Pemisahan Belgia

perkiraan terpecahnya Belgia menjadi Wallonia dan Flandria

Pemisahan Belgia merupakan situasi hipotetikal yang didiskusikan oleh media-media Belgia dan internasional. Mereka membayangkan pemisahan Belgia berdasarkan perbedaan linguistik antara Komunitas Flandria (Flandria) dan Komunitas Prancis di Belgia (Walonia). Skenarionya adalah masing-masing komunitas dibayangkan menjadi negara merdeka atau bergabung ke Belanda dan Prancis.[1][2][3][4] Kedua komunitas tersebut telah mendapatkan tingkat otonomi yang besar di dalam federasi Belgia.

Yang menjadi pertanyaan rumit dalam pemisahan tersebut adalah mengenai status Brussel dan Komunitas Berbahasa Jerman di Belgia. Brussel sendiri merupakan sebuah wilayah bilingual yang otonom dan Komunitas Berbahasa Jerman merupakan komunitas minoritas di Belgia.

Latar Belakang sunting

Wilayah yang saat ini menjadi bagian dari negara Belgia, Belanda dan Luksemburg modern secara kolektif disebut dengan negara-negara dataran rendah. Wilayah tersebut muncul pada akhir Abad Pertengahan sebagai wilayah-wilayah kekuasaan (fief) yang masih terkait dengan Kerajaan Prancis dan Kekaisaran Romawi Suci. Bagian selatan dari wilayah tersebut yang meliputi Belanda Selatan, Keuskupan-Kepangeranan Liège, Kepangeranan Stavelot-Malmedy, dan Kadipaten Bouillon telah terbagi baik secara politik maupun linguistik. Pembagian politik wilayah tersebut tidaklah sesuai dengan pembagian linguistiknya sehingga terdapat beberapa wilayah kekuasaan yang terbagi menjadi wilayah Frankofon dan Germania. Walaupun begitu, aristokrat berkuasa atas wilayah tersebut yang biasanya menggunakan bahasa yang tidak sama dengan penduduk setempat tidak mengambil pusing perbedaan bahasa tersebut. Setelah pemisahan diri Republik Belanda pada tahun 1581, penggunaan Bahasa Prancis oleh kalangan kelas atas semakin meningkat di wilayah Belanda Selatan dikarenakan pengaruh dari bangsawan Habsburg dan invansi Prancis. Penggunaan Bahasa Prancis tersebut tidak hanya digunakan di dalam pengadilan tetapi juga digunakan dalam bidang administrasi dan politik.

Pertentangan antara penutur Bahasa Prancis dengan penutur Bahasa Belanda meningkat setelah kemerdekaan Belgia pada tahun 1830. Saat itu, penduduk Belanda Selatan memberontak terhadap hegemoni baru dari provinsi-provinsi wilayah utara Kerajaan Bersatu Belanda. Belgia yang baru merdeka ini menjadi negara penyangga antara Prancis dan Belanda yang terdiri atas provinsi-provinsi yang penduduknya merupakan penutur Bahasa Prancis maupun Bahasa Belanda. Saat itu, Bahasa Prancis menjadi satu-satunya bahasa resmi yang digunakan. Penduduk penutur Bahasa Belanda mulai menuntut hak yang sama pada akhir abad ke-19 tetapi baru mulai diterima secara bertahap di abad ke-20. Baru pada tahun 1967 Konstitusi Belgia berbahasa Belanda disahkan.[5] Sejak kemerdekaan, ketimpangan sosio-ekonomi telah memicu perpecahan antara kedua komunitas tersebut.

Mulai tahun 1960-an, pembagian wilayah dibuat berdasarkan perbedaan linguistik. Hasilnya, kaum minoritas dibeberapa wilayah mengklaim kehilanggan hak-haknya dalam bidang pemerintahan dan pelayanan publik. Dalam bidang politik, selain perbedaan ideologi kiri dan kanan, terjadi juga perbedaan berdasarkan linguistik sehingga menyebabkan sistem kepartaian ganda yang mempersulit pembentukan koalisi di tingkat nasional. Krisis pembentukan pemerintahan koalisi paska pemilu tahun 2007, ditambah dengan permasalahan distrik elektoral Brussels-Halle-Vilvoorde yang belum terselesaikan dan bangkitnya partai-partai politik ekstremis, telah menambahkan ketegangan pada masalah ini. Namun, mayoritas rakyat Belgia tetap mendukung untuk tetap bersatu.[6] Pendukung persatuan (unitaris) mengklaim bahwa monarki, institusi nasional yang kuat, dan kepentingan geopolitik tentang linguistik dan etnis di Brussel merupakan elemen pemersatu Belgia. Sementara itu, separatis mengklaim bahwa faktor-faktor tersebut ditambah hutang negara yang cukup besar merupakan elemen yang mendukung bahwa perpecahan tidak terhindarkan. Beberapa pengamat politik mengemukakan pendapat bahwa pemisahan Belgia dapat menjadi pukulan bagi Uni Eropa sebagai contoh di mana beragam budaya bekerja sama.[7]

