Sayyang Pattudu adalah warisan budaya takbenda dari suku Mandar. Arti dari Sayyang Pattudu adalah kuda yang menari.[1] Sayyang Pattudu diadakan untuk syukuran pada acara khatam Al-Qur'an. Kuda dihias dan kemudian ditunggangi mengelilingi kampung.[2] Penunggangan kuda diiringi dengan tabuhan musik rebana dan pembacaan syair khas Mandar yang disebut kalindaqdaq.[3] Syair yang dibacakan membahas tentang Islam dan Mandar.[4] Pesertanya terdiri dari pesayyang, disayyang, dan pesarung.[5] Sayyang Pattudu umumnya diadakan bersamaan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad atau pada bulan Rabiul awal, Rabiul akhir dan Jumadil awal. Acara ini bertujuan untuk mendidik dan memberikan nasihat kepada anak-anak suku Mandar agar semangat dalam menamatkan bacaan Al-Quran.[6] Selain untuk acara khatam Al-Qur'an, Sayyang Pattudu juga ditampilkan sebagai tari penyambut tamu kehormatan dalam masyarakat Mandar dan menjadi festival tahunan Kabupaten Polewali Mandar, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju. Bagi masyarakat Mandar, Sayyang Pattudu mengandung nilai sebagai alat komunikasi budaya, gotong-royong, tolong-menolong, kerohanian, dan persaudaraan sosial.[7]

Sejarah sunting

Tradisi Sayyang Pattu’du’ diadakan sejak masuknya Islam pada masa pemerintahan raja keempat Kerajaan Balanipa yaitu Daengta Tommunae. Sayyang Pattudu awalnya hanya dilakukan oleh para bangsawan Kerajaan Balanipa. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi tradisi masyarakat Mandar.[8]

Perlengkapan sunting

Kuda yang digunakan dalam Sayyang Pattudu harus kuda yang sudah terlatih. Selain itu, kuda harus dapat menari sesuai dengan irama musik yang dimainkan. Kuda dapat ditunggangi setelah dirias dan diberi alat tunggangan berupa kasur kecil, aksesori berupa kalung perak, penutup muka kuda yang melingkar dan kacamata kuda.[9] Anak yang diiring ditemani oleh para penari dan penyair dengan tabuhan rebana.[10] Sayyang pattuddu harus disajikan dengan peserta yaitu pesayyang, disayyang, dan pesarung. Pesayyang adalah pendamping anak selama berada di atas kuda. Disayyang adalah anak yang menunggang kuda, sedangka pesarung adalah pengawal disayyang selama menunggang kuda. Pesarung harus memiliki kekuatan yang kuat dan dihormati dalam keluarga disayyang. Jumlah pesarung adalah empat orang yang dibagi dua ke sebelah kiri dan kanan kuda. Pesarung berjalan kaki selama Sayyang Pattudu dilaksanakan.[5]

Referensi sunting

  1. ^ Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Wilayah Kerja Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, Saiyyang pattuqduq : kuda penari dari Sulawesi Barat, OCLC 1000136375, diakses tanggal 2019-03-08 
  2. ^ Ahmad, R.Z., dan Anis, S. (2012). "Kejadian Penyakit Selakarang pada Kuda dan Cara Pengendaliannya". Wartazoa. 22 (2): 65. 
  3. ^ Tim Kementerian Agama (2017). Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya (PDF). Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendidikan Islam. hlm. 198. ISBN 978-979-8442-61-2. 
  4. ^ Ruhiyat 2017, hlm. 23.
  5. ^ a b Gunawan 2017, hlm. 118.
  6. ^ Gunawan 2017, hlm. 110.
  7. ^ Ruhiyat 2017, hlm. 25.
  8. ^ Ruhiyat 2017, hlm. 10–11.
  9. ^ Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Wilayah Kerja Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, Saiyyang pattuqduq : kuda penari dari Sulawesi Barat, OCLC 1000136375, diakses tanggal 2019-03-08 
  10. ^ Gunawan 2017, hlm. 112.

Daftar pustaka sunting