Soegoro Atmoprasodjo

(Dialihkan dari Soegoro Atmoprasojo)

Soegoro Atmoprasodjo (atau Sugoro Atmoprasojo, Sugoro Admoprasojo) adalah salah satu orang pertama yang memperkenalkan nasionalisme Indonesia di Papua. Ia lahir di Yogyakarta pada 23 Oktober 1923 dan merupakan bagian dari kaum Priayi. Dia aktif dalam Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara dan menjadi aktivis Partai Indonesia (Partindo). Pada 1935, dia dibuang ke Digul, Tanah Merah, Papua, dengan tuduhan terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap Belanda pada 1926/1927 di Jawa Tengah.[1]

Soegoro Atmoprasodjo
Informasi pribadi
Lahir23 Oktober 1923 (umur 100)
Yogyakarta
KebangsaanIndonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini
M.S. Rumagesan, Silas Papare, N.L.Suwages, Sugoro Atmoprasojo, dan A.H. Nasution berbincang-bincang selama Konferensi Putra-putra Irian Barat di Cibogo Bogor, 14-15 April 1961

Awal nasionalisme Indonesia di Papua sunting

Pada awal pendudukan Jepang, pemerintah Belanda membawanya ke Australia. Selama di Australia dia menjadi orang kepercayaan ChO van der Plas dan JPK van Eechoud. Setelah Jepang kalah, dia kembali dibawa ke Papua dan bekerja di Sekolah Papoeainternaat di Hollandia, sekolah pamong praja atau polisi untuk orang Papua.[2]

Cara Soegoro menanamkan nasionalisme Indonesia kepada para siswanya di antaranya memperkenalkan lagu Indonesia Raya dan membentuk kelompok diskusi politik. Dalam berbagai diskusi, dia berusaha meyakinkan murid-muridnya bahwa mereka bagian dari Indonesia yang memiliki keanekaragaman seperti halnya Papua yang berasal dari banyak suku. Kepada muridnya, dia menekankan persatuan menjadi kunci utama untuk melepaskan diri dari kuasa kolonial Belanda. Upayanya membuahkan hasil. Salah satu dari pertemuan ini adalah di Kampung Tobati, dimana Frans Kaisiepo menencetuskan nama Irian dari legenda Manseren Koreri, yang memiliki makna di beberapa bahasa lokal Papua.[3] Sehingga sejak September 1945,[4] Frans Kaisiepo dan Marcus Kaisiepo mulai mempromosikan penggunaan nama Irian untuk mengganti Papua seperti penggantian nama sekolah.[5]

Menurut Suyatno Hadinoto dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat, Soegoro kemudian membentuk gerakan bawah tanah untuk menentang pemerintah Belanda. Gerakan tersebut bernama IRIAN (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland).

Pemberontakan pertama di Papua sunting

Soegoro merencanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa sekolahnya dan penduduk di kota Nica (Kampung Harapan) dan anggota batalion Papua antara lain Corinus Krey, Markus Kaisiepo, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Frans Kaisiepo, dan dua orang asal Sumatera, yaitu Sutan Hamid Siregar dan Aran Panjaitan, keduanya dikenal dengan gelar Panggoncang Alam. Soegoro juga mengajak eks tentara Heiho yang kebanyakan berasal dari Sumatera dan Jawa.

Menurut Suyatno, pemberontakan akan dilancarkan pada 31 Agustus 1945. Sedangkan Bernarda Meteray menyebut Soegoro baru menyampaikan rencana perlawanannya pada 15 dan 16 Agustus 1945[1] untuk dilaksanakan 15-16 Desember 1945.[6] Lain lagi tim Dekdikbud dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare, menyebut pemberontakan dilaksanakan 25 Desember 1945. Namun pemberontakan yang dilancarkan pada bulan Desember 1945 yang dipimpin Soegoro dengan mantan Diguli Nottan dan Aron Pandjaitan. Menurut van Eechoed saat itu sedang dilaksanakan perayaan oleh para orang eropa.

Rencana pemberontakan itu keburu terendus pemerintah Belanda. Sekitar 250 eks Heiho ditahan menggunakn pasukan yang didatangkan dari Rabaul. JPK van Eechoed menangkap semua orang Jawa (dan Sumatra) di area Hollandia, kecuali beberapa yang ia benar-benar percayakan, seperti Soegoro. Namun Soegoro akhirnya ditangkap pula bulan Februari 1946 dan dipenjarakan di Hollandia (Jayapura). Silas Papare yang ditangkap dan diasingkan ke Serui akibat keterlibatannya di pemberontakan ini, akibatnya Frans Kaisiepo yang dipilih untuk dikirim oleh pemerintah Belanda pada Konferensi Malino.[7][8][9]

