Sardjono Dipokusumo

Ir. Sardjono Dipokusumo adalah Menteri Pekerjaan Umum ke-14.[1] (10 November 1915 – 22 Agustus 1987) Tanah Kusir, Jakarta.

Latar Belakang sunting

Sardjono dilahirkan di Yogyakarta dari pasangan Dharmopranoto/Sastrosuwarno dan Sukaptinah pada tanggal 10 November 1915. Ayahnya adalah seorang guru di “Sekolah Ongko Loro” (sekolah rakyat dengan bahasa jawa sebagai bahasa pengantar) di Ngabean, Yogyakarta. Dharmopranoto wafat tahun 1919 saat Sardjono masih berusia 5 tahun dan dimakamkan di pemakaman keluarga BKN di belakang Masjid Perak, Kotagede, Yogyakarta. Sedangkan ibunya, Sukaptinah adalah Ibu Rumah Tangga yang berasal dari Kotagede, Yogyakarta. Selain menjadi guru, orang tua Sardjono mempunyai usaha sampingan batik kecil-kecilan di daerah Kampung Bludiran, Jeron Beteng, Yogyakarta. Sardjono mempunyai saudara kandung bernama Suradi yang meninggal saat masih bayi berumur 40 hari, sehingga kemudian ia menjadi anak tunggal.

Tidak lama setelah kepergian sang ayah, sang ibu Sukaptinah Sastrosuwarno menikah lagi dengan Bapak Notosukarto dan berganti nama menjadi Ibu Notosukarto. Ibunya lantas mengikuti tugas suaminya yang harus berpindah tugas ke beberapa tempat sebagai mantra guru sekolah rakyat. Jabatan terakhir yang dipegang suaminya adalah sebagai seorang Kepala Sekolah dan setelah pensiun kemudian memilih untuk menetap di daerah Godean, Sleman. Ketika Sardjono kecil, ia diasuh oleh kakak ibunya yaitu Ibu Atmo Seduto, seorang pedagang yang juga dikenal sebagai “Mbah Solo”. Ibu Atmo Seduto menikah dengan seorang Abdi Dalem Keraton, Bapak Kabayan Atmo Seduto namun tidak dikaruniai keturunan, sehingga Ibu Atmo Seduto sangat sayang kepada Sardjono dan sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Sardjono menilai, Ibu Armo Seduto-lah yang mempunyai andil dalam membesarkan dan membantu ia menyelesaikan sekolahnya. Suatu pengorbanan yang luar biasa mengingat kondisi depresi negara pada tahun 1930.

Riwayat Pendidikan sunting

Keluarga sunting

Sardjono menikah dengan Ibu Soekapti pada Selasa, 28 Maulud 139 H atau 7 Mei 1940 di Yogyakarta dan kemudian dikaruniai 7 putra dan putri.

Setelah menikah, Sardjono dan Seokapti merantau ke Surabaya. Pada tanggal 12 Maret 1941, lahir putri pertama mereka yang diberi nama Tati Purwani di rumah sakit Kedung Doro Surabaya. Pada tanggal 27 April 1942, mereka kembali dikaruniai putri kedua yang diberi nama Anny Herawati di Suryomentaraman, Yogyakarta.

Sardjono lari dari Surabaya ke Yogyakarta pada tahun 1943 dan mengembara selama 6 bulan karena dicari oleh tentara Jepang. Pada saat pengembaraan tersebut, lahirlah putra ketiganya Tonny Rustam Effendy di Sawojajar, Yogyakarta pada 14 Juni 1944.

Tahun 1946, pada saat Sardjono bekerja di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, tanggal 24 Agustus ia dianugerahi putra keempat dan diberi nama Bobby Imam Santoso di Sawojajar No. 12, Yogyakarta.

Menjelang serangam umum 1 Maret 1949 tepatnya pada tanggal 4 Februari, putra ke empat Harry Budiman lahir. Pada saat itu, Sardjono tengah berada di daerah pengungsian di sekitaran Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, Sardjono yang saat itu telah pindah ke kota Jakarta, kembali dikarunai seorang anak laki-laki yang diberi nama Eddy Purnawarman pada tanggal 2 Februari 1952.

