Multikomunikasi merupakan praktik lebih dari satu percakapan dalam sebuah kesempatan. Hal tersebut didefiniskan sebagai "partisipasi dalam dua atau lebih percakapan yang saling tumpang tindih dan terjadi secara bersamaan."[1]

Terminologi Multikomunikasi diprakarsai oleh Turner, Reinsch, dan Tinsley,[2] yang menyatakan bahwa komunikasi dapat dilakukan secara serentak dengan menggunakan teknologi media yang terus berkembang, termasuk tatap muka secara langsung, telepon, dan aplikasi email untuk komunikasi. Multikomunikasi berevolusi dengan cepat sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.

Seiring berjalannya waktu, multikomunikasi menjadi semakin lazim sehingga menarik perhatian para akademikus. Saat ini, mayoritas riset akademik berfokus kepada implikasi profesional dan faktor-faktor kunci yang membentuk multikomunikasi. Contohnya fleksibilitas tempo komunikasi, pembagian percakapan dalam kategori tertentu, topik, serta intensitas interaksi sebagai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pilihan seseorang untuk terlibat dalam multikomunikasi dan tujuan utama penggunaannya.

Multikomunikasi memungkinkan dari segi fisik maupun kognitif karena manusia, atau presence allocators pada umumnya berpikir lebih cepat dibanding berbicara, atau mengetik.[2] Kebanyakan studi neurosains pun mengimplikasikan bahwa kita tidak begitu mampu secara kognitif untuk melakukan banyak tugas secara bersamaan; kita hanya mampu bertukar tugas antara satu dengan yang lainnya. Ini berarti bahwa mereka yang mampu melakukan banyak tugas secara bersamaan atau dalam hal ini, multikomunikasi biasanya cukup cepat dalam mengalokasikan atau memindahkan perhatian di antara banyak pesan.[3]

Banyak orang terlibat dalam beragam percakapan sebagai respon terhadap permintaan dari yang lain. Banyak pegawai mempercayai bahwa multikomunikasi meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja, meskipun melalui wawancara mendalam mengenai multikomunikasi, hasil yang diperoleh sering beragam. Riset juga menunjukkan bahwa telepon dan surel adalah kombinasi yang paling sering digunakan dalam multikomunikasi, termasuk aplikasi pendukungnya (seperti: sms dan pesan singkat lainnya).[4]

Sejarah sunting

Sebagai konsep, multikomunikasi pada pokoknya dibentuk dari karya Hall pada polychronicity, teori Goffman's mengenai presentasi diri, serta gagasan dari Daft dan Lengel mengenai kesempurnaan media; multikomunikasi juga mirip dengan gagasan multitasking. Meskipun begitu, multikomunikasi tidak hanya mengatur tugas, namun juga mengatur percakapan, masyarakat, dan media secara bersamaan. Stephen, Cho, dan Ballard menguraikan perbedaan ini dalam tulisan pada tahun 2011 yang membandingkan dovetailing (penyusunan komunikasi dengan teratur) dengan multikomunikasi (interaksi yang terjadi secara bersamaan).[5] Sebagai tambahan, multikomunikasi sering terjadi tanpa diketahui mitra komunikasinya.

Multikomunikasi erat kaitannya dengan karya Hall pada tahun 1959 mengenai polychronicity; faktanya, multikomunikasi pada awalnya disebut "komunikasi polychronic" pada satu dari sekian presentasi ilmiah Turner dan Reinsch terhadap komunitas akademik yang lebih luas.[6] Melalui bukunya pada tahun 1959 yang berjudul "The Silent Language" Hall menciptakan terminologi polychronicity dan pada karya selanjutnya mengembangkan argumen bahwa polychronicity adalah pengukuran terhadap preferensi budaya mengenai partisipasi terhadap beberapa aktivitas dalam satu waktu. Transisi konsep yang penting terjadi pada akhir tahun 90-an, ketika Bluedron [7] menjadi satu dari beberapa cendekiawan yang mengadaptasi terminologi polychronicity dari konteks budaya dan mengaplikasikannya dalam lingkungan kerja..

