Rambut panjang di Singapura

Larangan rambut panjang pernah beredar di Singapura. Pada 1960-an, kebijakan pemerintah Singapura yang melarang para pria untuk memiliki rambut panjang mulai berlaku. Hal ini merupakan respon atas semakin populernya sub-budaya hippie di seluruh dunia, pemerintah menilai pengaruh tersebut negatif dan merugikan pembangunan nasional negara. Konsekuensi untuk melanggar pelarangan rambut panjang bervariasi dari denda hingga sampai rambut dipotong pendek secara paksa. Selain itu, pemerintah telah memerintahkan agar pria berambut gondrong diberi prioritas terendah dalam hal meminta bantuan atau layanan di fasilitas pemerintah.

Pria asing berambut panjang dari negara lain yang masuk diminta untuk pergi. Antara lain, Bee Gees, Kitarō, dan Led Zeppelin semuanya terpaksa membatalkan pertunjukan mereka di Singapura sebab menolak untuk menerima kebijakan tersebut.

Larangan itu menyebabkan beberapa dampak bagi negara setelah diberlakukan, dengan renggangnya hubungan antara Singapura dan negara lain. Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bahkan harus membatalkan sebuah perjalanan bisnis oleh karena protes keras dari beberapa individu yang terkena dampak dari larangan tersebut. Pada akhirnya larangan itu dihilangkan pada 1990-an. Di tahun 2013, surat kabar lokal The Straits Times memasukkan larangan itu ke dalam daftar lima puluh hal yang dapat diidentifikasikan kepada Singapura.

Latar belakang sunting

Gerakan sub-budaya hippie (disebut juga sebagai hippy) muncul di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Negara lain dengan cepat mengambil gerakan pemuda ini. Di antara ciri khas lainnya, hippies seharusnya memiliki rambut panjang. Kaum hippie di Barat dikatakan mengonsumsi obat-obatan terlarang dalam jumlah besar.[1]

Larangan sunting

Pemerintah Singapura mengklaim bahwa yang disebut dengan hippies ini merupakan pengaruh negarif bagi orang Singapura yang dapat "merusak" pikiran mereka dan "mencemari" masyarakat negara ini. Dengan mengadopsi sikap anti-hippy, pemerintah memberlakukan sebuah kebijakan resmi mengenai larangan untuk para lelaki memiliki rambut panjang. Dalam beberapa tahun pertama setelah diberlakukannya kebijakan tersebut, konsekuensi bila tidak mematuhinya relatif ringan: pria berambut panjang yang didapati oleh polisi dipaksa untuk memotongnya pendek. Selain itu, seandainya mereka menjadi pegawai negeri, mereka berisiko kehilangan pekerjaanya atau, jika beruntung, menerima peringatan keras akibat "melanggar disiplin".[2] Terakhir, pria yang berambut panjang akan secara otomatis diberikan prioritas terendah dalam fasilitas pemerintahan. Poster-poster di luar tempat-tempat ini bertuliskan, "Laki-laki dengan rambut panjang akan dilayani di urutan terakhir".[1]

Di tahun 1976, pria berambut panjang di Singapura yang bekerja dalam pemerintahan mulai mendapat hukuman denda sebesar S$200. Kemungkinan konsekuensi lainnya juga masih ada.[2] Larangan ini tidak hanya berlaku bagi orang lokal, tetapi juga para orang asing baik datang berkunjung maupun bekerja. Hal tersebut akhirnya dihapuskan pada tahun 1990-an.[1]

Insiden sunting

Di bulan Agustus tahun 1970, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew harus membatalkan kunjungan perjalanan bisnis ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk menangani keributan yang disebabkan oleh penangkapan tiga pemuda berambut panjang yang berasal dari Malaysia, yang banyak dianggap kontroversial dan tidak dapat dibenarkan.[3] Lee mengadakan sebuah konferensi pers, dimana dia secara resmi meminta maaf kepada pihak yang terdampak.[4]

