Suhu permukaan laut

Suhu air pada laut

Suhu permukaan laut (bahasa Inggris: Sea surface temperature; disingkat SST) adalah suhu perairan yang memiliki jarak dekat dengan permukaan lautan. Arti dari permukaan bisa berbeda, disesuaikan dengan metode pengukuran, tetapi ada di antaranya 1 milimeter (0,04 in) dan 20 meter (70 ft) di bawah permukaan laut. Massa udara di atmosfer bumi dimodifikasi oleh suhu permukaan laut dalam jarak terdekat dari pantai. Suhu permukaan laut yang hangat penyebab terjadinya siklogenesis tropis di samudra bumi, dan topan tropis menyebabkan terjadinya udara dingin, karena adanya gejolak percampuran suhu 30 meter (100 ft) di atas permukaan laut. Variasi suhu permukaan laut akan lebih sedikit ketika arus angin lebih besar dibandingkan keadaan lebih tenang atau angin lebih sedikit. Selain itu, arus laut seperti Atlantic Multidecadal Oscillation (AMO), dapat meengaruhi suhu permukaan laut pada skala waktu multi-dekade.[4] Temperatur laut yang berkaitan dengan kandungan panas laut, topik yang sangat penting dalam studi pemanasan global.

Suhu permukaan tanah mengalami peningkatan lebih cepat dibandingkan suhu laut karena laut telah menyerap 92% panas bumi dan ini terjadi karena perubahan iklim.[1] Data bersumber dari NASA[2] menunjukkan suhu permukaan darat dan laut mengalami perubahan vs dasar pra-industri.[3]
Ini adalah sekumpulan data Suhu Permukaan Laut global harian yang dibuat pada 20 Desember 2013 dengan resolusi 1 km (juga dikenal sebagai resolusi ultra-tinggi) oleh grup JPL ROMS.
Rata-rata suhu permukaan laut mingguan dunia selama minggu pertama pada bulan Februari 2011, ketika terjadi El Niño.
Suhu permukaan laut dan arah pergerakannya

Pengukuran

sunting
 
Lapisan suhu permukaan laut (a) saat malam hari dan (b) saat siang hari

Teknik yang digunakan dalam mengukur parameter kemungkinan memiliki hasil akhir yang berbeda, merujuk pada apa yang akan diukur. Pengukuruan suhu dengan lokasi yang jauh dari permukaan laut, maka akan menggunakan referensi pengukuran yang sesuai untuk tempat yang akan diukur. Hal ini bisa terjadi karena mengukur suhu permukaan laut dipengaruhi oleh kedalaman laut, kecepatan angin, kondisi sinar matahari, dan juga dipengaruhi oleh kekuatan suhu vertikal (diurnal termoklin).[5] Untuk mengukur suhu permukaan laut, terbatas pada bagian atas lautan saja dan dikenal dengan sebutan dekat-lapisan permukaan.[6]

Termometer

sunting

Mengukur suhu permukaan laut menjadi variabel pertama yang diukur dalam bidang oseanografi dan dilakukan pada tahun 1963 oleh Benjamin Franklin. Dalam perjalanan antara Amerika Serikat dan Eropa, Benjamin melakukan survei arus teluk dan mengukur suhu permukaan laut menggunakan termometer merkuri. Pengukuran dilakukan secara manual, dengan mengambil air permukaan laut dan menaruh diwadah ember. Hasil pengukuran ini memiliki bias hangat sekitar 06 °C (10 °F).[7] Dan sejak tahun 2000, bias ini mengalami perubahan persepsi disebabkan oleh pemanasan global.[8] Namun pelampung cuaca masih tetap dapat mengukur suhu pada kedalaman 3 meter (9,8 ft).

