Pela

Sistem hubungan sosial di Maluku bagian tengah

Pela adalah istilah yang dikenal oleh masyarakat Ambon dan Maluku bagian tengah pada umumnya untuk menyebut sistem persekutuan yang disepakati antara dua desa (negeri) atau lebih. Dalam beberapa kasus yang lebih jarang, persekutuan terjadi antara fam-fam (matarumah) tertentu dari negeri yang berbeda. Di Jazirah Leitimur, beberapa negeri yang bertetangga saling terlibat dalam pakta persekutuan pela. Hal ini berbeda dengan di kawasan lainnya, dimana negeri-negeri yang berpela biasanya terletak berjauhan satu sama lain dan biasanya sering berbeda pulau.

Sebagian besar persekutuan pela terjadi di antara negeri yang beragama Kristen (Sarane), tetapi cukup banyak pula yang mengikat negeri Kristen dengan negeri Islam (Salam). Bisa dikatakan bahwa pela dapat melintasi batas-batas agama. Pela antar negeri yang beragama Islam tidak ada. Berbeda dengan negeri Kristen yang memakai adat — dan bukannya agama mereka — untuk membangun aliansi resmi antar negeri, masyarakat Islam Maluku menganggap diri mereka semua sebagai bagian dari Ukhuwah Islamiyah, sehingga tidak merasa perlu untuk mempererat ikatan satu sama lain melalui aliansi semacam pela. Dalam beberapa kasus ditemukan pela yang mengikat beberapa negeri Kristen dan beberapa negeri Islam. Dalam kasus tersebut negeri Islam yang satu menganggap negeri Islam lain dalam persekutuan yang sama sebagai saudara pelanya.

Peraturan

sunting

Pela dianggap sebagai suatu ikatan persaudaraan antara semua masyarakat antar negeri (biasanya dua negeri ataupun lebih) yang bersangkutan dan dianggap suci. Terdapat empat aturan dasar pela yang umum, yang harus dipatuhi oleh masyarakat negeri, antara lain:

  1. Negeri-negeri yang memiliki ikatan pela berkewajiban untuk saling membantu negeri yang lain pada masa kesulitan (bencana alam, peperangan, dan hal-hal lain)
  2. Jika diminta ataupun tidak diminta, maka negeri yang satu yang berpela dengan negeri yang satunya wajib memberi bantuan kepada negeri lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti pembangunan rumah-rumah ibadah (masjid dan gereja), parigi, baileo, serta sekolah.
  3. Jika seorang mengunjungi negeri yang berpela dengan negeri asalnya, maka orang-orang di negeri pela tempat ia berkunjung itu wajib untuk memberi makanan secara sukarela kepadanya dan tamu yang berikat pela itu tidak perlu meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan di negeri yang bersangkutan.
  4. Semua penduduk negeri-negeri yang saling berhubungan pela dianggap sedarah sehingga penduduk dari kedua negeri yang berpela tidak bolehkan untuk mengikat hubungan pernikahan. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dihukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan pela tersebut, hal tersebut berupa kutukan seperti penyakit, kematian, dan kesulitan lain yang ditujukan kepada pelanggar maupun keturunannya. Pada masa lalu, mereka yang melanggar pantangan pernikahan tersebut ditangkap dan disuruh berjalan mengelilingi negeri-negerinya dengan hanya berpakaian daun-daun kelapa dan dicaci maki oleh penghuni negeri sebagai seorang pembuat aib.

... Sei Lesi Sou, Sou Lisa Ei atau Siapa Langgar Sumpah, Sumpah Hukum dia...

— Nenek Moyang, "Kapata Pela Ee"

Jenis-jenis

sunting

Pada prinsipnya dikenal tiga jenis pela, yaitu pela karas (keras), pela gandong (kandung) atau bongso (bungsu), dan pela tampa siri (tempat sirih).

  1. Pela karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua negeri atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan, antara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu, atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu negeri kepada negeri lain.
  2. Pela gandong atau bongso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di negeri atau pulau yang berbeda.
  3. Pela tampa siri diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali setelah terjadi suatu insiden kecil atau jika satu negeri telah berjasa kepada negeri lain. Jenis pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar hubungan perdagangan.

Pela karas dan pela gandong ditetapkan oleh sumpah yang sangat mengikat dan biasanya disertai dengan kutukan untuk pelanggaran terhadap perjanjian pela ini. Sumpah dilakukan dengan mencampur tuak dan darah yang diambil dari tubuh pemimpin kedua pihak, kemudian diminum oleh kedua pihak tersebut setelah senjata-senjata dan alat-alat perang lain dicelupkan kedalamnya. Alat-alat tersebut nantinya digunakan untuk melawan dan membunuh siapapun yang melanggar perjanjian. Penukaran darah memateraikan persaudaraan itu.

Pela tampa siri dilakukan tanpa sumpah, pela ini dilakukan dengan menukar dan mengunyah sirih bersama. Jenis pela ini merupakan suatu perjanjian persahabatan sehingga perkawinan antar pihak yang terkait diperbolehkan dan tolong menolong lebih bersifat sukarela tanpa ada ancaman akan hukuman nenek moyang.

Panas pela

sunting

Untuk menjaga kelestariannya, maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara bersama yang disebut panas pela antara kedua negeri yang memiliki hubungan pela. Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu negeri untuk merayakan hubungan tersebut dan kadang-kadang memperbaharui sumpahnya. Pada umumnya upacara atau gelaran panas pela diramaikan dengan pertunjukan menyanyi, dansa dan tarian tradisional, serta acara lain, seperti makang patita (makan perdamaian).

Pelestarian

sunting

Sistem pela hingga saat ini masih berperan penting terutama di daerah Maluku bagian tengah. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan dijalankan dengan kuat, upacara-upacara pembaharuan pela (panas pela) masih sering berlangsung. Sejak masa Perang Dunia II, muncul sejumlah pela baru, kebanyakan pela tampa siri yang ditetapkan sebagian besar antara negeri-negeri Islam dan Kristen sebagai usaha untuk menguatkan hubungan antara kedua pemeluk agama itu. Dapat dikatakan bahwa berkat sistem pela, konflik yang terjadi antara pihak Islam dan Kristen yang terjadi pada tahun 1998–2002 dapat diredakan.[1]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Masringor, Julia; Sugiswati, Besse (2017). "Pela Gandong Sebagai Sarana Penyelesaian Konflik". Perspektif: Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan. Surabaya, Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma. 22 (1): 66–79. Diakses tanggal 04-06-2024.