Imamat kudus

(Dialihkan dari Ordo Suci)

Di dalam beberapa denominasi Kristen, imamat kudus (bahasa Latin: sacri ordines) adalah jabatan pelayanan-bertahbisan uskup, imam (presbiter), dan diakon, sekaligus salah satu sakramen atau ritus penahbisan seseorang menjadi pemegang suatu jabatan pelayanan. Denominasi-denominasi Kristen yang mengakui jabatan pelayanan-bertahbisan uskup, imam, dan diakon adalah Gereja Katolik, Gereja Ortodoks Timur, Gereja-Gereja Ortodoks Oriental, Gereja Asyur, gereja Anglikan, gereja Katolik Lama, gereja-gereja Katolik Mandiri, dan beberapa gereja Lutheran.[1] Kecuali gereja-gereja Lutheran dan Anglikan, Gereja-Gereja tersebut memandang tahbisan sebagai salah satu sakramen (sacramentum ordinis). Sehubungan dengan hakikat sakramental dari tahbisan, tradisi Katolik-Angli di lingkungan Gereja Anglikan cenderung sehaluan dengan Gereja Katolik.

Penahbisan Yohanes dari Matha

Denominasi-denominasi Kristen menganut pandangan yang beragam mengenai imamat kudus. Di gereja Anglikan dan beberapa gereja Lutheran, pelimpahan jabatan pelayanan tradisional uskup, imam, dan diakon dilakukan melalui ritus-ritus penahbisan, tetapi sejauh mana gereja-gereja tersebut memandang tahbisan bersifat sakramental masih menjadi pokok perdebatan internal. Denominasi-denominasi Baptis tergolong denominasi Kristen yang tidak menganggap pelayanan jemaat bersifat sakramental[2] dan sudah barang tentu tidak memaknainya sebagai "imamat kudus". Secara historis, kata ordo dalam bahasa Latin mengacu kepada lembaga kemasyarakatan atau badan usaha yang memiliki tatanan kedudukan berjenjang, dan kata ordinatio berarti memasukkan secara sah ke dalam suatu ordo, sementara kata sacro (kudus) mengacu kepada Gereja. Berdasarkan konteks tersebut, dapat dipahami bahwa imamat kudus dikhususkan bagi pelayanan di dalam Gereja. Jabatan-jabatan lain semisal paus, batrik, kardinal, monsinyur, uskup agung, arkimandrit, arkipresbiter, protopresbiter, hieromonakhos, protodiakon, maupun arkidiakon bukanlah jabatan sakramental melainkan pelayanan khusus.

Kristen Timur

sunting
 
Pelimpahan imamat suci presbiter kepada seorang diakon melalui penumpangan tangan (kheirotonia)
 
Pelimpahan imamat suci diakon kepada seorang subdiakon melalui kheirotonia

Gereja Ortodoks Timur menganggap tahbisan imamat kudus (disebut kheirotonia, "penumpangan tangan") sebagai salah satu misteri suci (sakramen). Meskipun semua misteri suci lainnya boleh diselenggarakan seorang presbiter, penahbisan hanya boleh dilaksanakan oleh seorang uskup, dan penahbisan seseorang menjadi uskup hanya boleh dilaksanakan bersama-sama oleh beberapa orang uskup. Kheirotonia biasanya dilaksanakan dalam perayaan Liturgi Suci.

Para rasul diamanatkan untuk pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil, membaptis orang-orang yang percaya dalam nama Tritunggal Mahakudus.[3] Di dalam Gereja Perdana, orang-orang yang memimpin jemaat adalah para pengganti rasul-rasul yang disebut episkopos (uskup) dan presbiteros (presbiter). Mereka ditahbiskan menjadi pemimpin jemaat melalui penumpangan tangan, dan menurut teologi Ortodoks Timur, menjalin suatu tautan organik yang hidup dengan para rasul, dan melalui para rasul dengan Yesus Kristus sendiri.[4]

Gereja Ortodoks Timur juga mengenal tahbisan minor (disebut kheirotesia, "peletakan tangan") yang dilaksanakan di luar perayaan Liturgi Suci, biasanya oleh seorang uskup, tetapi para arkimandrit tertentu di biara-biara stauropegion (langsung dibawahi Kepala Gereja atau Sinode Kudus) dapat pula menyelenggarakan kheirotesia kepada anggota-anggota paguyuban mereka.

