua.[2]
Sejak abad ke-16, pulau Kurudu dicatat oleh bangsa Spanyol dengan nama La Ballena pada 1545. Meski telah dijelajahi pada tahun itu, tidak banyak informasi mengenai pulau Kurudu. Memasuki abad ke-18, pulau ini ditulis dalam buku-buku orang Eropa, tentang aspek perdagangan yang telah mereka amati disana. Sir Thomas Forrest mengunjungi pulau itu pada Februari 1775, dalam bahasa Inggris ia menyebutnya "Island of Krudo" berarti yang pulau Kurudu. Ia juga menulis bahwa masyarakat Kurudu-Kaipuri biasanya mengumpulkan kulit penyu yang akan diperdagangkan dengan pedagang Tiongkok. Wilayah Yapen, Waropen, dan Nabire merupakan tempat-tempat dimana para pedagang Tiongkok, Bugis, Makassar, Seram, dan Eropa melakukan barter dengan penduduk-penduduk di wilayah tersebut.[2]
Orang Kurudu menghasilkan berbagai produk-produk lokal gerabah tanah liat (sempe), ukiran, perahu, dan sagu yang nantinya akan diperdagangkan ke berbagai tempat di pesisir utara Papua. Orang Kurudu juga memiliki jaringan perdagangan sampai ke Sungai Mamberamo dan meluas ke Tanah Tabi (Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura). Misalnya, orang Kurudu membawa produk-produk seperti manik-manik, pisau, piring, dan menukarnya dengan masyarakat Mamberamo.[2]
Dalam laporan residen Braam Morris, sewaktu mereka mengunjungi penduduk Mamberamo (kampung Pauwi) pada 21 Juli 1884, mereka menemukan bahwa penduduk asli memiliki barang-barang seperti manik-manik, pisau, piring, dan barang-barang lainnya. Setelah ditanya darimana penduduk Pauwi dan Mawa mendapatkan barang-barang tersebut, mereka menjawab dari Kurudu, orang Kurudu sering datang kepada mereka. Jejak perdagangan demikian sudah berlangsung tahun 1800-an. Bahkan ada seorang Korano (pemimpin lokal) Mamberamo yang bernama Anggori bisa berbicara dalam bahasa Kurudu. Catatan ini tampaknya mendukung catatan Thomas Forrest bahwa pedagang Tiongkok pernah melakukan kontak dengan orang Kurudu. Artinya masyarakat Mamberamo tidak mendapat barang-barang tersebut secara langsung dari pedagang Tiongkok. Bisa digambarkan bahwa setelah pedagang Tiongkok melakukan barter dengan orang Kurudu, kemudian orang Kurudu melakukan barter lagi dengan penduduk Mamberamo. Merujuk pada catatan Thomas Forrest bahwa bisa jadi perdagangan antara orang Kurudu dan orang Mamberamo sudah berlangsung sejak tahun 1700-an.[2]
Pekabaran Injil di pulau Kurudu dilakukan pada tahun 1929 oleh Laurens Tanamal, perjalanan pekabar Injil Laurens Tanamal telah tercatat oleh pendeta Albert Jan de Neef dalam novel berjudul Di Tapal Batas: Mambu Ransar, karya Alex Runggeary yang diterbitkan oleh Nas Media Pustaka di Makassar pada tahun 2022.[5]
Populasi
suntingSuku Kurudu merupakan penduduk asli di wilayah Kepulauan Yapen dan pesisir utara Mamberamo Raya, provinsi Papua. Mereka terutama mendiami wilayah distrik Yapen Timur (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Pulau Kurudu) dan distrik Waropen Atas (saat ini dimekarkan menjadi beberapa distrik, salah satunya distrik Sawai). Pada tahun 1988, penduduk distrik Yapen Timur berjumlah 7.397 jiwa dan Waropen Atas 4.580 jiwa. Diantara jumlah itulah termasuk 2.180 orang Kurudu.[1]
Budaya
suntingTradisi war wen
suntingPada masa pandemi COVID-19 melanda dunia, masyarakat suku Kurudu meyakini khasiat tiga jenis tumbuhan yang mampu menangkal penyakit virus corona. Ketiga tumbuhan dalam tradisi war wen tersebut yaitu, nianggotr (sirih hutan), nianggoi tu (sirih domestik), dan manemyo (sirih lele).[6]
Perahu tradisional
suntingKarena kondisi geografis wilayah yang didiami masyarakat suku Kurudu dikelilingi oleh lautan, maka masyarakat Kurudu memiliki tradisi melaut yang membutuhkan perahu. Dalam kearifan lokal suku Kurudu dikenal 3 jenis perahu tradisional, yaitu:
- Wantbo (perahu untuk menangkap ikan)
- Dakam (perahu untuk transportasi antar pulau dan perdagangan hasil alam)
- Mansusu (perahu untuk berperang dan penangkapan budak)
Tiga jenis perahu ini dilengkapi dengan dayung (awo), layar (sariun), naju (adaisi), semang (arui), dan mata naju (adaisi re), serta penimba air (asobo).
Setelah masuknya pengaruh era modernisasi, maka suku Kurudu mengenal lagi 4 jenis perahu bermesin, yaitu:
- Wa yonson (perahu untuk transportasi antar pulau sekaligus perahu dagang dan untuk menangkap ikan)
- Kole-kole (perahu tanpa naju dan semang)
- Speedboat (perahu fiber)
- Jolor (perahu sejenis speedboat kecil berbahan dasar papan).
Suku Kurudu mempunyai pengetahuan tradisional pembuatan bagian depan wantbo dan belakang wantbo. Depan dan belakang perahu wantbo dalam bahasa Kurudu disebut ode. Yakni depan perahu disebut ode waraun dan belakang perahu disebut ode wasriu. Bentuk bagian depan dan belakang perahu suku Kurudu tidak sama dengan perahu suku-suku lainnya.[7]
Referensi
sunting- ^ a b Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jilid A-K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ a b c d e "Orang Kurudu dan Perdagangan di Masa Lalu". www.pustakapapua.com. Diakses tanggal 18 Mei 2023.
- ^ "Kilas Prosesi Peminangan Suku Miobo di Tanah Papua". kadatebintuni.com. Diakses tanggal 21 Mei 2023.
- ^ Handleiding bij de beoefening der Land- En Volkenkunde van Nederlandsch Oost-Indie, 1884, hlm. 431.
- ^ Runggeary, Alex (2022). Di Tapal Batas: Mambu Ransar. edeposit.perpusnas.go.id. Makassar: Nas Media Pustaka. ISBN 978-623-351-471-2.
- ^ "Masyarakat Arfak, Membangun Kehidupan Di Tengah Pandemi, Tak Abai Lingkungan Alami". bbksda-papuabarat.com. Diakses tanggal 19 Mei 2023.
- ^ @paulssukardipapua (27 November 2020). "BENTUK ODEBO, WASRIU DAN BAGIAN-BAGIAN WANTBO (PERAHU TRADISIONAL SUKU KURUDU)". Diakses tanggal 19 Mei 2023 – via Instagram.
Daftar pustaka
sunting- Runggeary, Alex (2022). Di Tapal Batas: Mambu Ransar. Makassar: Nas Media Pustaka. ISBN 978-623-351-471-2.
- Melalatoa, J. (1995). Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid A-K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.