Teori Goffman mengenai presentasi diri, yang menunjukkan bahwa masyarakat terlibat dalam berbagai drama, juga berperan dalam penyusunan konsep multikomunikasi. Gagasan bahwa kita menyesuaikan perilaku agar diterima lingkungan juga berlaku dalam situasi percakapan. Yang membedakannya dari teori Goffman adalah bahwa "presence allocator" (manusia/pengguna) menentukan perilaku yang sesuai melalui tanda/isyarat dari interaksi dan perantara itu sendiri, berbeda dengan pelaku, yang menentukan perilaku secara langsung melalui lingkungan fisik.

Riset Daft dan Lengel mengenai teori kesempurnaan media atau, bagaimana pegawai memilih teknologi yang ingin digunakan dalam lingkungan kerja, adalah konsep penting lainnya untuk multikomunikasi. Senada dengan gagasan McLuhan 'medium adalah pesan', Daft dan Lengel berargumen bahwa media yang berbeda memiliki kualitas yang beragam dan juga membuat mereka kurang lebih cocok untuk interaksi tertentu. Contohnya, untuk interaksi yang secara relatif kompleks, percakapan penting dengan rekan bisnis baru, kemungkinan akan dilakukan dengan perantara media yang bermacam-macam. Perantara ini dapat berupa teknologi komunikasi seperti Skype atau percakapan tatap muka, yang memungkinkan penyerapan interaksi dan informasi secara maksimal. Semakin kasual dan rutin sebuah percakapan, seperti misalnya rencana makan siang bersama rekan kerja, akan lebih mudah dilakukan dibanding perantara yang lebih terbatas seperti aplikasi pesan.

Multikomunikasi mengambil konsep perantara dari teori kekayaan media dan menunjukkan bahwa karakteristik yang sama yang berkontribusi dalam membuat pilihan-pilihan perantara kemungkin juga berkontribusi terhadap alasan-alasan mengenai mengapa seseorang mungkin melakukan multikomunikasi. Sebagai contoh, jika sebuah percakapan tidak terlalu kompleks atau samar, orang tersebut memiliki kemungkinan untuk berpartisipasi dalam beberapa percakapan. Percakapan yang lebih kompleks membuat multikomunikasi menjadi lebih sulit .[8]

Berkaitan erat dengan teori kekayaan media, gagasan mengenai teori Channel Expansion,[9] menunjukkan bahwa ketika seseorang menjadi terbiasa dengan teknologi tertentu, persepsi dan pengetahuannya mengenai teknologi tersebut pun akan berkembang. Maka dari itu, seseorang yang sudah nyaman dengan situs percakapan tertentu memiliki tendensi untuk menganggapnya lebih variatif secara kontekstual dibandingkan seseorang yang hanya mengetahui fungsi dasarnya saja. Hal ini berkontribusi terhadap pengertian kita mengenai multikomunikasi bahwa pengalaman seseorang dengan berbagai macam media akan memungkinkan mereka untuk lebih baik dalam memilih teknologi komunikasi tertentu yang lebih kaya dalam konteks percakapan. Meskipun teori Channel Expansion mengimplikasikan bahwa pemahaman akan teknologi membawa efek positif terhadap persepsi seseorang mengenai keberagaman media, tidak berarti proses multikomunikasi menjadi sederhana.

Multicommunicating VS. Multitasking sunting

Perbedaan antara multikomunikasi dan multitasking dapat membingungkan karena kedua terminologi membicarakan tentang masyarakat yang berpartisipasi dalam dua kegiatan dalam waktu yang sama. Para ilmuwan komunikasi telah membuat definisi yang jelas terhadap kedua fenomena ini. Mereka percaya bahwa multitasking memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibanding multikomunikasi, dimana multikomunikasi merupakan sebuah bentuk kompleks multitasking. Multitasking menjelaskan bagaimana seseorang berpartisipasi dalam perilaku multitasking dimana ia melakukan lebih satu hal yang tidak berkaitan secara bersamaan,[10] yang menekankan pada tugas yang tidak harus sama, namun performa yang berkesinambungan. Sementara itu multikomunikasi menjelaskan tentang orang-orang yang berpartisipasi dalam dua percakapan yang serentak, dimana tidak hanya membutuhkan perhatian, namun juga koordinasi.

