Penyangkalan Nakba

negasionisme sejarah mengenai pengusiran paksa dan eksodus penduduk Palestina mulai tahun 1948

Penyangkalan Nakba adalah suatu bentuk penyangkalan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa pengusiran, pemindahan paksa dan eksodus warga Palestina pada tahun 1948 serta dampak yang timbul akibat peristiwa tersebut, yang disebut oleh orang Palestina secara kolektif sebagai "Nakba" ( terj. har.'musibah besar').[1][2] Penyangkalan Nakba menurut para peneliti dapat mencakup penyangkalan terhadap kekerasan yang terdokumentasi secara historis terhadap warga Palestina, penyangkalan terhadap identitas Palestina, gagasan bahwa Palestina adalah tanah tandus, dan gagasan bahwa perampasan tanah Palestina adalah bagian dari transfer timbal balik antara orang Arab dan Yahudi dengan justifikasi akibat perang.[3][4][5]

Negara Palestina Eksodus Palestina 1948

Artikel utama
Keluaran Palestina 1948


Perang Palestina 1947–1949
Perang saudara 1947–1948
Perang Arab-Israel 1948
Penyebab eksodus
Hari Nakbah
Kamp pengungsi Palestina
Pengungsi Palestina
Hak pemulangan Palestina
Present absentee
Komite Peralihan
Resolusi 194

Latar
Mandat Britania atas Palestina
Deklarasi kemerdekaan Israel
Sejarah konflik Israel-Palestina
Sejarawan Baru
Palestina · Plan Dalet
Rencana pembagian 1947 · UNRWA

Insiden utama
Pertempuran Haifa
Pembantaian Deir Yassin
Eksodus dari Lydda

Penulis utama
Aref al-Aref · Yoav Gelber
Efraim Karsh · Walid Khalidi
Nur Masalha · Benny Morris
Ilan Pappe · Tom Segev
Avraham Sela · Avi Shlaim

Kategori/daftar terkait
Daftar desa yang dikosongkan

Templat terkait
Bangsa Palestina


Sejumlah sejarawan menjelaskan bahwa penyangkalan Nakba merupakan komponen inti narasi Zionis,[6][a] dan sebagian besar diskursus difasilitasi oleh historiografi awal Israel.[7] Mulai tahun 1980-an, para Sejarawan Baru, menggunakan sumber dari arsip-arsip yang telah dideklasifikasikan (arsip rahasia yang telah dibuka untuk umum), juga catatan-catatan sejarah tingkat lanjut yang menentang penyangkalan Nakba[8] dan sejumlah besar literatur Yahudi Israel yang ditemukan dan dibuka untuk memberikan lebih banyak penjelasan tentang peristiwa Nakba.[9] Pada tahun 1998, Steve Niva, editor Middle East Report, menggunakan istilah "penyangkalan Nakba" untuk menggambarkan bagaimana perkembangan Internet awal menyebabkan persaingan narasi di dunia maya tentang peristiwa tahun 1948.[10] Zochrot, sebuah organisasi nirlaba Israel, didirikan dengan tujuan memperingati Nakba melalui aksi langsung.[11]

Penyangkalan terhadap Nakba masih lazim dalam wacana masyarakat Israel dan AS dan dikaitkan dengan berbagai isu yang terkait dengan rasisme anti-Arab.[4] Pada tahun 2011, Israel mengesahkan undang-undang yang disebut sebagai Undang-Undang Nakba yang memotong pendanaan negara untuk organisasi yang memperingati Hari Kemerdekaan Israel sebagai hari berkabung.[11][12]

Latar belakang

sunting

Masyarakat Palestina menuduh Israel menggunakan “penyangkalan Nakba” untuk melepaskan diri dari tanggung jawab sambil melanggengkan konflik. Tuduhan tersebut dibantah oleh Israel dengan keras. Sejarawan Zionis menjadikan alasan serangan tentara Arab mengancam keberadaan negara Israel sebagai Yahudi baru dengan pemusnahan, sebagai justifikasi dilakukannya pengusiran dan eksodus. Namun, beberapa Sejarawan Baru Israel berpendapat bahwa perdana menteri pendiri Israel David Ben-Gurion melebih-lebihkan isu ancaman Arab dengan tujuan melakukan pengusiran terhadap masyarakat sipil Palestina dan menguasai sebanyak mungkin wilayah Palestina.[13]

