Putri Tangguk adalah cerita rakyat yang berasal dari daerah Jambi.[1][2][3][4][5] Putri Tangguk adalah nama ibu dari 7 anak dalam cerita ini.[1] Kisah ini menceritakan tentang kehidupan Putri Tangguk dan keluarganya.[1]

Cerita

sunting

Dahulu kala, ada sebuah negeri yang bernama Negeri Bunga yang berada di kecamatan Danau Kerinci.[1] Di sana hiduplah seorang perempuan bernama Putri Tangguk dan suami beserta ketujuh anaknya.[1] Putri Tangguk dan suaminya bekerja sebagai petani.[1] Setiap hari, Putri Tangguk dan suaminya bekerja membajak sawah demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.[1] Mereka bekerja sampai lupa untuk mengurusi anak-anaknya dan juga berhubungan dengan keluarga mereka.[1] Putri Tangguk menyadari bahwa ia pun harus mengurusi anak-anaknya serta keluarganya.[1] Putri Tangguk mengatakan kepada suaminya bahwa mereka harus bekerja sampai gudang persediaan padi mereka penuh sehingga mereka tidak perlu bekerja selama persediaan masih cukup.[1] Ia mengatakan kepada suaminya demikian dan suaminya pun menyetujui.[1] Mereka pun mulai bekerja untuk memenuhi gudang persediaan padi mereka.[1] Suatu hari Putri Tangguk sedang berjalan ke sawah bersama dengan suami beserta ketujuh anaknya.[1] Jalan sedang licin karena hujan yang turun.[1] Putri Tangguk pun terpeleset.[1] Ia marah dan memaki jalanan tersebut.[1] Sepulang dari sawah, Putri Tangguk menabur padi di jalanan tersebut agar jalanan tersebut tidak licin.[1] Setelah hari itu, gudang persediaan penuh oleh padi dan Putri tangguk juga suaminya tidak perlu bekerja karena persedian padi yang cukup.[1] Ia pun bekerja menenun kain untuk mengisi waktu kosongnya sambil mengurusi anak-anak dan keluarganya.[1] Namun, hari seperti ini itu tidak berlangsung lama.[1] Suatu hari, ketujuh anak Putri Tangguk merengek karena kelaparan.[1] Putri Tangguk kemudian pergi untuk memeriksa persediaan padi yang ada di gudang.[1] Ia terkejut dan panik saat mengetahui bahwa persediaan padi sudah tidak ada di gudang.[1] Ia tidak habis pikir karena seharusnya persediaan padi tersebut cukup untuk waktu yang lama.[1] Sepulangnya dari gudang, ia melintasi jalan di mana ia membuang padi agar jalan tersebut tidak licin.[3] Ia ingat bahwa ia seharusnya tidak melakukan itu.[3] Saat malam hari tiba, Putri Tangguk bermimpi ia berjumpa dengan seseorang laki-laki tua.[3] Laki-laki itu mengatakan bahwa Putri Tangguk beserta keluarganya akan hidup sengsara karena ia telah membuang padi di jalan.[3] Putri Tangguk terbangun dari mimpinya lalu menangis.[3] Ia menyesali perbuatannya.[3]

Cerita Putri Tanggung memberikan petuah dalam kehidupan manusia.[1] Sebagai manusia, kita harus mensyukuri apa yang kita miliki.[3] Dengan mensyukuri apa yang kita miliki, kita akan selalu merasa berkecukupan.[3] Bersyukur adalah salah satu bagian dari sifat rendah hati.[3] Putri Tanggung tidak bersyukur dan rendah hati sehingga ia tidak menghargai apa yang ia miliki.[3] Ia terlambat untuk menyadari betapa pentingnya bersyukur saat apa yang ia miliki sudah tiada.[3]

Referensi

sunting
  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Sheina Ananda. 2013. Rangkuman 100 cerita rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Jakarta:Anakkita. Hlm 29.
  2. ^ Monika Cri Maharani. 2011. Cerita Rakyat asli Indonesia: dari 33 Provinsi.Jakarta: Agromedia Pustaka.Hlm 25.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Marina Asril Reza. 2010. 108 Cerita Rakyat terbaik Asli Nusantara.Jakarta:Visimedia. Hlm 59.
  4. ^ Kaslani. 1997. Cerita Rakyat dari Jambi: Volume 2. Jakarta:Grasindo.
  5. ^ Tim Media Vista. 2009. Mengenal Adat, Budaya, dan Kekayaan Alam Indonesia. Jakarta:Cikal Aksara. Hlm 6.