Seorang uskup adalah penghimpun dana keuskupan dan bejana kasih karunia yang hidup, penyalur energeya (kuat-kuasa) Roh Kudus ke seluruh Gereja.[4] Uskup ditahbiskan melalui penumpangan tangan beberapa orang uskup. Atas persetujuan beberapa rekan uskup, seorang uskup dapat menahbiskan seseorang menjadi uskup dalam situasi darurat, misalnya pada masa-masa aniaya. Upacara penahbisan uskup dilangsungkan menjelang perayaan Liturgi Suci, karena selain dapat menyelenggarakan Misteri Ekaristi, seorang uskup dapat pula menahbiskan orang menjadi presbiter atau diakon. Sebelum Liturgi Suci dimulai, seorang calon uskup, di tengah-tengah gereja, di hadapan para uskup yang akan melaksanakan penahbisan, mengutarakan penerimaannya terhadap doktrin-doktrin iman Kristen Ortodoks secara terperinci, maupun kesediaannya untuk mematuhi kanon-kanon para rasul dan konsili-konsili, untuk mematuhi tipikon dan adat-istiadat Gereja Ortodoks, dan untuk menaati kewenangan gerejawi. Sesudah Perarakan Kitab Suci, arkipresbiter dan arkidiakon membimbing calon uskup menghampiri Pintu Gerbang Raja, tempat para uskup penahbis sudah menanti, kemudian berlutut sempurna (dengan kedua lutut) di hadapan altar. Kitab Injil ditumpangkan ke atas kepalanya, dan para uskup penahbis menumpangkan tangan ke atas Kitab Injil, lalu doa penahbisan dibacakan oleh uskup tertua. Sesudah itu, uskup yang baru ditahbiskan menduduki sintranon (takhta uskup di ruang mezbah) untuk pertama kalinya.[5] Biasanya uskup yang baru ditahbiskan akan menahbiskan seorang presbiter dan seorang diakon dalam Liturgi Suci yang dirayakan seusai penahbisannya.

Seorang presbiter hanya menjalankan pelayanan menurut perkenanan uskupnya. Seorang uskup melimpahkan wewenang menjalankan pelayanan di wilayah keuskupannya kepada seorang presbiter dengan menyerahkan minyak krisma dan taplak ekaristi. Uskup berhak mencabut wewenang tersebut dan menuntut minyak krisma dan taplak ekaristi dipulangkan kepadanya. Upacara penahbisan presbiter dilangsungkan sebelum Anafora (Doa Syukur Agung), agar yang bersangkutan dapat merayakan Ekaristi begitu selesai ditahbiskan.[5] Pada Perarakan Roti dan Anggur, calon presbiter membentangkan aër (kain tudung piala) di atas kepala (alih-alih disampirkan pada pundak seperti diakon), lambang lepas-jabatan diakon, dan menempatkan diri paling belakang dalam arak-arakan, di ujung barisan ganda presbiter. Sesudah aër diambil dari kepalanya untuk digunakan menutupi piala dan diskos, sebuah kursi ditempatkan bagi uskup di sudut timur laut mezbah (altar) Dua orang diakon mendekati calon presbiter yang sampai saat itu berdiri sendiri di tengah gereja, membimbingnya merukuk ke barat (ke arah umat) dan ke timur (ke arah rohaniwan), mohon persetujuan mereka dengan berkata "perintahkanlah," lalu membimbingnya melewati Pintu Gerbang Raja ke ruang mezbah. Arkidiakon selanjutnya mohon persetujuan uskup dengan berkata "perintahkanlah ya tuan yang tersuci," lalu calon presbiter dituntun seorang presbiter mengitari mezbah sebanyak tiga kali. Saat mengitari mezbah, calon imam mencium sudut-sudut mezbah setiap kali akan melewatinya, demikian pula epigonation dan tangan kanan uskup, serta meniarap di hadapan mezbah pada setiap putaran. Calon presbiter selanjutnya diantar ke sudut tenggara mezbah dan berlutut sempurna sambil menyandarkan dahinya pada sudut mezbah. Uskup penahbis kemudian menumpangkan omoforion dan tangan kanannya di atas kepala calon presbiter sambil membaca doa Kheirotonia dengan lantang, lalu membaca dua doa kheirotonia lainnya dalam hati, sementara seorang diakon mendaraskan litani yang ditanggapi rohaniwan maupun umat dengan melantunkan "Tuhan kasihanilah kami". Uskup membimbing presbiter yang baru ditahbiskan menuju Pintu Gerbang Raja dan memperkenalkannya kepada umat, kemudian mengenakan kepadanya perangkat pakaian ibadat khusus untuk presbiter, helai demi helai. Setiap kali mengenakan satu helai pakaian ibadat, umat melantunkan aksios (layak). Seusai Epiklesis, uskup menyerahkan sekerat Anak Domba (hosti) seraya berkata,[6]