Penulis dan sejarawan Palestina Nur Masalha menyatakan bahwa para guru dan pendidik Israel menyembunyikan kekejaman Nakba dari anak-anak sekolah, membangun kesadaran terhadap narasi nasional Israel dengan mengabaikan ingatan kolektif mengenai Palestina. Masalha menyatakan bahwa "guru sekolah, akademisi, pendidik, sejarawan dan novelis" Israel mengembangkan "pengetahuan Zionis" dan ingatan kolektif Zionis dengan memanfaatkan "kampanye penyembunyian dan penyangkalan Nakba." Menurut Ilan Pappé, hal ini merupakan "merupakan elemen konstitutif utama dalam konstruksi identitas kolektif Yahudi di negara Israel." [14]

Negasionisme sejarah

sunting

Dalam narasi Zionis dan kenegaraan Israel

sunting

Menurut pakar Nur Masalha, di Israel ada politik penyangkalan seputar Nakba, yang diwujudkan dalam pernyataan tokoh-tokoh Israel seperti Golda Meir, dengan contoh narasi "Tidak ada yang namanya orang Palestina" (There was no such things as Palestinians).[15] Masalha menegaskan bahwa “penyangkalan merupakan komponen utama narasi Zionis mengenai apa yang terjadi pada tahun 1948.”[6]

Mariko Mori melakukan studi analisis mengenai arus utama historiografi Israel mengenai pembentukan kewarganegaraan Israel. Dari hasil kajiannya, ia tidak menemukan pembahasan yang memadai mengenai "kemunculan masalah pengungsi Palestina dan pemusnahan lebih dari 400 desa Palestina pada tahun 1948, sehingga dengan sengaja menyangkal ingatan orang Palestina tentang Nakba."[8] Ia menemukan bahwa narasi yang membenarkan pengusiran dan pelarian warga Palestina pada tahun 1948 didasarkan pada sejumlah asumsi seperti: Palestina adalah sebuah "tanah yang tidak digarap", "tandus, tidak berpenghuni"; bahwa orang-orang Arab Palestina adalah bagian dari "bangsa Arab yang lebih besar" dan bukan sebuah bangsa, sehingga membantah nasionalisme Arab Palestina; bahwa orang-orang Arab Palestina adalah “perusuh dan pogrom ”; bahwa orang-orang Yahudi pulang ke negeri asal mereka (negasi dari Diaspora); dan bahwa perpindahan penduduk adalah "solusi universal yang dapat dibenarkan terhadap pertanyaan-pertanyaan minoritas".[5]


Sejarawan Michael R. Fischbach mendefinisikan penyangkalan Nakba sebagai "kontra narasi Nakba" dengan peran tertentu dalam kehidupan publik Israel dan kebijakan negara—dengan fungsi utama sebagai alat untuk menolak seruan kebijakan reparasi—yang terdiri dari hal-hal berikut: [3]

  • tema "perang adalah perang" yang mana pengusiran dan eksodus merupakan sebuah hal yang disesalkan namun merupakan efek samping tidak bisa dihindari dari upaya pertahanan diri Israel dari serangan pasukan Arab, dan bahwa Pemerintahan Sementara Israel tidak bersalah sepanjang tidak memiliki "rencana induk" pengusiran, namun tidak mempertimbangkan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan berikutnya yang menghalangi kembalinya pengungsi dalam mempertimbangkan tanggung jawab negara.
  • tema "pertukaran populasi" di mana orang-orang Yahudi dan Arab, yang dipandang sebagai bagian dari dunia Arab yang lebih luas, melakukan perpindahan penduduk dan properti bersama yang tidak dapat dibatalkan (misalnya orang-orang Yahudi yang meninggalkan Irak juga meninggalkan properti mereka), dan bahwa pemukiman kembali orang-orang Yahudi di Israel juga terjadi pada sebuah biaya besar.
  • klaim bahwa Israel pada umumnya bersedia memberikan kompensasi, namun hal ini menunggu mekanisme internasional, yang akan membagi dana tersebut, namun tidak memasukkan kemungkinan ganti rugi individual, misalnya melalui restitusi, sehubungan dengan Israel yang meloloskan Hukum Properti yang Ditinggalkan dan negosiator Palestina tidak menentang gagasan dana internasional selama KTT Camp David tahun 2000 (yang berakhir tanpa kesepakatan); jika "penyelesaian massal" tersebut dilaksanakan, Israel akan membayar sejumlah uang, dan dibebaskan dari kewajiban lebih lanjut yang merupakan klausul "berakhirnya klaim", menutup semua jalur hukum bagi warga Palestina yang masih memiliki klaim atau tidak. ingin menjadi bagian dari skema tersebut.
  • keyakinan bahwa satu-satunya utang Israel kepada para pengungsi adalah kompensasi harta benda, dan bukan reparasi moral apa pun selain pernyataan penyesalan.

