Ranto Gudel

aktor dan pelawak Indonesia (1936–2002)
(Dialihkan dari Ranto Edi Gudel)

Hadi suranto atau lebih dikenali sebagai Ranto Edi Gudel atau Ranto Gudel (1936 - 8 Desember 2002) adalah seorang seniman dan pelawak yang mengharumkan kesenian lawak Ketoprak.[1][2][3]

Ranto Gudel
LahirSuharanto
1936 (1936)
Kota Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda (kini Indonesia)
Meninggal8 Desember 2002(2002-12-08) (umur 65–66)
Rumah Sakit Dr. Oen, Kota Surakarta, Jawa Tengah
Sebab meninggalKomplikasi penyakit jantung, paru-paru, hipertensi, dan liver
Pekerjaan
Tahun aktif1962-2002
PasanganUmiyati Siti Nurjanah
AnakMamiek Prakoso
Didi Kempot
Lilik Subagyo
Eko Gudel
KeluargaHatma Maulana (cucu)
Shuma Pradana (cucu)

Biografi

sunting

Ranto Edi Gudel atau Ranto Gudel dengan nama aslinya, Suharanto, lahir di Solo, Jawa Tengah pada tahun 1936.[4] Ranto Gudel lalu tumbuh menjadi seniman bahkan maestro yang mengharumkan kesenian lawak Ketoprak. Ranto Gudel konsisten berkesenian dengan melawak lewat pentas ketoprak selama 40 tahun. Meski hanya lulusan kelas 2 SMP, Ranto Gudel bukannya tak berpendidikan, ia memperhatikan betul lakon kebudayaan dalam hidupnya.

Banyak filosofi kehidupan dituangkan dalam lawakannya. Dikutip dari buku Ensiklopedia Tokoh Kebudayaan IV yang dirangkum oleh Muchtaruddin Ibrahim, Julinar Said, Espita Riama, dan Andi Maryam, disebutkan Ranto Gudel hanya sekolah sampai SMP saja. Ranto Gudel enggan/tidak berminat melanjutkan sekolah karena dalam pandangannya, sekolah yang sebenarnya adalah hidup yang dijalani.

Pandangan ini pula yang memperkaya cakrawala seni lawaknya. Ranto Gudel menjalani sebagian besar kariernya sebagai pelawak dalam drama ketoprak. Pada usianya yang ke-60, Ranto Gudel membuat gebrakan. Meski tak menguasai instrumen musik, Ranto Gudel secara mengejutkan menciptakan lagu pop Jawa berjudul Anoman Obong pada tahun 1995.

Kekuatan lagu karya Ranto ini terletak pada karakter musiknya yang energik. Komposisinya merupakan perpaduan dari berbagai unsur musik yang sangat akrab di telinga masyarakat umum.

"Lagu ini telah mampu bersaing dengan lagu hits lainnya dan ini terbukti dapat merasuk ke pub atau kafe-kafe mewah di Jakarta," terusnya. Dari hasil rekamannya, Ranto beroleh keuntungan sebesar Rp.10 juta rupiah. Bahkan, kesuksesan lagu membuat sang produser merekamnya dalam 10 versi yang berbeda, mulai dari campusari hingga disco house, yang kemudian meledak bahkan sampai di pub dan kafe-kafe bawah tanah di Jakarta.[5]

Ia dinilai berhasil sebagai salah seorang seniman karena mampu berpentas lawak maupun menyanyikan gending-gending Jawa. Inilah yang kemudian mewarisi bakatnya kepada anak-anaknya, Mamiek sebagai pelawak dan Didi Kempot sebagai penyanyi.

Lagu itu berkisah soal cerita pewayangan Ramayana dengan tokoh utama Anoman, dan setelah dirilis segera saja meledak di pasaran. Dedikasinya dalam dunia seni dan kebudayaan tak perlu diragukan lagi, ia juga sudah mempopulerkan lawak tunggal yang kini disebut stand up comedy sejak di tahun 60-an sampai 70-an.

Sepanjang hidupnya, kisah asmara Ranto Gudel juga tak kalah surut, ia menikah sebanyak empat kali alias beristri empat. Hampir semua anak Ranto Gudel menurunkan bakatnya di bidang seni. Beberapa anaknya yang meneruskan jalannya adalah Maestro Campursari Didi Kempot yang konsisten mempopulerkan musik campursari dengan setuhan pop Jawa. Lalu ada Mamiek Prakoso, yang dikenal sebagai pelawak Srimulat dengan ciri khas rambut semir pirang di sisi kanan dan kiri kepalanya.

Keberhasilan Ranto Edy Gudel sebagai pelawak telah dapat dinikmatinya. Dengan hasil jerih payahnya, ia berhasil membangun rumah impian yang mewah di zamannya bernilai 90 juta rupiah di kampung Krembyongan, Solo.

Begaimanapun, Ranto tidak menyombongkan diri. Salah satu kata-kata yang diingat publik, sebagai orang yang berbudaya, ia pernah mengatakan:

"Kita ini berasal dart rumput, suatu ketika mungkin ada burung mencucuknya, lalu dibawa ke atas pohon, namun kita mesti ingat asal kita".