Dalam kurun waktu 130 tahun, pengurukan suhu permukaan laut tidak konsisten disebabkan cara pengukuran yang berbeda terkait wadah. Wadah ember yang digunakan pada pengukuran suhu laut di abad 18 berupa ember kayu dan ember kanvas. Ember kanvas lebih cepat dingin dibandingkan ember kayu, dan sampel yang ditaruh di wadah ember yang tidak berinsulasi, sehingga variasi suhu yang dihasilkan sedikit akibat perbedaan wadah.[9]

Rentang tahun 1985 dan 1994, berbagai pelampung cuaca disebar di sepanjang Samudra Pasifik, yang berfungsi untuk memantau dan memprediksi terjadinya fenomena badai El Niño.[10] Saat ini, sudah ada pelampung cuaca dengan kecanggihan dan desain yang berbeda di seluruh dunia, dan lokasi pengukuran juga bisa dilakukan dibanyak tempat, dan sudah terkoneksi otomatis dengan satelit dan informasi suhu dapat diketahui secara otomatis.[11] Sebuah jaringan pelampung pantai terbesar berada di negara Amerika Serikat yang dikelola oleh National Data Buoy Center (NDBC).[12]

Satelit cuaca

sunting
 
Kondisi suhu permukaan laut tahun 2003–2011 SST berdasarkan data MODIS

Satelit cuaca untuk mendapatkan informasi tentang suhu permukaan laut telah ditemukan sejak tahun 1967, dan dipublikasikan secara global pertama kali pada tahun 1970.[13] Penggunaan satelit untuk mengukur suhu laut semakin diprioritaskan sejak tahun 1982,[14] dan variasi spasial ataupun temporal menjadi lebih lengkap. Penggunaan satelit dalam mengukur suhu permukaan laut sesuai dengan pengukuran suhu in situ.[15] Menggunakan satelit dalam mengukur suhu laut dilakukan dengan memeriksa radiasi lautan dalam dua panjang gelombang atau lebih, dalam bagian inframerah dari spektrum elektromagnetik atau bagian lainnya dari spektrum dan secara empiris terkait dengan suhu permukaan laut.[16]

Pemilihan panjang gelombang ini dilakukan karena:

  1. dalam radiasi benda hitam menjadi puncak yang diharapkan dari bumi,[17] and
  2. mampu memancar dengan baik melalui atmosfer[18]

Suhu permukaan laut yang telah diukur menggunakan satelit, memberikan tampilan sinoptik lautan dan frekuensi tinggi lebih baik untuk ditampilan secara berulang-ulang,[19] dan lebih memungkinkan untuk memeriksa bagian atas cekungan dinamika samudra, dan itu tidak dapat dapat dilakukan menggunakan pelampung cuaca ataupun juga penelitian secara manual di atas kapal.

Meski demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi ketika pengukuran suhu dilakukan berbasis satelit, yakni:

  1. Pertama, dalam metodologi inframerah penginderaan jarak jauh, radiasi akan memancar dari lapisan mikro permukaan laut atau permukaan atas samudera, sekitar diatas 0,01 mm atau kurang, dan ini tidak mewakili curah suhu bagian atas utama lautan karena adanya efek panas permukaan sinar matahari di siang hari, radiasi yang dipantulkan, kehilangan panas dan terjadi penguapan di permukaan. Faktor ini menyebabkan kerumitan untuk membandingkan data satelit dengan pelampung atau metode kapal.[20]
  2. Kedua, satelit tidak dapat menghasilkan data jika tertutup awan, dan akan menghasilkan bias dingin di suhu permukaan laut yang didapat dari satelit saat berada di area berawan.[5] Namun kini, ada sebuah teknik gelombang mikro pasif yang dapat mengukur Suhu permukaan laut secara akurat meskipun satelit ditutupi awan.[16]

Variasi lokal

sunting

Suhu permukaan laut memiliki kisaran diurnal seperti di atas atmosfer bumi walaupun berada pada tingkat yang lebih rendah, karena adanya spesifik panas yang lebih besar.[21] Pada saat keadaan tenang, variasi suhu berada pada 6 °C (10 °F).[5] Suhu pada kedalaman lautan akan lebih rendah dari suhu atmosfer bumi selama 15 hari per 10 meter (33 ft), yang bisa diartikan dengan contoh untuk lokasi seperti laut Aral, suhu di dekat dasarnya akan mencapai suhu maksimum di bulan Desember dan suhu minimum di bulan Mei dan Juni.[22] Wilayah yang dekat garis pantai, angin lepas pantai akan memindahkan air hangat di dekat permukaan lepas pantai, dan menggantikannya dengan air yang lebih dingin dari bawah, yang disebut dengan proses transportasi Ekman. Hal ini akan meningkatkan nutrisi bagi biota laut di daerah tersebut.[23]