Pemberontakan kedua di Papua sunting

Pada 9 Juli 1946, sebelum pergi menuju Konferensi Malino, Kaisiepo bersama Corinus Krey bertemu dengan Soegoro di penjara Abepura yang difasilitasi Elly Uyo dan Johan Aer, dimana mereka setuju akan penggunaan nama Irian.[4] Dari penjara, Soegoro kembali merencanakan dua kali pemberontakan dari dalam penjara yang pertama pada Juli 1946 saat Konferensi Malino dipimpin oleh Panggoncang Alam asal Minangkabau untuk membebaskan Soegoro yang melibatkan Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, dan orang-orang Papua dari sekolah Soegoro, sebelas orang Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, lima tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), seorang anggota batalion Papua milik van Eechoed, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani.[1][2]

Pemberontakan ketiga di Papua sunting

Usaha pemberontakan ini dilaksanakan pada 31 Desember 1946 - 4 Januari 1947. Direncanakan, Soegoro akan menjadi Resident, Marthen Indey sebagai administrator, dan Salmon Tamaela, seorang asal Ambon anggota KNIL sebagai pemimpin militer. Rencana itu gagal karena seorang anggota batalion Papua membocorkannya kepada pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda menangkap dan menginterogasi para pemberontak. Seperti Marthen Indey, Corinus Krey, Silas Papare, Petrus Wettebossy. Beberapa pelaku diasingkan dan dibebaskan, namun Soegoro dihukum seumur hidup, semula di Hollandia kemudian dipindahkan ke penjara Tanah Merah, Merauke.[2] Berkat lobi pemerintah Indonesia, hukuman Soegoro diringankan menjadi 14 tahun.[6]

Walau Soegoro tidak terlibat lagi, menurut catatan J.C Noorlander, terjadi tiga pemberontakan sejak Maret - April 1947. Aksi ini dipimpin oleh Marthen Indey dan Willem Inuri, pendiri partai Commite Nasional Papua (CNP). Menurut Noorlander rencana pemberontakan ini disebabkan kerja sama antara polisi dan tentara serta para guru di Sekolah Pamong Praja yang sempat dipimpin Soegoro.[10]

Usaha Soegoro diluar Papua sunting

 
Konferensi Perintis Irian Barat Indonesia Bagian Timur

Pada 5 April 1947, Soegoro yang dihukum 14 tahun dan Willem Nottan asal Tual, Kepulauan Kei yang dihukum sepuluh tahun, serta lima tahanan lainnya, berhasil melarikan diri dari penjara Tanah Merah, Merauke, menuju Papua Nugini, lalu ke Australia.[1]

Pada 1950, Soegoro kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri. Menjelang kembalinya Papua ke pangkuan Republik Indonesia, Soegoro menjadi delegasi Indonesia dengan kedudukan sebagai penasihat dalam pemerintahan transisi UNTEA (United Nations United Nations Temporary Executive Authority ). Putra-putra Papua didikannya kemudian menyebut Soegoro sebagai Bapak IRIAN.[1]

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e Sitompul, Martin (2015-08-12). "Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2022-08-11. 
  2. ^ a b c Chauvel, Richard (2009). "From the ramparts of Fort Victoria: knowing Indonesia through a distant mirror". Review of Indonesian and Malaysian Affairs. Association for the Publication of Indonesian and Malaysian Affairs Inc. 43 (1): 165–187. 
  3. ^ Wanggai, Tony V.M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7292/1/Toni%20Victor%20M.%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pdf. Diakses pada 2022-01-30. 
  4. ^ a b Patiara, John; Renwarin, Herman; Soedharto, Bondan; Palangan, M. (1983). "Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialis dan Kolonialisme di Daerah Irian Jaya" (PDF). Kemdikbud. hlm. 72–73. Diakses tanggal 2021-11-03. 
  5. ^ Haryono, P.S. (1996). Pahlawan nasional Frans Kaisiepo (dalam bahasa Tagalog). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. hlm. 30. Diakses tanggal 2021-11-29. 
  6. ^ a b Sitompul, Oleh Martin (2019-11-30). "Bunuh Diri Kelas Soegoro Atmoprasodjo". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2022-12-28. 
  7. ^ Lumintang et al. 1997, hlm. 32.
  8. ^ Lumintang et al. 1997, hlm. 38.
  9. ^ Lumintang et al. 1997, hlm. 74, Ada kesalahan pencetakan, karena pemberontakan terjadi pada hari 25 December 1945 seperti di paragraf sebelumnya.
  10. ^ Meteray, Bernarda; Jamal, Ode (2019). "Pertumbuhan Kesadaran Nasionalisme Indonesia di antara Orang Papua di Jayapura 1945-1949" (PDF). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Ipteks Dan Seni Edisi V, 2019. Universitas Cendrawasih. 5 (1): 132–141. 

Bibliografi sunting