Terimalah engkau prasetia ini. Peliharalah agar tetap utuh dan tidak bercacat sampai hembusan napas terakhir, karena engkau harus mempertanggungjawabkannya pada waktu kedatangan kali kedua yang dahsyat dari Tuhan, Allah, dan Juru Selamat kita yang mulia, Yesus Kristus.

Seorang diakon tidak dibenarkan menyelenggarakan sakramen apa pun, dan tidak dibenarkan menjalankan pelayanan liturgis apa pun seorang diri. Ia hanya melayani selaku asisten presbiter, bahkan tidak dibenarkan mengenakan pakaian ibadat tanpa lebih dahulu diberkati presbiter. Penahbisan seseorang menjadi diakon dilangsungkan sesudah Anafora (Doa Syukur Agung), karena peran diakon bukanlah menyelenggarakan Misteri Kudus melainkan hanya melayani.[5] Upacara penahbisan diakon sama dengan upacara penahbisan presbiter, hanya saja calon diakon diperkenalkan kepada umat dan diantar ke Pintu Gerbang Raja oleh dua orang subdiakon, yakni rekan-rekan sejawatnya, sebagaimana dua orang diakon mengantar seorang calon presbiter. Ia dibimbing mengitari mezbah sebanyak tiga kali oleh seorang diakon, kemudian berlutut sebelah kaki selama doa Kheirotonia dibacakan. Sesudah dikenakan pakaian ibadat khusus untuk diakon dan diserahi kipas liturgis (ripidion), ia dibimbing ke sisi mezbah untuk perlahan-lahan mengipasi Persembahan Kudus dengan ripidion.

Katolik

sunting
 
Penahbisan imam Katolik ritus Latin, kartu doa dari tahun 1925

Jabatan-jabatan pelayanan Gereja Katolik terdiri atas uskup, diakon, dan presbiter, yang dalam bahasa Latin disebut sacerdos.[7] Imamat rohaniwan tertahbis dan imamat am (imamat segenap umat terbaptis) berbeda dalam fungsi dan hakikat.[8]

Imam dibedakan dari presbiter. Di dalam Kitab Hukum Kanonik tahun 1983, "kata Latin sacerdos dan sacerdotium secara umum merujuk kepada imamat pelayanan yang sama-sama diemban para uskup dan para presbiter. Kata presbyter, presbyterium, dan presbyteratus merujuk kepada para imam [sesuai arti kata tersebut di dalam bahasa Indonesia] dan para presbiter".[9]

Kendati defisini hidup bakti tidak menyiratkan makna rohaniwan maupun awam,[10] para rohaniwan boleh menjadi anggota berbagai lembaga hidup bakti yang ada, dan boleh pula menjalani hidup selaku imam-imam praja (diosesan).[11]

Lutheran

sunting

Umat Lutheran menolak pemahaman imamat kudus menurut Gereja Katolik lantaran beranggapan bahwa sacerdotalisme tidak didukung Alkitab. Martin Luther mengajarkan bahwa tiap-tiap orang pribadi diharapkan untuk menunaikan tugas yang sudah ditetapkan Allah baginya di dalam kehidupan sehari-hari. Isilah modern "vokasi", dengan makna kegiatan atau pekerjaan yang ditekuni sehari-hari, pertama kali digunakan oleh Martin Luther.[12] Katekismus Kecil Luther juga memuat pengajaran tentang imamat kudus, tetapi tidak dibatasi pada uskup-uskup, gembala-gembala jemaat, pengkhotbah-pengkhotbah, jawatan-jawatan pemerintah, warga negara, suami-suami, istri-istri, anak-anak, karyawan-karyawan, majikan-majikan, pemuda-pemudi, dan janda-janda.[13] Meskipun demikian, Konkordia menyebutkan pula bahwa, "akan tetapi jika tahbisan dipahami berlaku atas pelayanan dunia, maka kami tidak segan menyebut tahbisan sebagai sakramen. Sebab pelayanan dunia mengemban titah dan janji-janji mulia Allah, Roma 1:16: Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya. Demikian pula, Yesaya 55:11: Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku; ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki. ...Jika tahbisan dipahami seperti ini, maka tidak akan pula kami menolak menyebut penumpangan tangan sebagai sakramen. Sebab Gereja mengemban titah untuk menetapkan pelayan-pelayan, yakni titah yang seyogianya sangat membahagiakan hati kami, karena kami tahu bahwa Allah menyetujui pelayanan ini, dan hadir di dalam pelayanan [bahwasanya Allah akan berbicara dan bekerja melalui manusia dan orang-orang yang sudah dipilih oleh manusia]."[14]