Sejak bersekolah di Sekolah Rakjat (selevel Sekolah Dasar), Ranto telah mengidentifikasi tentang dirinya. Baginya, melucu adalah bakat yang muncul sejak ia kecil. Dari sini, ia giat melucu dari rekan sekelasnya hingga ke dunia luar selepas berhenti bersekolah.

Maka, tidak mengherankan "sejak usia remaja ia telah mendapat tempat di hati para penggemarnya lewat aksi panggungnya," tambah Muchtaruddin. Mulai dari Gelanggang Remaja inilah, Ranto melebarkan sayapnya di dunia hiburan.

Dalam meyalurkan misinya, Ranto Edy Gudel lebih banyak tampil sebagai pelawak tunggal—barangkali saat ini lebih dikenal dengan istilah stand up comedy. Karena menurutnya melawak sendiri lebih leluasa.

Dalam penampilan Ranto Edy Gudel terkesan cerdas. Kekuatan dialognya adalah pada sahutan, ia tidak pernah buntu, Kefasehan mengoceh tak henti-hentinya membuat banyak penonton tergelak.

Meski menikmati berkarir sebagai solo komedi, tidak menutup dirinya untuk berbagi peran dalam panggung lawak. Pada tahun 1970-an, Ranto Edy Gudel bergabung dengan wayang orang Cahyo Purnomo di Malang.

Memasuki tahun 1980-an, sukses berpasangan dengan Martati Tohiran membawakan Bancak Doyok. Membuat karir lawaknya semakin melejit. Ia kerap berpasang-pasangan dengan para lakon lawak sohor.

"Beberapa kali mentas (berpentas) di panggung Wayang Sriwedari, tapi seringnya jadi lakon di Ketoprak Mataram," sambung Heri Dwi Hartanto, seorang penikmat aksi panggungnya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Ada pula nama Joko Lelur Sentot Suwarso atau Sentot Selino. Ia adalah musisi campursari yang turut membantu karier adiknya Didi Kempot. Sentot Selino telah meninggal dunia di tahun 2016 karena gagal ginjal. Kemudian, ada Eko Gudel yang juga memilih dunia lawak seperti Ranto Gudel.

Eko Gudel sering tampil melawak di sela-sela sesi humor wayang kulit atau biasa disebut dengan goro-goro dalam pertunjukan tersebut. Eko Gudel juga beberapa kali turut mengisi sela-sela penampilan Didi Kempot di beberapa kota. Dari semua anak Ranto Gudel, hanya Lilik Subagyo dan Veronika Tatik Hartanti yang tak ikut menggeluti dunia seni.[6]

Setelah 40 tahun lebih mendedikasikan hidup dalam lawak, Ranto Gudel sang seniman yang kini namanya kembali dikenal karena puisi karya Sindhunata, "Cintamu Sepahit Topi Miring" telah meninggal dunia pada 8 Desember 2002.[7][8] Ranto Gudel meninggal dunia di usia 66 tahun di Rumah Sakit Oen, Solo akibat komplikasi penyakit jantung, paru, hipertensi, dan liver.[9]

Dua anak Ranto Gudel, yakni Didi Kempot dan Mamiek Prakoso juga telah berpulang menyusul ayahnya. Didi Kempot meninggal dunia pada 5 Mei 2020, sementara Mamiek Prakoso meninggal dunia pada 3 Agustus 2014.

Referensi

sunting
  1. ^ Pujayanti, Resti (2023-03-05). "Profil dan Biodata Ranto Gudel dalam Lagu Cintamu Sepahit Topi Miring Mulai dari Keluarga hingga Profesinya". JatimNetwork.Com. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  2. ^ Isnanto, Bayu Ardi. "Siapa Nama Asli Didi Kempot Pemberian Orang Tua? Ini Kata Adiknya". detiknews. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  3. ^ Sutarno (2020-05-05). "Didi Kempot Sering Tampil Bareng Eko Gudel, Jarang dengan Mamiek Prakoso". Bisnis.com. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  4. ^ "Silsilah Keluarga Didi Kempot, Adik dari Pelawak Srimulat Mimiek Prakoso dan Anak dari Mbah Ranto". Tribunjambi.com. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  5. ^ Efendi, Ahmad (2020-05-05). "Sejarah Keluarga Didi Kempot: Dari Seniman Hingga Pelawak". tirto.id. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  6. ^ Safutra, Ilham (2020-05-12). "Bakat dan Kegigihan sang Maestro Sudah Terlihat di Ngawi". JawaPos.com. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  7. ^ "Mengenal Ranto Gudel dalam Lagu Viral Cintamu Sepahit Topi Miring - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  8. ^ "Meninggal". Tempo (dalam bahasa Inggris). 2002-12-16. Diakses tanggal 2024-05-17. 
  9. ^ Aziz, Mukhamad Rafidah. "Profil Ranto Gudel, Ayah Didi Kempot: Perjalanan Karier Pelawak Legendaris dan Pencipta Lagu Anoman Obong - Warna Nusa - Halaman 2". Profil Ranto Gudel, Ayah Didi Kempot: Perjalanan Karier Pelawak Legendaris dan Pencipta Lagu Anoman Obong - Warna Nusa - Halaman 2. Diakses tanggal 2024-05-17.