Nasionalisme dan regionalisme sunting

Nasionalisme Belgia sunting

Paham Nasionalisme Belgia mulai muncul pada akhir abad ke-19 sebagai cara untuk mengatasi kesenjangan berbasis etnis dan bahasa serta untuk menciptakan sebuah budaya nasional. Sejarawan Henri Pirenne menegaskan bahwa identitas Belgia tidak di identifikasikan berdasarkan ras, etnis, maupun bahasa melainkan lebih kepada komunitas peradaban Belgia.[8] Para pendukung pemisahan Belgia berpendapat bahwa upaya sinkronasi untuk membentuk identitas dan budaya nasional tidak mampu mencegah persaingan etno-linguistik tersebut.

Pergerakan Flandria sunting

Bahasa Prancis merupakan satu-satunya bahasa resmi Belgia hingga tahun 1898 meskipun bangsa Flandria didominasi oleh penutur Bahasa Belanda. Penolakan pemerintah untuk mengakui Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi menyebabkan permusuhan antara komunitas Flandria dengan para borjuis yang berbahasa Prancis. Saat itu, para borjuis merupakan kelompok yang memegang kekuatan politik dan ekonomi. Permusuhan tersebut menyebabkan munculnya pergerakan Flandria. Pergerakan Flandria berawal sebagai organisasi literasi dan budaya tetapi menjadi sebuah pergerakan politik yang menyerukan pengakuan hukum terhadap Bahasa Belanda dan emansipasi sosial komunitas Flandria.

Undang-undang kesetaraan tahun 1898 menjadikan Bahasa Belanda diakui sebagai bahasa resmi Belgia. Walau demikian, hal tersebut tidak menjadikan Bahasa Belanda sebagai satu-satunya bahasa resmi Flandria hingga tahun 1921.[8][9] Saat itu, Prancisasi Brussel sedang dalam tahap perluasan penuh. Hingga saat ini, Bahasa Prancis tetap menjadi bahasa aristokrasi.

Catatan sunting

  1. ^ "Belgium faces a crisis" (PDF). New York Times. May 22, 1900. Diakses tanggal July 12, 2008. 
  2. ^ "Belgium's 'AA+' rating, stable outlook unaffected by political stalemate — Fitch". Forbes. April 12, 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-06-04. Diakses tanggal 2008-06-20. Fitch believes while the eventual partition of Belgium has always been a possibility, it is unlikely to happen over the medium-term. It added that the most likely scenario is that hard-fought negotiation will result in constitutional changes that further decentralise the Belgian state. 
  3. ^ Elizabeth Bryant (October 12, 2007). "Divisions could lead to a partition in Belgium". San Francisco Chronicle. Diakses tanggal May 28, 2008. 
  4. ^ Dominic Hughes (July 15, 2008). "Analysis: Where now for Belgium?". BBC News Online. Diakses tanggal July 16, 2008. 
  5. ^ Kris Deschouwer (January 2004). "Ethnic structure, inequality and governance of the public sector in Belgium" (PDF). United Nations Research Institute for Social Development (UNRISD). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal June 14, 2007. Diakses tanggal May 22, 2007. 
  6. ^ "België moet blijven, maar niet zoals nu". De Standaard Online (dalam bahasa Dutch). November 9, 2007. Diakses tanggal November 28, 2007. 
  7. ^ Cendrowicz, Leo (June 30, 2010). "No Love Lost: Is Belgium About to Break in Two?". Time. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-08-17. Diakses tanggal July 4, 2010. 
  8. ^ a b Deam, Lisa. "Flemish versus Netherlandish: A Discourse of Nationalism". Renaissance Quarterly, Volume 51, No. 1, 1998. http://www.thefreelibrary.com/Flemish+versus+Netherlandish:+a+discourse+of+nationalism-a020602490 . "Quoted in Hasquirt [sic; error for "Hasquin" in bibliography] 22: 'En Belgique, il y a des partis et des provinces, et point de nation. Cornme une tente dressee pour une nuit, la monarchie nouvelle, apres nous avoir abrites contre la ternpete, disparaitra sans laisser de traces.' All English translations of French quotations are my own."
  9. ^ John Fitzmaurice (1996). The Politics of Belgium: A Unique Federalism. C. Hurst & Co. hlm. 30. ISBN 978-1-85065-209-0. 

Pranala luar sunting