Anglikan

sunting

Gereja-gereja Anglikan yakin bahwa uskup-uskup mereka berada di dalam jalur suksesi apostolik, meskipun ada sejumlah perbedaan pandangan mengenai perlu tidaknya tahbisan dianggap sebagai sakramen. Menurut Pasal-Pasal Agama, hanya pembaptisan dan perjamuan kudus yang terhitung sebagai sakramen menurut injil, sementara ritus-ritus lain "yang lazim disebut sakramen", yang dianggap sebagai sakramen oleh sementara pihak semisal Gereja Katolik dan Gereja-Gereja Timur, tidak ditetapkan Kristus di dalam injil. Ritus-ritus tersebut tidak memiliki sifat sakramen menurut injil lantaran ketiadaan materi fisis seperti air dalam pembaptisan dan roti beserta anggur dalam perjamuan kudus. Buku Doa Umum memuat ritus-ritus penahbisan uskup, imam, dan diakon. Hanya para uskup yang boleh menahbiskan. Gereja Anglikan lazimnya mewajibkan pelibatan tiga orang uskup dalam upacara penahbisan seseorang menjadi uskup, sementara satu orang uskup saja dianggap sudah memadai untuk menahbiskan seseorang menjadi imam atau diakon.

Proses dan urutan

sunting
 
Dalam upacara penahbisan imam, uskup menumpangkan tangan ke atas kepala diakon. Dengan materi tangan yang ditumpangkan dan rumusan prefasi, si diakon tertahbis menjadi imam.

Urut-urutan imamat suci adalah: tahbisan-tahbisan minor, diakon, imam, uskup.

Bagi umat Katolik, seorang pria ditahbiskan menjadi diakon saat masih menjalani pendidikan di seminari. Selepas Konsili Vatikan II, diakon calon iman disebut "diakon transisi" untuk membedakannya dari diakon permanen. Diakon diberi wewenang untuk berkhotbah (dalam beberapa situasi tertentu, diakon permanen tidak diberi wewenang untuk berkhotbah), membaptis, dan menyaksikan perkawinan Katolik, tetapi tidak untuk menyelenggarakan sakramen-sakramen lain. Diakon membantu perayaan Ekaristi atau Misa, tetapi tidak dapat mengonsekrasi roti dan anggur. Biasanya selepas enam bulan atau lebih, diakon transisi ditahbiskan menjadi imam. Para imam dapat berkhotbah, membaptis, menerimakan sakramen krisma (dengan dispensasi khusus dari ordinaris mereka), menyaksikan perkawinan, mendengarkan pengakuan dosa serta memberikan absolusi, mengurapi orang sakit, dan merayakan Ekaristi atau Misa.

Siswa seminari Ortodoks biasanya ditonsur menjadi lektor sebelum masuk seminari, dan kemudian hari dapat ditahbiskan menjadi subdiakon atau diakon. Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di seminari-seminari ortodoks tidak seragam, demikian pula kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di yurisdiksi-yurisdiksi Ortodoks. Beberapa diakon tetap menjadi diakon secara permanen, sementara sebagian besar diakon pada akhirnya ditahbiskan menjadi presbiter. Ada rohaniwan yang beristri dan ada pula rohaniwan rahib. Diakon rahib disebut hierodiakon, dan presbiter rahib disebut hieromonakhos. Rohaniwan Ortodoks yang beristri harus sudah beristri sebelum ditahbiskan menjadi subdiakon (atau diakon, sesuai kebiasaan yang berlaku setempat), dan seseorang lazimnya ditonsur atau beristri sebelum ditahbiskan. Diakon maupun presbiter tidak boleh kawin, atau kawin lagi apabila sudah menduda, tanpa melepas jabatannya selaku rohaniwan. Para presbiter yang sudah menduda sering kali memilih menjadi rahib. Uskup-uskup Ortodoks senantiasa dipilih dari kalangan rahib. Seorang bujangan atau seorang duda dapat saja dipilih menjadi uskup, tetapi terlebih dahulu harus ditonsur menjadi rahib sebelum ditahbiskan menjadi uskup.