Di lepas pantai sungai Delta, air tawar akan mengalir di atas air laut yang lebih padat, yang memungkinkan terjadinya suhu panas lebih cepat karena adanya pencampuran vertikal terbatas.[24] Penginderaan suhu permukaan laut jarak jauh, dapat difungsikan untuk mendeteksi tanda suhu permukaan akibat siklon tropis. Secara umum, pendinginan suhu permukaan laut dapat diamati setelah dilewati badai terutama akibat dari adanya pendalaman lapisan campuran dan menyebabkan hilangnya panas permukaan laut.[25] Ketika debu mineral menjangkiti wilayah dekat bagian utara samudra Atlantik dalam beberapa hari, suhu permukaan laut menjadi berkurang sekitar 0.2 C hingga 0.4 C (0.3 to 0.7 F).[26]

Osilasi Multidekadal Atlantik

sunting

Osilasi Multidekadal Atlantik atau Atlantic Multidecadal Oscillatio (AMO) sangat dibutuhkan sebagai pemancar eksternal dan akan dihubungkan dengan suhu permukaan laut bagian Atlantik Utara.[27]

Variasi regional

sunting
 
El Niño tahun 1997 diamati oleh TOPEX/Poseidon. Wilayah berwarna putih di lepas pantai tropis Amerika Selatan dan Amerika Utara menunjukkan adanya genangan air hangat.[28]

El Niño ditentukan oleh perbedaan suhu permukaan laut di wilayah Samudera Pasifik yang berkepanjangan jika dibandingkan nilai rata-rata. Definisi yang diterima berupa panas atau dingin yang rata-rata 0.5 °C (0.9 °F) di atas Samudra Pasifik bagian tropis Timur-tengah. Dan biasanya, anomali ini terjadi sekitar 2-7 tahun pada interval yang tidak teratur dan berlangsung selama sembilan bulan hingga dua tahun.[29] Lama rata-rata periode ini sekitar 5 tahunan. Apabila kondisi panas atau dingin hanya terjadi dalam tujuh hingga sembilan bulan, maka akan diartikan sebagai "kondisi" El Niño/La Niña; sementara jika terjadi lebih dari periode tersebut, maka ini diartikan sebagai peristiwa "episode" El Niño/La Niña.[30]

Kondisi El Niño ditandai pada suhu permukaan laut, di mana air hangat mengarah dari kawasan Pasifik Barat dan juga Samudra Hindia menuju kawasan Pasifik Timur. Sehingga terjadi kekeringan di wilayah Pasifik Barat dan curah hujan di wilayah Pasifik Timur biasanya akan sangat sedikit. Jika El Niño terjadi dalam kurun waktu berbulan-bulan, maka suhu panas laut menjadi ekstensif dan terjadi pengurangan nutrisi laut yang berasal dari naiknya suhu dingin, dan akan mengganggu aktifitas nelayan dalam menangkap ikan dan menjadi pengaruh buruk terhadap perekonomian pasar ikan baik lokal maupun internasional.[31]

Pentingnya atmosfer bumi

sunting
 
Efek salju laut di dekat Semenanjung Korea

Suhu permukaan laut memengaruhi perilaku di atas atmosfer bumi. Walaupun suhu permukaan laut penting untuk siklogenesis tropis, namun suhu permukaan laut juga penting dalam menentukan terbentuknya kabut laut dan juga angin laut.[5] Suhu panas yang bersumber dari air hangat secara signifikan dapat mengubah massa udara pada jarak pendek 35 kilometer (22 mi) menjadi 40 kilometer (25 mi).[32] Sebagai contoh, siklon ekstratropis di wilayah Barat Daya belahan Bumi Utara, aliran siklon akan melengkung dan membawa udara dingin melintasi badan air dengan relatif hangat sehingga menyebabkan penyempitan pada pita efek salju-danau (efek laut). Pita tersebut akan membawa presipitasi lokal yang lebih kuat, dan sering berbentuk salju. Hal ini terjadi karena pada badan air seperti danau, menyimpan panas yang dapt menghasilkan terciptanya perbedaan suhu—lebih besar dari 13 °C (23 °F)- di antara permukaan air dan di atas udara.[33] Dengan adanya perbedaan suhu ini, maka tingkat kehangatan dan kelembapan udara akan terangkat ke atas, kemudian mengembun dan menjadi awan, sehingga kemudian terjadilah hujan salju.[34]