Setelah keenam putra dan putrinya mulai beranjak besar, Sardjono merindukan suara tangis bayi di rumah. Kemudian istri Sardjono, Soekapti sempat mengasuh anak perempuan bernama Wiwik namun tak lama berselang, orang tua asli Wiwik mengambil kembali anaknya. Akhirnya pada tanggal 12 September 1958, keluarga Sardjono kembali dianugerahi seorang putri yang diberi nama Baby Setiawati Andriani.

Masa Pergerakan/Perjuangan Nasional sunting

Zaman Sebelum Perang Dunia ke-II (sampai tahun 1942) sunting

Dunia organisasi sudah dimasuki Sardjono sejak masih di sekolah menengah pertama (MULO) dengan menjadi anggota “Indonesische Padvinders Organisatie (INPO), suatu perkumpulan Pramuka Nasional. Setelah itu ia juga terjun ke dunia politik menjadi anggota perkumpulan “Indonesia Muda“ cabang Keresidenan Mataram. Dengan semangat Sumpah Pemuda yang baru dideklarasikan tahun 1928 untuk membebaskan bangsa dari penjajahan, Sardjono yang saat itu masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (AMS) (tahun 1930) selalu membekali dirinya dengan perkembangan politik. Ia senantiasa mendengarkan pidato-pidato milik Ir. Soekarno, Mr. Muhammad Yamin, Mr.Ali Sastroamidjojo, serta Mr. Amir Sjarifoeddin di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta.

Soekarno pada saat itu ditangkap oleh Belanda di Yogyakarta dan kemudian dipenjara di Bandung (Penjara Banceui). Saat di pengadilan, Soekarno selalu mengumandangkan pidato yang membangkitkan semangat para pemuda hingga pada akhirnya Soekarno dan Hatta diasingkan ke Ende. Pada tahun 1940 ketika awal Perang Dunia ke-II, Belanda jatuh ke tangan Jerman (Nazi). Saat itu juga Jepang sudah mulai melakukan penaklukkan Asia Tenggara salah satunya dengan mengalahkan Amerika (Perang Pasifik) melalui penyerangan basis Amerika Serikat di Pearl Harbor (Hawaii). Sardjono kemudian masuk menjadi anggota partai politik “Parindra“ cabang Surabaya (1940-1942) yang pada waktu itu dipimpin oleh Jenderal Sudirman sebagai pengurus besar partai tersebut.

Pada Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945) sunting

Perang Pasifik berpengaruh terhadap gerakan kemerdekaan di Negara Asia Timur termasuk di Indonesia. Masa pendudukan Jepang dimulai sejak tanggal 8 maret 1942, ketika panglima tertinggi Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang. Sebenarnya, tujuan Jepang meduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber sumber alam terutama minyak bumi untuk mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Satu persatu wilayah Indonesia diduduki oleh Jepang. Beberapa perusahaan yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda mulai dialihkan menjadi perusahaan Jepang termasuk perusahaan di mana Sardjono bekerja (Surabaya Tekkosho). Terjadi perlakuan kejam orang Jepang terhadap karyawan bangsa Indonesia. Sardjono menyatakan protes dengan keluar dari perusahaan untuk melanjutkan perjuangan. Ia kemudian mengembara selama 6 bulan berpisah dengan keluarga ke Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta untuk menghindari kemungkinan penangkapan oleh Kenpetai (Polisi Militer Jepang).

Sardjono juga diam-diam melamar pekerjaan di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan mendapat tugas dalam bidang riset industri kecil hingga akhirnya dianugerahi nama dan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Dipokusumo. Dengan pergantian nama baru tersebut, memudahkan ia luput dari kejaran tentara Jepang. Perlawanan terhadap jepang terus dilakukan oleh bangsa Indonesia. Dengan telah menyerahnya Italia dan terus mundurnya Jerman dan Jepang dari Perang Dunia kedua, maka kekalahan Jerman dan Jepang sudah dapat diprediksi.

Satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Soekarno dan Hatta pada waktu itu adalah dengan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang, tujuan akhirnya adalah bukan untuk mendukung Jepang tetapi untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia. Dimulailah pembentukan kelompok-kelompok untuk mempersiapkan kemerdekaan. Sardjono bersama dengan Sugiyono Yosodiningrat, turut aktif mempersiapkan guna mempelajari langkah apa yang harus diambil apabila Jepang menyerah.

Kemudian Sardjono sempat bersembunyi lagi guna menghindari penangkapan tentara Jepang, karena terlibat pertengkaran keras dengan seorang Jepang bernama Tanaka. Menjelang 17 Agustus 1945, aktivitas kelompok persiapan kemerdekaan makin meningkat dengan membuka segel beberapa radio dan mengikuti jalannya peperangan dari siaran sekutu.

Zaman Revolusi (1945-1949) sunting

Pada tanggal 6 Agustus 1945, Jepang di Bom oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki dan pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu hingga terwujudlah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Atas instruksi dari Jakarta, kemudian dibentuklah Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah yang bertugas memimpin pengambilan alih kekuasaan Jepang. Ketua KNI pada saat itu adalah Mohamad Saleh dengan anggota KNI antara lain Soegiyono Yosodiningrat, Abdul Hamid BKN (Muhammadiyah), Soedarisman Poerwokusumo serta Sardjono sendiri. Sardjono sebagai anggota KNI ditugasi untuk mengambil alih perusahaan milik Belanda yang kemudian diambil oleh Jepang (berbagai macam industri, pabrik gula, perusahaan listrik, dsb).

Untuk penyelenggaraan perusahaan daerah maka dibentuklah Panitia Penyelenggara Perusahaan Daerah Jogyakarta (PPPDJ). Sardjono ditunjuk sebagai ketuanya dan dalam perkembangannya badan tersebut berubah menjadi Kantor Oeroesan Perusahaan Perusahaan (KOPP). Selanjutnya berubah menjadi Badan Industri Negara (BIN) yang lingkup pelayanannya tersebar di seluruh Indonesia dan ia duduk sebagai direktur utama sampai dihapusnya badan ini pada tahun 1949. Bekas pengurus badan antara lain Prof Ir. Ali Djoyoadinoto, Ir. Tjokronolo, Lacuba, Adam Basori dll.

Pada tahun 1946, Sardjono mendirikan kursus perindustrian guna menambah tenaga pimpinan perusahaan industri. Ia juga mensponsori pendirian Persatuan Kaum Teknik (PKT) dan menjadi ketua umum pertama. Pada tahun 1947, Ia diangkat menjadi anggota “Braintrust” Republik Indonesia yaitu suatu badan untuk merencanakan kebijakan di bidang ekonomi dan Industri sebagai bahan perundingan dengan Belanda khususnya dalam kerangka Persetujuan Linggarjati dan Renville. Badan ini diketuai oleh Mohammad Hatta.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai Direktur Utama Badan Industri Negara ke Madiun bersama dengan Gubernur Jawa Timur, Ario Soerjo, mereka hampir terbunuh oleh PKI. Namun, pada perjalanan pulang dari Surabaya ke Yogyakarta Gubernur Soerjo tewas terbunuh.

Perjalanan di Daerah Gerilya (1945-1949) sunting

Meskipun Indonesia telah dinyatakan merdeka pada tahun 1945, Belanda tetap melakukan agresi militer yang Belanda sebut sebagai “Aksi Ketertiban Umum Belanda”. Mereka menganggap wilayah Indonesia masih dalam wilayah Hindia Belanda bukan wilayah Indonesia yang berdaulat, sehingga terjadilah kekejaman tentara belanda terhadap rakyat Indonesia yang menyebabkan pertempuran dan perlawanan kepada pihak Belanda.