Bagi umat Anglikan, seseorang biasanya ditahbiskan menjadi diakon begitu tamat sekolah tinggi teologi. Bimbingan belajar yang diberikan seorang uskup secara langsung kepada seorang diakon calon imam (disebut reading for orders, "mengaji untuk imamat") adalah amalan bersejarah yang masih dapat dijumpai dewasa ini. Diakon calon imam tersebut biasanya menjalankan pelayanan sebagai asisten gembala jemaat, dan kemudiah hari dapat ditahbiskan menjadi imam atas pertimbangan uskup pembimbingnya. Diakon-diakon lain boleh saja memilih untuk tetap menjadi diakon. Diakon Anglikan dapat berkhotbah, membaptis, dan melaksanakan upacara pemakaman, tetapi tidak dapat merayakan Ekaristi seperti imam. Sebagian besar cabang gereja Anglikan memperbolehkan perempuan ditahbiskan menjadi imam, bahkan beberapa di antaranya memperbolehkan perempuan ditahbiskan menjadi uskup.

 
Pengurapan tangan imam yang baru ditahbiskan

Di gereja-gereja yang mengamalkan adat-istiadat katolik, uskup dipilih dari antara para imam. Di Gereja Katolik, para uskup, sebagaimana para imam, hidup selibat dan oleh karena itu tidak beristri. Selain itu, seorang uskup dikatakan memiliki kepenuhan sakramen imamat kudus, sehingga berwenang menahbiskan orang menjadi diakon, imam, dan dengan persetujuan paus juga menahbiskan orang menjadi uskup. Penahbisan seseorang menjadi uskup, khususnya menjadi uskup yang berstatus ordinaris (pemimpin keuskupan atau keuskupan agung), wajib melibatkan tiga orang uskup. Salah seorang di antaranya bertindak selaku penahbis utama, biasanya seorang uskup agung atau uskup di tempat yang bersangkutan.

Di Gereja-Gereja Katolik Timur dan Ortodoks Timur, yang mengizinkan pria beristri ditahbiskan menjadi imam, para uskup wajib tidak kawin atau bersedia berpantang hubungan intim dengan istrinya. Sudah lazim disalahpahami bahwa semua uskup berasal dari tarekat-tarekat rahib. Meskipun pada kenyataannya memang demikian, hal ini bukanlah suatu ketentuan yang bersifat mutlak. Dalam kasus Katolik Barat, Katolik Timur, Ortodoks Oriental, dan Ortodoks Timur, biasanya uskup adalah pemimpin satuan wilayah kewenangan yang disebut keuskupan, dioses, atau eparki. Hanya uskup yang secara sah dapat menyelenggarakan sakramen imamat kudus.

Pengakuan terhadap tahbisan denominasi lain

sunting

Gereja Katolik mengakui keabsahan tahbisan Gereja-Gereja Timur tanpa kecuali. Beberapa Gereja Ortodoks Timur menahbis-ulang imam-imam Katolik yang pindah ke Gereja mereka, sementara Gereja-Gereja Ortodoks selebihnya mengakui keabsahan tahbisan imam-imam Katolik semacam itu berdasarkan konsep oikonomia gerejawi.

Gereja-gereja Anglikan mengklaim masih melestarikan suksesi apostolik.[15] Meskipun demikian, keterkaitan rantai suksesi uskup-uskup Anglikan dengan para rasul tidak diakui secara universal. Gereja Katolik menyangkal keabsahan tahbisan Anglikan ketika Paus Leo XIII mengungkapkan di Apostolicae curae pada tahun 1896 bahwa tahbisan Anglikan tidak sah lantaran ritus yang dipakai untuk menahbiskan imam di gereja Anglikan mengandung rumusan kalimat yang keliru mulai tahun 1547 sampai 1553 dan mulai tahun 1559 sampai masa jabatan Uskup Agung William Laud (Uskup Agung Canterbury, masa jabatan 1633–1645). Takhta Suci menegaskan bahwa rumusan kalimat dan materi ritus penahbisan Anglikan tidak memadai untuk menahbiskan seseorang menjadi uskup Katolik yang sah. Suksesi "mekanis", doa, dan penumpangan tangannya sendiri tidak dipermasalahkan. Dua di antara empat uskup penahbis Matthew Parker pada tahun 1559 ditahbiskan menurut ritus penahbisan gereja Inggris, sementara dua uskup lainnya ditahbiskan menurut ritus yang tercantum di dalam Pontificale Romanum. Tahkta Suci yakin bahwa kenyataan ini mengakibatkan putusnya kesinambungan suksesi apostolik, sehingga semua penahbisan yang menyusul sesudahnya menjadi batal dan sia-sia.