Badai tropis

sunting
 
Puncak aktivitas musiman siklon tropis di seluruh dunia
 
Rata-rata suhu ekuator samudera Pasifik

Rata-rata suhu laut berada pada 26.5°C (79.7°F) mencakup angka minimal di kedalaman 50 - meter adalah satu prekursor yang dubuthkan untuk mempertahankan siklon tropis (sejenis mesocyclone).[35][36] Tingkat kehangatan pada air ini diperlukan untuk mempertahankan inti hangat sebagai bahan bakar pada sistem tropis. Nilai ini jauh di atas 16.1 °C (60.9 °F), suhu rata-rata permukaan lautan global dalam jangka panjang.[37]

Referensi

sunting
  1. ^ "The Oceans Are Heating Up Faster Than Expected". scientific american. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  2. ^ "Global Annual Mean Surface Air Temperature Change". NASA. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  3. ^ IPCC AR5 SYR Glossary 2014, hlm. 124.
  4. ^ McCarthy, Gerard D.; Haigh, Ivan D.; Hirschi, Joël J.-M.; Grist, Jeremy P.; Smeed, David A. "Ocean impact on decadal Atlantic climate variability revealed by sea-level observations" (PDF). Nature. 521 (7553): 508–510. Bibcode:2015Natur.521..508M. doi:10.1038/nature14491. ISSN 1476-4687. PMID 26017453. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  5. ^ a b c d Vittorio Barale (2010). Oceanography from Space: Revisited. Springer. hlm. 263. ISBN 978-90-481-8680-8. 
  6. ^ Alexander Soloviev; Roger Lukas (2006). The near-surface layer of the ocean: structure, dynamics and applications. The Near-Surface Layer of the Ocean: Structure. シュプリンガー・ジャパン株式会社. hlm. xi. Bibcode:2006nslo.book.....S. ISBN 978-1-4020-4052-8. 
  7. ^ William J. Emery; Richard E. Thomson (2001). Data analysis methods in physical oceanography. Eos Transactions. 80. Gulf Professional Publishing. hlm. 24–25. Bibcode:1999EOSTr..80..106J. doi:10.1029/99EO00074. ISBN 978-0-444-50757-0. 
  8. ^ Michael Marshall (2010-11-16). "Ships and buoys made global warming look slower". New Scientist. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  9. ^ Burroughs, William James (2007). Climate change : a multidisciplinary approach  (edisi ke-2.). Cambridge [u.a.]: Cambridge Univ. Press. ISBN 9780521690331. 
  10. ^ K. A. Browning; Robert J. Gurney (1999). Global energy and water cycles. Cambridge University Press. hlm. 62. ISBN 978-0-521-56057-3. 
  11. ^ Vittorio Barale (2010). Oceanography from Space: Revisited. Springer. hlm. 237–238. ISBN 978-90-481-8680-8. 
  12. ^ Lance F. Bosart, William A. Sprigg, National Research Council (1998). The meteorological buoy and coastal marine automated network for the United States. National Academies Press. hlm. 11. ISBN 978-0-309-06088-2. 
  13. ^ P. Krishna Rao, W. L. Smith, and R. Koffler (January 1972). "Global Sea-Surface Temperature Distribution Determined From an Environmental Satellite" (PDF). Monthly Weather Review. 100 (1): 10–14. Bibcode:1972MWRv..100...10K. doi:10.1175/1520-0493(1972)100<0010:GSTDDF>2.3.CO;2. Diakses tanggal 2011-01-09. 
  14. ^ National Research Council (U.S.). NII 2000 Steering Committee (1997). The unpredictable certainty: information infrastructure through 2000; white papers. National Academies. hlm. 2. 
  15. ^ W. J. Emery; D. J. Baldwin; Peter Schlüssel; R. W. Reynolds (2001-02-15). "Accuracy of in situ sea surface temperatures used to calibrate infrared satellite measurements" (PDF). Journal of Geophysical Research. 106 (C2): 2387. Bibcode:2001JGR...106.2387E. doi:10.1029/2000JC000246. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-07-21. Diakses tanggal 2011-01-09. 
  16. ^ a b John Maurer (October 2002). "Infrared and microwave remote sensing of sea surface temperature (SST)". University of Hawai'i. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  17. ^ C. M. Kishtawal (2005-08-06). "Meteorological Satellites" (PDF). Satellite Remote Sensing and GIS Applications in Agricultural Meteorology: 73. Diakses tanggal 2011-01-27. 