Dalam penyerbuan Belanda ke Yogyakarta (Politioneele Actie II), Sardjono turut membantu Pemerintah Darurat RI dengan menjadi penasihat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler. Ia melakukan perang geriliya sekitar Yogyakarta dan Solo, sampai perang Belanda selesai pada tahun 1949.

Perang geriliya dimulai dari kota ke desa Jurug, kurang lebih 5 km sebelah selatan Kota Yogyakarta, di mana Badan Industri Negara pernah mempunyai cabang usaha. Pada saat perjalanan menuju Pos Gandog, ia bertemu dengan Letkol Soeharto beserta pasukannya. Selanjutnya, Sardjono lari ke Wonokromo karena adanya patroli Belanda yang menyusuri daerah selatan Yogyakarta dan pada saat itu bertemu kembali dengan Letkol Soeharto. Dari Wonokromo, geriliya dilanjutkan ke Imogiri di mana ia bertemu dengan Letkol Zulkifli Lubis.

Selanjutnya Sardjono naik ke Gunung Kidul yang merupakan markas Mayor Hajid. Ia menyampaikan pesan Soeharto yang meminta bala bantuan sambil menunggu kedatangan anggota dari Pemerintah Darurat RI yaitu Pak I.J. Kasimo dan Pak Pandji Soeroso. Di daerah Wonosari, Wiladeg dan Ngawis tersebut Sardjono kemudian bertemu dengan Bung Tomo, Sdr. Soediro, dan Kolonel T.B. Simatupang. Setelah bertemu dengan rombongan tersebut, Ia mendapat tugas untuk menyusun laporan radio telegram ke Bukit Tinggi mengenai keadaan Pemerintah Darurat di Jawa dan medan pertempuran. Di Ngawis, ia ditugasi untuk membuat bahan cadangan makanan/ ransum bagi para pejuang di garis terdepan.

Serangan Umum 1 Maret 1949 sunting

Dua hari sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949, Sardjono kedatangan seorang tamu bernama Bapak Sastro, yang merupakan ajudan dari Letkol Soeharto, yang memberitahu bahwa pada tanggal 1 Maret akan ada dilakukan serangan besar-besaran dan meminta supaya hal tersebut disiarkan ke Bukittinggi dan seterusnya keluar negeri, dengan catatan bahwa perlu diberitahukan bahwa Yogya telah jatuh ke tangan Indonesia.

Pada tanggal 1 Maret, kurir pembawa berita pertama datang dari kota dan mengabarkan bahwa serangan pertama telah sukses, Sardjono kemudian langsung mengirim berita tersebut melalui radio telegram ke Bukittinggi. Tidak lama berselang, dapat kurir kedua yang memberitahu bahwa tentara Indonesia harus meninggalkan kota secepatnya. Atas pemberitahuan tersebut, Sardjono kemudian langsung mengkoreksi pesan dengan menyatakan: “Bahwa karena pertempuran-pertempuran di dalam kota meminta korban terlalu banyak diantara penduduk, tentara kita tarik keluar kota dimana pertempuran-pertempuran masih berlangsung“.

Ketika wilayah Wonosari diserang oleh Belanda, para tentara menghindar ke daerah Bayat (Klaten) dan bertemu dengan Prof. Dr. Sardjito serta Dr. Sardjono. Dari Bayat, kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Gantiwarno dan Manishardjo lalu kembali ke daerah Yogyakarta di Jiwan, Desa Pucung, dan akhinya singgah di kediaman Bupati Sleman. Saat itu, Sardjono ikut serta dalam pertemuan antara Bupati Sleman dengan Letkol Soeharto, di daerah Yogyakarta bagian utara.

Tidak berhenti disitu, Sardjono kemudian melanjutkan perjalanannya kembali ke daerah Pucung hingga ke wilayah Tempel dan Dekso bersamaan dengan Kapten Selo Ali. Di sana mereka bertemu dengan Mayjen Soedarto.

Dari Dekso, mereka berpindah ke Kliripan dan tinggal di kediaman camat setempat tak lama memutuskan untuk kembali ke wilatah Dekso dan melintasi gunung hingga akhirnya bertemu dengan Kolonel T.B. Simatupang, Mr. Ali Budiardjo, dan Mayor Widyapranoto.