Tambahan mengenai multikomunikasi, multitasking juga termasuk multitasking elektronik ,[11] pembisikan tak terlihat,[12] dan multitasking sosilal.[13] termasuk multitasking yang terpisahkan. Hal-hal tersebut saling tumpang tindih antara satu kategori dengan kategori lainnya..

Karakteristik Multikomunikasi sunting

Riset menunjukkan bahwa ada dua karakteristik yang membantu untuk menentukan pilihan seseorang terhadap media komunikasi ketika berpartisipasi dalam multikomunikasi, yakni kompartementalisasi dan fleksibilitas tempo..

Kompartementalisasi sunting

Kompartementalisasi adalah kemampuan dan kemudahan untuk bergerak dalam lintas percakapan. Sebagai contoh: secara relatif percakapan online memudahkan pengguna untuk bergerak bebas dari sebuah percakapan ke percakapan lainnya. Dalam hal ini, kemampuan untuk menyembunyikan percakapan dari beberapa mitra komunikasi merupakan faktor penting dari kompartementalisasi.

Fleksibilitas Tempo sunting

Fleksibilitas tempo merupakan jumlah waktu dimana seseorang harus merespon terhadap pesan tertentu. Komunikasi tatap muka sering kali tidak memberikan fleksibilitas tempo sebanyak pesan tulisan.

Biasanya, para pengguna memilih untuk menggabungkan teknologi media seperti telpon (kurang fleksibel dalam tempo dan sebagian terkompartementalisasi) dengan pesan tulisan elektronik (fleksibilitas tempo yang tinggi dan kemampuan kompartementalisasi). Terkadang pengguna tidak memiliki pilihan mengenai media yang dapat mereka gunakan. Akan tetapi, kombinasi tertentu dari media komunikasi dapat berkontribusi terhadap kesuksesan atau kekurangan seseorang dalam multikomunikasi.

Keberhasialan dan Kegagalan dalam Multikomunikasi sunting

Lakukan multikomunikasi atau tidak. Apakah yang membuat sebuah multikomunikasi berhasil? Beberapa faktor, termasuk intensitas, topik pembicaraan, kesamaran, dan pengguna sendiri (presence allocator) dapat membantu untuk menentukan hasil dari sebuah multikomunikasi.

Intensitas Komunikasi sunting

Intensitas dari komunikasi merupakan satu dari beberapa faktor kunci dalam multikomunikasi karena hal ini membantu untuk memprediksi jumlah perhatian dan kepentingan sebuah percakapan. Biasanya intensitas percakapan meningkat dengan percakapan yang lebih banyak, tingkat kecepatan percakapan, ruang lingkup topik, dan percampuran fungsi atau peran-peran sosial. Intensitas yang terlalu tinggi terkadang menjadi faktor yang membuat multikomunikasi tidak berhasil.

Topik Percakapan sunting

Topik atau tema multikomunikasi adalah faktor kunci lain yang menentukan kesuksesan dari keseluruhan sebuah multikomunikasi. Semakin mirip tema-tema pada percakapan-percakapan yang simultan, semakin kongruen pengalaman dan waktu yang dimiliki pengguna untuk memproses informasi dan berpindah percakapan. Sementara itu, semakin berbeda topik dan tema pembicaraan, semakin besar beban kognitif terhadap pengguna dan semakin meningkatnya kemungkinan untuk pengguna menjadi bingung dan mencampur aduk percakapan.