Uskup-uskup Ortodoks Timur pada kesempatan-kesempatan tertentu memberi oikonomia ketika imam-imam Anglikan pindah ke Gereja mereka. Sejumlah Gereja Ortodoks juga mengakui keabsahan tahbisan Anglikan apabila uskup-uskup yang bersangkutan didapati masih memelihara iman yang benar, karena salah satu konsep suksesi apostolik di dalam gereja Ortodoks adalah menganut dan mewariskan akidah dengan benar, bukan sekadar melaksanakan upacara penahbisan uskup dengan benar.

Perubahan-perubahan di dalam ritus penahbisan Anglikan yang muncul sejak masa pemerintahan Raja Edward VI, dan apresiasi yang lebih menyeluruh terhadap ritus penahbisan pra-Reformasi, menyiratkan bahwa penyangkalan berkepanjangan terhadap keabsahan tahbisan Anglikan patut dipertanyakan. Demi menurunkan kadar ketidakpastian keabsahan suksesi apostolik Anglikan, khususnya sejak penandatanganan Persetujuan Bonn tahun 1930 antara gereja Anglikan dan gereja-gereja Katolik Lama, penahbisan beberapa uskup Anglikan telah dilaksanakan dengan melibatkan uskup-uskup Gereja Katolik Lama, yakni uskup-uskup yang tahbisannya diakui sah dan wajar oleh Gereja Katolik.

Pihak Katolik dan pihak Anglikan sama-sama menyangkal keabsahan tahbisan rohaniwan Protestan dari denominasi-denominasi yang tidak melestarikan suksesi apostolik. Meskipun demikian, beberapa golongan di dalam gereja Anglikan, khususnya golongan gereja rendah atau golongan injili, pada umumnya memperlakukan rohaniwan Protestan dan sakramen-sakramen yang mereka selenggarakan sebagai rohaniwan dan sakramen yang sah. Takhta Suci juga tidak mengakui keabsahan suksesi apostolik denominasi-denominasi Lutheran yang mengklaim masih melestarikan suksesi apostolik.

Secara resmi, Persekutuan Anglikan mengakui keabsahan tahbisan denominasi-denominasi yang menjalin persekutuan dengan gereja-gereja Persekutuan Anglikan, misalnya gereja-gereja Lutheran kenegaraan di Skandinavia. Bilamana tidak ada imam Anglikan, rohaniwan dari gereja-gereja tersebut diperbolehkan memimpin kebaktian yang seharusnya dipimpin seorang imam Anglikan.

Perkawinan dan imamat kudus

sunting

Kendati mengizinkan pria beristri ditahbiskan menjadi diakon permanen, Gereja Katolik Ritus Latin biasanya tidak menahbiskan pria beristri menjadi imam. Di Gereja-Gereja Katolik Timur dan Gereja Ortodoks Timur, diakon-diakon beristri dapat ditahbiskan menjadi imam, tetapi kemudian hari tidak dapat ditahbiskan menjadi uskup. Uskup-uskup Katolik Timur dan Ortodoks Timur hampir selalu berasal dari kalangan rahib, yakni kalangan yang sudah mengikrarkan kaul selibat. Meskipun demikian, seorang pria yang sudah menduda dapat saja menjadi uskup, karena "belum pernah berumah tangga" tidak pernah dijadikan syarat kelaikan seorang uskup.