Perjalanan Karier sunting

Setelah lulus dari TH Bandoeng, Sardjono bekerja di N.V. Volkermaatschapay, sebuah perusahaan pemborong sipil Belanda, ia ditugasi untuk melakukan supervisi di Palembang pada proyek kilang minyak Stanvac di (Plaju) serta jembatan “Ophaalbrug” (Komering) dari PU pada tahun 1939–1940. Pada Tahun 1940-1942, ia ditunjuk sebagai designer pada CV Machinfabrik & Constructiewerkplaats “De Vulkaan“ di Ngagel, Surabaya. Pada saat itu, Ia ditugasi untuk merencanakan berbagai bangunan untuk beberapa pabrik, onderneming (perkebunan swasta besar), jembatan, tangki dan hanggar lapangan udara Morokrembangan.

Setelah Jepang masuk ke Indonesia, Sardjono tetap bekerja pada pabrik yang sama, namun saat itu sudah berada dibawah pengawasan bala tentara Jepang dengan nama Surabaya Tekhoso. Ia ditugasi menjadi pembantu utama manajemen Jepang dengan mengerjakan rehabilitasi dan reparasi beberapa pabrik, jembatan, dan instalasi yang rusak akibat perang. Pada tahun 1943, ia keluar dari perusahaan tersebut sebagai bentuk protes atas kekejaman tentara Jepang terhadap karyawan Indonesia.

Pada tahun 1944, Sardjono ditugasi Kesultanan Ngajogyakarta Hadiningrat, untuk melakukan penelitian usaha industri kecil dalam keadaan darurat dan berkantor di kantor Pengaotan, Pancarworo. Sebagai pegawai tinggi, ia dianugerahi kedudukan sebagai “Bupati Anom” dan mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung Dipokusumo.

Pada Tahun 1945-1948, Sardjono turut membantu Pemerintah RI mengalihkan perusahaan bekas Belanda dari tangan Jepang, kemudian memimpin badan yang mengawasi perusahaan tersebut. Selanjutnya ia diangkat menjadi Ketua Panitia Penyelenggara Perusahaan Perusahaan daerah Jakarta (PPPDJ), lalu diangkat menjadi Ketua dari KOOP Kantor Oerosan Perusahaan Perusahaan (KOOP).

Sardjono ditugasi oleh Pemerintah RI pada tahun 1946 untuk memimpin Badan Industri Negara sebagai Direktur Utama. Ketika itu gelar KRT yang ia miliki dikembalikan ke Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan mengubah namanya menjadi Ir. Sardjono Dipokusumo (nama tersebut melekat hingga akhir hayat beliau). Kemudian, ia ditunjuk oleh Pemerintah RI untuk menjadi anggota Panitia Industrialisasi (1950) sebagai wakil dari swasta. Badan ini pernah diketahui oleh Drs. Khouw Bian Tie, Dr. Sumitro dan Ir. Djuanda.

Sardjono kemudian ikut mendirikan Dewan Ekonomi Indonesia Pusat (DEIP) (1950), sebuah badan yang memelopori berdirinya Kamar Dagang Indonesia. Ketua pertama badan ini adalah Bapak Roedjito dari perusahaan Asuransi Bumi Putra. Sardjono ikut bergabung menjadi anggota pengurus sampai badan ini dilebur.

Karier Sardjono kemudian semakin meningkat. Pada tahun 1950–1951, Sardjono memasuki dunia swasta dengan menjadi Direktur pada perusahaan Joint Venture Indonesia–Italia yang mengimpor barang teknik dari Italia, Jerman dan Swiss yaitu PT Electrodinamica. Selanjutkan, ia mendirikan perusahaan bekerja sama dengan Ir. Omar Tosin di Tokyo yaitu perusahaan “Jakarta – Tokyo Consulting Berau“ pada tahun 1952-1954 yang bergerak dalam bidang manufaktur atau industri kecil.