Kesamaran sunting

Equivocality atau ambiguitas adalah faktor kunci lain, yang dapat membantu menentukan kesuksesan multikomunikasi. Equivocality memungkinkan untuk terjadinya misinterpretasi dan studi menjelaskan bahwa semakin tinggi tendensi suatu percakapan untuk menjadi ambigu, semakin tinggi pula kemungkinan seseorang untuk menggunakan perantara komunikasi yang memiliki ragam konteks atau variasi media. Kemungkinan ambiguitas juga dapat memicu rangkaian multikomunikasi dan berpotensi untuk bertambah bila seseorang mengalihkan perhatiannya dari suatu media ke media yang lainnya atau tidak berpartisipasi dalam percakapan yang sarat media ketika dibutuhkan.

Kehadiran Pengguna sunting

Memori kita memiliki batas dalam bekerja sehingga menyebabkan kemampuan kognitif dalam memproses informasi juga menjadi terbatas. Performa menurun ketika batas-batas tersebut tercapai atau terlampaui. Oleh karena batas-batas ini, melakukan dua hal di saat yang bersamaan atau berpindah-pindah tugas terlalu cepat dan sering menyebabkan penurunan performa dalam hal akurasi dan waktu respon. Masalah-masalah ini dapat diringankan sebagian (namun tidak hilang seluruhnya) melalui latihan dan fasilitas yang memadai untuk tugas yang sedang dilakukan, namun mereka akan meningkat seiring tingkat kompleksitas suatu tugas.[14]

Secara keseluruhan, riset mendukung bahwa presence allocators atau pengguna memiliki pengalaman yang paling baik dengan rangkaian multikomunikasi ketika berpartisipasi dalam beberapa percakapan dengan media yang tepat secara kontekstual dan berada dalam topik yang sama. Sementara itu rangkaian multikomunikasi yang tidak atau kurang berhasil terjadi karena intensitas tinggi, ambiguitas, dan tema yang membingungkan. Dalam kasus-kasus tersebut, informasi yang terlalu banyak dapat terjadi dan menyebabkan percakapan melambat, tercampur aduk, dan berhenti sepenuhnya.

Implikasi sunting

Meskipun studi tentang multikomunikasi masih dalam tahap awal, akan tetapi hal tersebut semakin berkaitan dengan masyarakat multitasking yang berkembang dengan pesat. Beberapa implikasi multikomunikasi dan petunjuk untuk pembelajaran lanjutan termasuk:

Produktivitas sunting

Kebanyakan orang mengindikasikan bahwa mereka melakukan multikomunikasi agar menjadi lebih efisien. Akan tetapi, tujuan untuk mencapai efisiensi ini telah mendapat hasil yang beragam. Meskipun gagasan bahwa menyelesaikan beberapa hal dalam satu kesempatan membuat kita semakin produktif, riset mengindikasikan bahwa polychronicity memiliki korelasi negatif terhadap tenggat waktu.[15] Dalam komunikasi dan beberapa percakapan, banyak orang mencapai batas hingga tidak mampu mempertahankan sinkronisasi pesan. Jumlah riset yang signifikan juga mengindikasikan bahwa mereka memilih untuk tidak melakukan multikomunikasi ketika percakapan penting yang membutuhkan perhatian penuh sedang terjadi..

Beberapa ilmuwan juga memberikan hipotesis bahwa beban komunikasi yang tampak dapat memicu orang-orang untuk berpartisipasi dalam multikomunikasi. Hal ini disebabkan oleh karena beban kerja yang berat memberikan orang-orang kesan akan waktu yang hilang, dan dapat memicu orang-orang untuk melakukan multikomunikasi demi mengkompensasi kejenuhan dalam bekerja. Akan tetapi, seperti yang telah dijelaskan oleh riset yang bersangkutan, komunikasi berlebih tidak cukup menghasilkan perilaku multitasking.[11]

Organisasi Norma dan Persepsi sunting

Faktor penting lainnya untuk mempertimbangkan multikomunikasi adalah konteks organisasi dan persepsi oleh orang lain.[16]