  18. ^ Robert Harwood (1971-09-16). "Mapping the Atmosphere From Space". New Scientist. 51 (769): 623. 
  19. ^ David E. Alexander; Rhodes Whitmore Fairbridge (1999). Encyclopedia of environmental science. Springer. hlm. 510. ISBN 978-0-412-74050-3. 
  20. ^ Ian Stuart Robinson (2004). Measuring the oceans from space: the principles and methods of satellite oceanography. Springer. hlm. 279. ISBN 978-3-540-42647-9. 
  21. ^ John Siegenthaler (2003). Modern hydronic heating for residential and light commercial buildings. Cengage Learning. hlm. 84. ISBN 978-0-7668-1637-4. 
  22. ^ Peter O. Zavialov (2005). Physical oceanography of the dying Aral Sea. シュプリンガー・ジャパン株式会社. hlm. 27. ISBN 978-3-540-22891-2. 
  23. ^ "Envisat watches for La Niña". BNSC via the Internet Wayback Machine. 2008-04-24. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-04-24. Diakses tanggal 2011-01-09. 
  24. ^ Rainer Feistel; Günther Nausch; Norbert Wasmund (2008). State and evolution of the Baltic Sea, 1952–2005: a detailed 50-year survey of meteorology and climate, physics, chemistry, biology, and marine environment. John Wiley and Sons. hlm. 258. ISBN 978-0-471-97968-5. 
  25. ^ Earth Observatory (2005). "Passing of Hurricanes Cools Entire Gulf". National Aeronautics and Space Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-09-30. Diakses tanggal 2006-04-26. 
  26. ^ Nidia Martínez Avellaneda (2010). The Impact of Saharan Dust on the North Atlantic Circulation. GRIN Verlag. hlm. 72. ISBN 978-3-640-55639-7. 
  27. ^ Knudsen, Mads Faurschou; Jacobsen, Bo Holm; Seidenkrantz, Marit-Solveig; Olsen, Jesper (2014-02-25). "Evidence for external forcing of the Atlantic Multidecadal Oscillation since termination of the Little Ice Age". Nature Communications. 5: 3323. Bibcode:2014NatCo...5.3323K. doi:10.1038/ncomms4323. ISSN 2041-1723. PMC 3948066 . PMID 24567051. 
  28. ^ "Independent NASA Satellite Measurements Confirm El Niño is Back and Strong". NASA/JPL. 
  29. ^ Climate Prediction Center (2005-12-19). "ENSO FAQ: How often do El Niño and La Niña typically occur?". National Centers for Environmental Prediction. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-08-27. Diakses tanggal 25 November 2020. 
  30. ^ National Climatic Data Center (June 2009). "El Niño / Southern Oscillation (ENSO) June 2009". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 25 November 2020. 
  31. ^ WW2010 (1998-04-28). "El Niño". University of Illinois at Urbana-Champaign. Diakses tanggal 24 November 2020. 
  32. ^ Jun Inoue, Masayuki Kawashima, Yasushi Fujiyoshi and Masaaki Wakatsuchi (October 2005). "Aircraft Observations of Air-mass Modification Over the Sea of Okhotsk during Sea-ice Growth". Boundary-Layer Meteorology. 117 (1): 111–129. Bibcode:2005BoLMe.117..111I. doi:10.1007/s10546-004-3407-y. ISSN 0006-8314. 
  33. ^ B. Geerts (1998). "Lake Effect Snow". University of Wyoming. Diakses tanggal 25 November 2020. 
  34. ^ Greg Byrd (1998-06-03). "Lake Effect Snow". University Corporation for Atmospheric Research. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 November 2020. Diakses tanggal 25 November 2020. 
  35. ^ Chris Landsea (2011). "Subject: A15) How do tropical cyclones form?". Hurricane Research Division. Diakses tanggal 30 November 2020. 
  36. ^ Webster, PJ (2005). "Changes in tropical cyclone number, duration, and intensity in a warming environment". Science. Gale Group. 309 (5742): 1844–6. Bibcode:2005Sci...309.1844W. doi:10.1126/science.1116448 . PMID 16166514. 
  37. ^ Matt Menne (March 15, 2000). "Global Long-term Mean Land and Sea Surface Temperatures". National Climatic Data Center. Diakses tanggal 30 November 2020.