Matakau adalah tanda larangan yang dipasang pada tanaman atau lokasi tertentu dalam suatu kebun untuk mencegah panen dini dan atau pencurian dengan cara menakuti si pencuri.[1] Matakau yang dipasang menadakan bahwa kebun dan tanaman di dalamnya telah dilindungi oleh mantra dan kutukan sehingga terlarang untuk diambil atau dicuri.[2] Dikarenakan kemiripannya dengan adat sasi yang juga melarang pengumpulan atau pemanenan sumber daya alam tertentu, tetapi dipasang oleh keluarga atau orang per orang sehingga dikenal pula sebagai sasi pribadi.[3] Dibandingkan dengan sasi, matakau relatif jarang ditulis dan diulas oleh para peneliti.[4]

Etimologi sunting

Istilah matakau berasal dari bahasa-bahasa lokal di Maluku yang secara kolektif dikenal sebagai bahasa Tana. Matakau berarti mata merah.[5] Warna merah telah lama digunakan dalam adat orang Ambon. Merah berarti panas atau berbahaya dan diasosiasikan dengan kekuatan magis serta kutukan.[6] Dalam bahasa Nuaulu yang dituturkan di daerah petuanan Negeri Sepa, matakau dinamakan sebagai wate atau masinnate.[7]

Rupa sunting

Tidak ada tanda benda khusus yang dijadikan matakau. Kelapa, sabut atau serat dari pohon aren, botol yang berisi biji jagung, gambar orang pada medium kayu, sabut kepala, dan lain-lain dapat digunakan.[8]

Perbedaan dengan Sasi sunting

Sasi dan matakau sudah dikenal oleh masyarakat Ambon dalam waktu yang lama dan merupakan peninggalan budaya Animisme.[9] Keduanya memiliki keterkaitan sebagai kearifan lokal yang mengurusi soal lingkungan, tetapi memiliki perbedaan satu sama lain. Secara umum sasi dikaitkan dengan usaha kolektif masyarakat suatu negeri, sedangkan matakau adalah usaha keluarga atau individu.[10] Sasi tidak bersifat preventif melainkan hanya berupa peringatan dan memiliki ancaman kutukan bahkan kematian bagi pelanggarnya. Sementara itu, matakau memiliki fungsi preventif. Matakau dipasang untuk mencegah terjadinya pencurian atau pemungutan yang tidak terotorisasi serta apabila pencurian tetap terjdi maka akan mengikuti si pencuri untuk melakukan balas dendam.[3]

Durasi dan Luas Area Pemasangan sunting

Matakau umumnya dipasang hanya di seputar masa panen saja. Durasi pemasangannya bervariasi antara dua minggu hingga beberapa bulan tergantung jenis tanaman atau pohon yang dilindungi dari pencurian.[3] Selain durasinya yang singkat, tanda larangan ini dipasang pada wilayah yang relatif sempit dan terbatas pada kebun yang luasnya tidak lebih dari satu hektare.[3]

Kutukan yang Terkandung sunting

Pemasangan matakau bertujuan untuk mencegah terjadinya pencurian sekaligus menghukum pencuri dengan kutukan magis. Kutukan tersebut berupa kesialan, luka, dan penyakit-penyakit tertentu. Seorang pencuri dapat terkena hernia apabila mengabaikan matakau yang terbuat dari buah kelapa yang dibungkus serat dari pohon aren dan digantung dalam rumah-rumahan mini.[8] Penyakit lain yang ditemukan sebagai kutukan atas pelanggaran tanda ini adalah kusta, kudis di area kelamin, sakit punggung, demam (panas tinggi), dan bisul. Pelanggar dapat terkena kusta apabila melanggar tanda berupa botol yang berisi biji jagung sebanyak tujuh buah yang tergantung pada rumah-rumahan mini.[8] Sementara itu, penykit-penyakit yang lain akan menjangkiti pelanggar apabila melanggar tanda berupa gambar orang pada media kayu yang digantungkan.[8] Kutukan yang terkandung dalam matakau baru dapat menjadi efektif apabila pemasang sadar bahwa pencuri telah melanggar tanda yang dipasang dan memutuskan untuk mengaktifkan kutukan magis tersebut dengan melafalkan mantra yang tepat.[8]

Dampak Ekologi sunting

Matakau sebagai bentuk kearifan lokal memberikan dampak berupa terjaganya keanekaragaman hayati (diversity) atau meningkatnya spesialisasi tanaman tertentu dalam suatu kebun.[11]

Keberadaan Saat Ini sunting

Hingga beberapa dekade yang lalu, matakau masih umum ditemukan dan bertahan di tengah arus Islamisasi dan Kristenisasi Maluku. Namun, saat ini sudah jarang ditemukan terlebih di negeri-negeri yang beragama Kristen karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Kristen.[8] Beberapa negeri Kristen yang tidak terlalu taat masih mengenal adat matakau ini.[12] Di negeri-negeri Kristen yang taat, penduduk masih memasang tanda yang mirip matakau dengan tujuan untuk menakut-nakuti orang tanpa memiliki kutukan dan mantra di dalamnya.[8]

Lihat pula sunting

Catatan kaki sunting

  1. ^ Ellen 2016, hlm. 6 dan 17.
  2. ^ Novaczek, dkk., hlm. 284.
  3. ^ a b c d Ellen 2016, hlm. 16.
  4. ^ Tichelman 1954, hlm. 183.
  5. ^ Bartels 2017, hlm. 852.
  6. ^ Bartels 2017, hlm. 603 dan 852.
  7. ^ Ellen 2016, hlm. 6.
  8. ^ a b c d e f g Otto dan Pedersen 2005, hlm. 217.
  9. ^ Monk, De Fretes, dan Reksodiharjo-Lilley 1997, hlm. 541.
  10. ^ Ellen & 2016 pp16.
  11. ^ Ellen 2016, hlm. 17.
  12. ^ Ellen 2016, hlm. 19.

Daftar pustaka sunting

  • Bartels, Dieter (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I: Kebudayaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). ISBN 9786024241506. 
  • Monk, Kathryn A.; De Fretes, Yance; Reksodiharjo-Lilley, Gayatri (1997). The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Editions. 
  • Otto, Ton; Pedersen, Poul (2005). Tradition and Agency: Tracing Cultural Continuity and Invention. Arhus: Aarhus University Press. ISBN 8779349528. 
  • Tichelman, G.L. (1954). "288. Pohung and matakau: scaring charms of the Bataklands and the Moluccas". Man. 54: 183–185.