Pada tahun 2003, Ilan Gur-Ze'ev dan Ilan Pappé menulis bahwa baik orang Israel maupun Palestina menganggap diri mereka sendiri " sebagai korban tunggal dan sama sekali tidak mengakui adanya viktimisasi " dari kelompok lain. Di pihak Palestina, diskursus beralih dari “penyangkalan total” ke arah meremehkan “makna moral” Holocaust. Pihak Israel sendiri, berdiskursus bahwa “Zionisme bersikeras menyangkal Nakba dan menolak mengakui peran Israel dalam konflik Palestina, dan bersikeras bahwa Israel tidak membuat Palestina sebagai korban.", dan bahwa "tidak ada yang membenarkan...penolakan Israel terhadap tanggung jawab besar".[16]

Nadim N. Rouhana dan Areej Sabbagh-Khoury pada tahun 2017 menulis "sampai pertengahan 1990-an, (pembicaraan Nakba) dibungkam dalam 'bidang politik resmi' masyarakat Palestina di Israel...oleh negara Israel dan institusi pemerintahannya". Mereka berpendapat bahwa "sulit untuk melebih-lebihkan pentingnya penyangkalan Nakba di Israel", yang mana "kekhawatiran Israel terhadap legitimasinya sendiri merupakan faktor utama" dalam menekankan penyangkalan Nakba, yang mengarah pada "ingatan resmi negara Israel di mana ingatan Palestina dihilangkan dari geografi dan sejarah negaranya" demi meneguhkan kepentingan narasi Yahudi atau Zionis. Rouhana dan Sabbagh-Khoury mengutip Undang-Undang Nakba tahun 2011 sebagai “contoh paling menjelaskan” dari pemerintah Israel yang menafsirkan meningkatnya “kesadaran” warga Palestina terhadap Nakba sebagai “ancaman” dan mengambil langkah untuk memeranginya.[17] Bashir Bashir dan Amos Goldberg sepakat bahwa UU Nakba tahun 2011 merupakan bentuk penyangkalan Nakba. [18]

Dalam historiografi Israel

sunting

Saleh Abd al-Jawad berpendapat bahwa penyangkalan Nakba didukung oleh kajian historiografi Israel, karena Israel telah "mengadopsi penyangkalan terhadap Nakba, sebuah penyangkalan terhadap luasnya pembersihan etnis yang dilakukan di Palestina". [7]

Tahun 1980-an kalangan akademisi Israel mulai berminat kembali untuk melakukan kajian ulang terhadap historiografi Nakba, sebagian disebabkan oleh deklasifikasi arsip Israel yang berkaitan dengan perang tahun 1948. [b] Pada akhir tahun 1980-an, penyangkalan terhadap Nakba mulai dikritik dan muncul gerakan penulisan ulang sejarah Israel oleh para Sejarawan Baru. Penulisan ini mengubah keyakinan yang sudah mapan mengenai Perang Arab-Israel tahun 1948 dan eksodus orang Palestina.[8] Sejak saat itu, sejumlah besar karya tulis dengan tujuan "mengungkap masa lalu" telah muncul dari masyarakat Yahudi Israel. Selain itu, telah muncul karya dari sejarawan seperti Ilan Pappé yang "mengganggu gambaran yang telah dilukis oleh para pendiri negara Israel dengan penuh semangat untuk melembagakan hegemoni deskripsi mereka tentang apa yang terjadi pada tahun 1948."[9]

Ahmad H. Sa'di, seorang pakar ilmu sosial, menjelaskan "tiga cara penyangkalan tanggung jawab moral atas Nakba"; karyanya dikutip oleh sosiolog Ronit Lentin dalam kajian mengenai tiga strategi penolakan Nakba oleh Israel dan Zionis.[19][20]

Modus pertama penyangkalan Nakba adalah: "menyangkal atau menyembunyikan kejadian kekerasan yang terdokumentasi secara historis", mencoba "menghapus orang-orang Palestina dari catatan sejarah" Israel, baik sebelum maupun pada tahun 1948, dan melanggengkan "mitos 'tanah kosong tanpa penduduk untuk penduduk yang tidak memiliki rumah'"; Sa'di mendapatkan modus tersebut setelah menyoroti karya Joan Peters tahun 1984, From Time Immemorial, dan karya Alan Dershowitz tahun 2003, The Case for Israel. Dalam karyanya, Peters mengklaim bahwa para pengungsi adalah pekerja imigran Arab, dan Dershowitz mengajukan argumen yang serupa.[19][20]