Dalam beberapa kasus, diakon permanen yang sudah menduda dibenarkan untuk ditahbiskan menjadi imam. Dalam beberapa situasi, pria beristri yang sudah ditahbiskan menjadi imam di gereja Anglikan atau gereja Lutheran telah ditahbiskan menjadi imam Katolik dan diizinkan untuk menjalankan fungsinya seperti seorang imam Ritus Timur tetapi di lingkungan dan suasana Ritus Latin. Tahbis-ulang pria-pria beristri mantan rohaniwan gereja Anglikan dan Lutheran tersebut tidak pernah dilakukan sub conditione, yakni sekadar untuk memperjelas keabsahan tahbisan sebelumnya, karena menurut hukum kanon Katolik, tidak ada imam sejati di dalam denominasi-denominasi Protestan. Penahbisan semacam ini hanya mungkin terlaksana atas persetujuan uskup yang bersangkutan dan atas izin khusus dari paus.

Rohaniwan Anglikan boleh kawin maupun kawin ulang sesudah ditahbiskan. Di gereja Katolik Lama dan gereja-gereja Katolik Mandiri, tidak ada pembatasan tahbisan yang berkaitan dengan perkawinan.

Penahbisan perempuan

sunting

Gereja Katolik, sejalan dengan pemahamannya tentang tradisi teologis seputar isu penahbisan perempuan, dan klarifikasi definitif yang tercantum di dalam ensiklik Ordinatio sacerdotalis tahun 1994 dari Paus Yohanes Paulus II, secara resmi mengajarkan bahwa Gereja Katolik tidak memiliki wewenang untuk menahbiskan perempuan menjadi imam, dan oleh karena itu sampai kapan pun perempuan tidak mungkin ditahbiskan menjadi imam. Perempuan juga tidak mungkin "ditahbiskan" menjadi diakonis dalam arti sejajar dengan diakon secara sakramental, sebab diakonis bukanlah perempuan yang berjabatan diakon melainkan perempuan yang mengemban jabatan pelayanan awam. Dengan demikian, diakonis tidak menerima sakramen imamat kudus. Banyak gereja Lutheran, Anglikan, dan gereja-gereja Protestan lainnya menahbiskan perempuan,[16] tetapi rata-rata hanya menahbiskan mereka menjadi diakon.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ "Holy order | Christianity". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 29 September 2018. 
  2. ^ Weeks, Lee. "How do Catholics & Baptists differ?". www.bpnews.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 16 Oktober 2018. 
  3. ^ Alkitab, Matius 28:18–20
  4. ^ a b Williams, Father Gregory (1979), The Sacramental Life: An Orthodox Christian Perspective (edisi ke-3rd), Liberty TN: St. John of Kronstadt Press (dipublikasikan tanggal 1986), hlm. 43–47 
  5. ^ a b c Sokolof, Archpriest Dimitrii (1899), Manual of the Orthodox Church's Divine Services, Jordanville, New York: Biara Tritunggal Mahakudus (dipublikasikan tanggal 2001), hlm. 166, ISBN 0-88465-067-7 
  6. ^ Hapgood, Isabel F. (1922). Service Book of the Holy Orthodox-Catholic Apostolic Church (edisi ke-5th). Englewood NJ: Keuskupan Agung Kristen Ortodoks Antiokhia (dipublikasikan tanggal 1975). hlm. 106. 
  7. ^ Katekismus tahun 1547
  8. ^ Lumen Gentium 10
  9. ^ Woesteman, Wm. The Sacrament of Orders and the Clerical State St Paul's University Press: Ottawa, 2006, hlm. 8, baca juga De Ordinatione
  10. ^ kan. 588, CIC 1983
  11. ^ can. 266, CIC 1983
  12. ^ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, terjemahan Talcott Parsons, Bab 3, hlm. 79 & catatan kaki no. 1.
  13. ^ Baca Katekismus Kecil Luther Diarsipkan 2011-09-27 di Wayback Machine.
  14. ^ "Defense of the Augsburg Confession - Book of Concord". bookofconcord.org. Diakses tanggal 2018-10-16. 
  15. ^ Pandangan Batrik Ekumene mengenai Tahbisan Anglikan Diarsipkan 2002-01-25 di Wayback Machine.
  16. ^ "Ministry and Ministries" (dalam bahasa English). Gereja Swedia. Diakses tanggal 12 Mei 2021. 

Sumber buku cetak

sunting

Bahan bacaan lanjutan

sunting
  • Bray, Gerald L. Sacraments & Ministry in Ecumenical Perspective, in series, Latimer Studies, 18. Oxford, Eng.: Latimer House, 1984. ISBN 0-946307-17-2

Pranala luar

sunting