Dalam situasi organisasi, riset menunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk menggunakan teknologi komunikasi yang sarat informasi dipengaruhi oleh apa yang mereka observasi dari anggota lainnya didalam organisasi, yang mana hal tersebut berdampak positif bagi perilaku multikomunikasi mereka.[17] Persepsi yang orang lain pikirkan mengenai multikomunikasi juga merupakan salah satu faktor penting untuk perilaku ini. Seringkali, masyarakat menyembunyikan fakta bahwa mereka melakukan multikomunikasi dari rekan komunikan mereka oleh karena persepsi untuk perilaku kasar, atau percakapan yang hanya "setengah-setengah" oleh karena pembagian waktu dan perhatian ketika melakukan multikomunikasi. Akan tetapi, bila masyarakat menganggap bahwa multikomunikasi dapat diterima dalam organisasi, mereka tidak akan merasa malu dan akan lebih sering berpartisipasi dalam perilaku ini..

Tergantung dari kultur organisasi, multikomunikasi dapat menjadi krusial dan membawa dampak negatif dalam situasi kantor atau profesional. Sebaliknya, riset menunjukkan bahwa pegawai yang mengikuti norma komunikasi organisasi menerima rating performa yang lebih tinggi daripada yang tidak mengikuti. Oleh karena itu, jika multikomunikasi dipertimbangkan untuk menjadi 'norma', praktiknya juga dapat membawa efek positif..[16]

Ketika multikomunikasi dapat menjadi topik kontroversial baik dalam riset maupun praktik, hal tersebut merupakan barang tetap yang bertumbuh dalam organisasi. Riset lanjutan mengenai kemampuan kognitif, situasi organisasi, ekspansi kesempatan kerja virtual, dan teknologi memungkinkan untuk menghasilkan penemuan penting untuk kehidupan pribadi dan profesional kita.

Adanya Ketidaksopanan sunting

Dengan menggunakan Teori Social Exchange, yang menganggap perilaku sosial sebagai "pertukaran barang, materi dan non-materi, seperti simbol dan kebanggaan". Orang-orang yang memberi banyak bagi orang lain mencoba untuk mendapat banyak dari mereka, dan orang-orang yang mendapat banyak mendapat tekanan untuk memberi banyak kepada mereka.,[18] Carmeno dan Webster mengkaji hasil multikomunikasi yang berkaitan dari aspek-aspek berikut: Rekan komunikan VS Pusat dari awal percakapan, pemaksimalan percakapan, performa multikomunikasi, pusat akses individu, orientasi komunikasi polychronic mitra komunikasi, kesadaran, dan kecocokan media. Dalam riset mereka, mereka menunjukkan bahwa multikomunikasi memiliki potensi untuk membangun atau merusak hubungan tempat kerja, dan ketidaksopanan yang tampak dalam multikomunikasi dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak percaya dalam tempat kerja.[16]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Multicommunicating Effectively to Increase Productivity | DeGarmo". www.degarmo.com.
  2. ^ a b Turner, J. W., Reinsch, L. & Tinsley, C. (2008).
  3. ^ Ocasio, W. (2011).
  4. ^ Turner, J. W., & Reinsch, L. (no year).
  5. ^ Stephens, K., Cho, J., & Ballard, D. (2012).
  6. ^ Turner, J. W., & Reinsch, L. (2005).
  7. ^ Bluedorn, A. C., et al. (1999).
  8. ^ Turner, J. W., & Reinsch, L. (2007).
  9. ^ Carlson, J., & Zmud, R. (1995).
  10. ^ Benbunan-Fich, Raquel; Adler, Rachel F.; Mavlanova, Tamilla (2011-07-01).
  11. ^ a b Stephens, Keri K.; Davis, Jennifer (2009-06-08).
  12. ^ Dennis, Alan R.; Rennecker, Julie A.; Hansen, Sean (2010-11-01).
  13. ^ "Adjusting the Volume: Technology and Multitasking in Discourse Control."
  14. ^ Cameron, Ann-Frances; Webster, Jane (2012-11-08).
  15. ^ Kaufman, C.F., Lane, P.M. and Lindquist, J.D. (1991).
  16. ^ a b c Cameron, A., & Webster, J. (2010).
  17. ^ Stephens, Keri K. (2009).
  18. ^ Homans, G. C. 1958.