Modus penyangkalan Nakba yang kedua adalah bentuk wacana yang mengakui terjadinya Nakba namun "menyangkal bahwa hal Nakba memiliki beban moral atau praktis", serta "hubungan yang dilebih-dilebihkan antara masyarakat Palestina dan Nazi"; Sa'di mengutip tulisan Ilan Gur-Ze'ev tahun 2003 mengenai "keterlibatan Arab dalam tentara Nazi"; Sa'di menafsirkan hal ini sebagai penghilangan dinamika relasi “korban-pelaku” antara warga Palestina dan Israel dengan menempatkan mereka pada “landasan moral” yang sama.[19][20]

Modus ketiga penyangkalan Nakba ialah "menghadapi beban moral Nakba Palestina tanpa menunjukkan penyesalan"; Lentin menulis bahwa hal dicontohkan dengan baik oleh hasrat sejarawan Benny Morris pada tahun 2004 agar Nakba tahun 1948 seharusnya dapat disempurnakan. Morris menyatakan: "pembersihan etnis dapat dibenarkan...ketika alternatifnya adalah antara [melakukan] pembersihan etnis dan [menderita] genosida, genosida terhadap bangsa Anda sendiri, saya lebih memilih pembersihan etnis". Sa'di memberikan kutipan lain dari Morris pada tahun 2004 tentang strategi ini: "kebaikan akhir menjadi justifikasi tindakan keras dan kejam yang dilakukan sepanjang sejarah."[19][20]

Dalam wacana publik kontemporer

sunting

Maha Nassar mengutip penyangkalan Nakba sebagai fitur wacana Amerika tentang Palestina.[4] Ahmad H. Sa'di mengemukakan pandangan bahwa penyangkalan Nakba adalah wacana Yahudi pendukung Israel.[21]

Seiring berjalannya waktu, narasi seputar tahun 1948 menjadi semakin sulit untuk dipertahankan. Sa'di memandang, strategi pertama Zionis adalah mengangkat kembali "mitos lama" mengenai "tanah tanpa rakyat untuk rakyat tanpa tanah." Karya Alan Dershowitz tahun 2003, The Case for Israel, memberikan contoh mengenai hal strategi ini,[22] dengan mengacu pada buku From Time Immemorial tahun 1984. Buku ini merupakan karya pseudo-historis tulisan jurnalis Joan Peters yang menyatakan bahwa mayoritas pengungsi Palestina bukanlah penduduk asli Palestina, dan perang Palestina tahun 1948 membuka jalan bagi mereka untuk kembali ke asal.[22] Melalui penyangkalan terhadap keberadaan pihak lain di tanah Palestina yang lugas ini, wacana ini membatalkan dialektika anti kolonialisasi Israel di Palestina.[22]

Di kalangan masyarakat sipil Israel, terdapat gerakan akar rumput yang menentang penyangkalan terhadap Nakba. Organisasi nirlaba Zochrot didirikan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu Nakba dengan menentang penyangkalan tersebut melalui aksi peringatan langsung,[11] seperti dengan menyelenggarakan tur ke desa-desa Palestina yang kosong imbas dari Nakba, memasang penanda di situs-situs yang hancur akibat Nakba, dan menyelenggarakan festival film dengan topik Nakba secara tahunan.[11] Pada tahun 2007 Zochrot mengadakan parade di Tel Aviv bertepatan dengan hari kemerdakaan Israel "untuk memperingati pengakuan hak kembali ", parade tersebut berhenti di sepanjang jalan di lingkungan yang dibangun di atas bekas desa-desa Palestina.[11]

Ronit Lentin, pakar sosiologi asal Israel menulis bahwa "ingatan Nakba" menghadapi "tahun-tahun penyangkalan dan pembungkaman oleh Israel." Namun, setelah arsip mengenai perang 1948 dan isu terkait tersedia dan para Sejarawan Baru melanjutkan kajian mereka, Lentin menemukan pada tahun 2010 bahwa "banyak, meskipun jelas tidak semua, orang Yahudi Israel" menerima bahwa Nakba terjadi, meskipun mayoritas orang Yahudi Israel menganggap Nakba sebagai " kejahatan yang diperlukan." Sikap ini digambarkan oleh Lentin sebagai bentuk lain dari penyangkalan Nakba, "menangani beban moral Nakba Palestina tanpa rasa menyesal."[20] Yehouda Shenhav menulis pada tahun 2019 bahwa meskipun ada "demokratisasi parsial dalam historiografi Israel dalam beberapa dekade terakhir, mayoritas orang Israel masih menyangkal Nakba". [23]