Sardjono juga mendirikan perusahaan bernama “Biro Insinyur Dan Konstruksi Baja“, perusahaan yang membuat konstruksi baja dengan karya antara lain Vem di Pelabuhan Tanjung Priok, bangunan Pasar Rawa Bangke, Pabrik Gula Madukismo, jembatan, kantor di Jalan Raden Saleh nomor 3, serta workshop di Jl. Gatot Subroto (sekarang bekas lokasi PT Kapin).

Karier Politik sunting

Sardjono terpilih menjadi Anggota DPR-GR wakil dari partai Parindra (1955-1956). Parindra adalah Partai Indonesia Raya yang didirikan oleh dr.Soetomo pada tahun 1935 di Solo. Partai yang berdasarkan nasionalisme Indonesia dan menyatakan tujuannya adalah Indonesia mulia dan sempurna. Tokoh-tokoh yang bergabung dengan Parindra antara lain RM. Margono Djojohadikusumo (kakek dari Prabowo Subianto), RM Panji Soeroso, dll.

Pada tahun 1967-1968, Sardjono kembali lagi terpilih di Parlemen sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia ikut mendirikan Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo) dan menjadi anggota organisasi tersebut hingga akhir hayat. Pada 8 Januari 1959 di Tretes, Malang, Jawa Timur bersama 3 organisasi pemborong daerah yaitu IPEMBI, IABN, dan DPI, Sardjono menggagas pendirian Organisasi GAPENSI (Gabungan Perencana dan Pemborong Indonesia). Sebagai hasil keputusan Kongres I Gabungan Pemborong Bangunan Seluruh Indonesia yang dihadiri oleh 160 peserta dari seluruh Indonesia, Ia ditunjuk sebagai ketua presidium GAPENSI yang berkedudukan di ibu kota Negara RI. Duduk sebagai Ketua GAPENSI Jakarta Raya adalah Ir. Oerip Djoyosantoso serta Edie Kowara sebagai komisaris[1].

Menteri Pekerjaan Umum sunting

Saat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, Perdana Menteri Djuanda telah menyerahkan kembali mandatnya pada Presiden sekaligus mengangkat Soekarno sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Sardjono dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai Menteri Muda Pekerjaan Umum dan Tenaga, di dalam Kabinet Kerja I. Pada saat itu, Perdana Menteri dipegang oleh Ir. Soekarno dan dibantu oleh Menteri Pertama Ir. Djuanda.

Sardjono ditunjuk kembali sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga di Kabinet Kerja II saat Soekarno melakukan reshuffle guna lebih memantapkan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Sardjono bertugas mengawasi pembangunan proyek Stadion Senayan dan Hotel Indonesia, kemudian menyusun Rencana Tiga Tahun Irigasi, instalasi air minum, rencana rehabilitasi jalan dan Pusat Tenaga Listrik di seluruh Indonesia. Karena tugasnya sebagai menteri tidak memperbolehkannya memiliki perusahaan, maka Perusahaan Biro Insinyur dan Konstruksi Baja dijual kepada Mr. Widjatmika (NV Prana).

Semasa menjabat Menteri Pekerjaan Umum, Sardjono menginisiasikan dan meresmikan beberapa proyek strategis nasional seperti :

  1. Gelora Bung Karno Complex yang pembangunannya dimulai tahun 1960 dan diselesaikan tahun 1962
  2. Bundaran Semanggi
  3. Hotel Indonesia
  4. Kawasan Sudirman Thamrin
  5. Bendungan Jatiluhur sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sumber air bersih bagi DKI Jakarta
  6. Jembatan Ampera di Palembang

Berkarier di Bank sunting

Setelah tidak menjadi menteri, Sardjono kemudian diminta menjadi Direktur Adviseur Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO).

Sumber sunting

2. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Daftar_lulusan_Technische_Hoogeschool_te_Bandoeng

3. Daftar Menteri Pekerjaan Umum Indonesia

4. http://www.gapensijabar.net/index.php/selayang-pandang/tentang-gapensi Diarsipkan 2019-03-02 di Wayback Machine.