Turis pria yang berambut panjang yang mencoba masuk ke Singapura diharuskan untuk mengunjungi tukang potong rambut atau pergi meninggalkan negara itu. Untuk mereka yang mengambil pilihan kedua dilarang masuk kembali ke negara itu selama berbulan-bulan bahkan jika telah memotong pendek rambut mereka. Pada tahun 1972, beberapa turis Australia yang memprotes dikabarkan mendesak massa untuk memboikot Singapura. Komisi Tinggi Australia mencatat ketidakpuasan mereka, dan segera melakukan penyelidikan resmi mengenai insiden ini, meskipun mengakui bahwa bukan menjadi hak prerogatif mereka untuk mengkomplain tentang hal tersebut.[5]

Di tahun 1974, 8.172 laki-laki pegawai pemerintah dipanggil karena memiliki rambut panjang. Sebelas dari mereka didenda, sementara empat lainnya meninggalkan pemerintahan.[1] Meskipun larangan tersebut hanya berlaku untuk para pria, beberapa siswi sekolah di Singapura dilaporkan telah memotong pendek rambut mereka secara paksa setelah diperingatkan berkali-kali. Dalam pembenarannya, kepala sekolah yang bertanggung jawab dalam memotong rambut mereka, mengklaim bahwa dia hanya mematuhi aturan yang berlaku.[6]

Penghibur Jepang Kitaro terpaksa membatalkan penampilan konser tahun 1984 di Singapura karena rambutnya yang panjang, dimana ia menolak untuk dipotong.[7][8] Demikian pula, Cliff Richard, Led Zeppelin dan Bee Gees semuanya yang seharusnya tampil di Singapura pada titik waktu yang berbeda tetapi pergi akibat larangan tersebut.[1]

Alhasil sunting

Larangan tersebut sering kali disebutkan dalam buku-buku mengenai Singapura, untuk menunjukkan fakta tentang ketatnya dalam hal disiplin.[7][9] Di tahun 1982, grup musik rock Australia Little River Band meriilis sebuah lagu berjudul "Down On The Border"[10] berisikan referensi tentang larangan rambut panjang yang dibuat dalam lirik "Dan aku tidak akan pernah pergi ke Singapura / Orang-orang di sana akan potong rambutmu / Di Singapura".[11] Larangan ini telah dibandingkan dengan larangan penjualan permen karet di Singapura. Pada November 2013, The Straits Times mencantumkannya ke dalam lima puluh hal yang berkaitan dengan sejarah Singapura.[1]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b c d e f Sim, Melissa (Nov 17, 2013). "A history of Singapore in 50 objects". The Straits Times. hlm. 7. 
  2. ^ a b "Long hair is "antisocial" in Singapore". Gettysburg Times. July 1, 1976. hlm. 8. 
  3. ^ "Singapore's Chief Drops Visit to Kuala Lumpur in Dispute Over Arrest of 3 Long-Haired Malaysians". The New York Times. August 20, 1970. 
  4. ^ S. R. Nathan (16 January 2012). An Unexpected Journey: Path to the Presidency. Editions Didier Millet. hlm. 332–. ISBN 978-981-4260-73-2. 
  5. ^ "Long hair ban irks tourists". The Telegraph-Herald. January 11, 1972. 
  6. ^ "Singapore is fighting long hair". Youngstown Vindicator. July 6, 1980. hlm. 26. 
  7. ^ a b Audrey Perera (2011). Singapore at Random. Editions Didier Millet. hlm. 127–. ISBN 978-981-4260-37-4. 
  8. ^ "Refund for Kitaro's shows". The Straits Times. September 14, 1984. hlm. 10. 
  9. ^ Hanna, William. Culture, Yellow Culture, Counterculture, and Polyculture in Culture-Poor Singapore. 21. American Universities Field Staff. hlm. 7–9. 
  10. ^ Emmis Communications (February 1983). "Orange Coast Magazine". Orange Coast. Emmis Communications: 138–. ISSN 0279-0483. 
  11. ^ "A cut above". The Straits Times. May 20, 2005. hlm. 4.