Yifat Gutman dan Noam Tirosh, dalam tulisan yang diterbitkan di Law and Social Inquiry, menyimpulkan bahwa selama tahun 2010-an, para pendukung negara Israel dan jurnalis dari kalangan politik sayap kanan mempopulerkan istilah "Nakba Yahudi"—yang menurut Gutman dan Tirosh memunculkan kesetaraan palsu antara Nakba dan Eksodus Yahudi dari dunia Islam.[24] Akademisi Yasmeen Abu-Laban dan Abigail B. Bakan, dalam tulisan mereka di The Political Quarterly, mengatakan bahwa menyamakan Nakba dengan migrasi Yahudi Mizrahi ke Israel merupakan bentuk penyangkalan Nakba.[25]

Sejarawan Bashir Bashir dan Amos Goldberg pada tahun 2018 menulis bahwa "narasi nasional yang dikembangkan oleh arus utama Zionis dan Palestina" telah "menyangkal atau meremehkan penderitaan pihak lain demi melakukan validasi atas klaimnya sendiri", dengan implikasi bahwa kedua pihak saling menyangkal secara bersamaan narasi Nakba dan Holocaust. Mereka menegaskan: "Mungkin sebagian besar orang Yahudi di Israel, mengklaim bahwa Nakba bukanlah sebuah peristiwa sama sekali", dan dengan contoh munculnya publikasi tahun 2011 dengan judul Nakba-Nonsense yang disusun oleh organisasi Im Tirtzu. Organisasi tersebut digambarkan oleh Bashir dan Goldberg melakukan klaim bahwa rakyat Palestina tidak pernah eksis sebagai suatu bangsa dan hanya rakyat Palestina dan negara-negara Arab yang bertanggung jawab atas penderitaan dan kesulitan yang ditanggung oleh rakyat Palestina sebelum, selama dan setelah tahun 1948.[26]

Catatan

sunting
  1. ^ Yiftachel 2009, hlm. 11: "Denial of the nakba, as the Palestinians term their defeat in the 1948 war, the loss of their would-be state and the flight of refugees, has become a core Zionist value."
  2. ^ Al-Hardan 2016, hlm. 44–46: "Concurrent with these developments, the renewed intellectual interest in the Nakba in the 1980s also resulted from the Israeli government's partial declassification of archives that pertain to the war on the Palestinians. This spurred an ideologically and methodologically varied group of so-called Israeli 'new historians' and 'sociologists' to reconsider the received Zionist narratives about what happened in Palestine during the Nakba."

Kutipan

sunting
  1. ^ Ben Salem 2021, hlm. 1–18.
  2. ^ The Times of Israel 2023.
  3. ^ a b Fischbach 2021, hlm. 183–200.
  4. ^ a b c Nassar 2023.
  5. ^ a b Mori 2009, hlm. 95–97.
  6. ^ a b Masalha 2009, hlm. 39, 43.
  7. ^ a b Slyomovics 2007, hlm. 28.
  8. ^ a b c Mori 2009, hlm. 89.
  9. ^ a b Sa'di 2007, hlm. 303.
  10. ^ Pappé 1998, hlm. 14–23.
  11. ^ a b c d e Kapshuk & Strömbom 2021.
  12. ^ Shalhoub-Kevorkian 2015, hlm. 39.
  13. ^ Asser 2010.
  14. ^ Masalha 2012.
  15. ^ Masalha 2009, hlm. 39, 78.
  16. ^ Gur-Ze'ev & Pappé 2003.
  17. ^ Rouhana & Sabbagh-Khoury 2017.
  18. ^ Bashir & Goldberg 2018.
  19. ^ a b c d Sa'di 2007, hlm. 287, 304–309.
  20. ^ a b c d e Lentin 2010, hlm. 1–2, 10–11, 90.
  21. ^ Sa'di 2007, hlm. 387.
  22. ^ a b c Sa'di 2007, hlm. 304–305.
  23. ^ Shenhav 2019, hlm. 48.
  24. ^ Gutman & Tirosh 2021.
  25. ^ Abu-Laban & Bakan 2022, hlm. 511–512.
  26. ^ Bashir & Goldberg 2018, hlm. 1–42.

Sumber

sunting

Buku dan jurnal

sunting

Media massa

sunting

Bacaan lanjut

sunting

Pranala luar

sunting