Masjid Raya Nanggalo

masjid di Indonesia

Koordinat: 0°54′12″S 100°22′17″E / 0.90330°S 100.371294°E / -0.90330; 100.371294

Masjid Raya Nanggalo (dahulu bernama Surau Gadang) adalah masjid yang terletak di pinggir aliran Batang Kuranji di Kelurahan Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia.

Masjid Raya Nanggalo
Agama
AfiliasiIslam
Lokasi
LokasiKelurahan Surau Gadang, Kecamatan Nanggalo, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Peletakan batu pertama1911
Kubah1

Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1911 dengan arsitektur bercorak Minangkabau dan Arab. Namun bangunan yang berdiri saat ini merupakan hasil renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1989 dengan mengikuti arsitektur modern sekarang.

Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid berlantai dua ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama dan pesantren kilat bagi pelajar.

Sejarah sunting

Masjid yang awalnya dikenal sebagai Surau Gadang ini mulai dibangun pada tahun 1911.[1] Pertama kali dibangun masjid ini memiliki arsitektur berupa perpaduan antara arsitektur Arab dan Minangkabau, karena pada saat itu selain pedagang-pedagang Arab, di Padang juga banyak bermukim cendekiawan-cendekiawan Minang yang menuntut ilmu di negeri Arab, sehingga corak Arab begitu kental di masyarakat.[1] Pembangunan masjid ini dilakukan dengan menggunakan sistem pasak, yaitu pola bangunan yang tidak menggunakan paku pada setiap sambungan kayu.[1] Dindingnya dibuat tebal, sekitar 25 cm, sementara pintu-pintunya terbuat dari kayu ulin yang juga tebal.[1]

Beberapa tahun menjelang kemerdekaan, Belanda semakin gencar melancarkan serangan terhadap penduduk pribumi, tak terkecuali di Padang.[1] Ketika Belanda membombardir kawasan Nanggalo, masyarakat setempat memilih menyelamatkan diri mereka dengan mengungsi ke masjid ini, sehingga fungsi masjid ini pada saat itu tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai benteng pertahanan masyarakat setempat.[1] Selain sempat dimanfaatkan sebagai benteng perlawanan terhadap Belanda, masjid yang saat itu berukuran panjang 25 meter ini juga menjadi saksi setiap kejadian penting di kawasan tersebut.[1] Ritual adat, seperti masalah pernikahan dibicarakan di dalam masjid, begitu pula dengan rapat adat maupun rapat nagari yang diadakan pada waktu-waktu tertentu, sehingga masjid yang berdiri di pinggir aliran Batang Kuranji ini menjadi pusat aktivitas warga setempat.[1]

Renovasi sunting

Mengingat kondisi bangunan yang sudah tidak layak dan tidak cukup menampung jumlah jamaah yang kian banyak, pada tahun 1989 masjid ini dibongkar untuk kemudian dibangun kembali menjadi dua lantai.[1] Renovasi tersebut, oleh beberapa kalangan terutama masyarakat setempat disayangkan karena menghilangkan bentuk aslinya.[1] Setelah renovasi, tak ada tanda maupun bekas bangunan yang menandakan masjid ini pernah didaulat sebagai benteng terakhir masyarakat Nanggalo menghadapi serangan Belanda.[1] Ornamen masjid ini kini kental dengan nuansa modern dengan lantai dan dinding berlapis marmer.[1] Kini dalam perkembangannya, masjid ini juga dikenal sebagai Masjid Raya Nanggalo.[1]

Rujukan sunting

Catatan kaki
Daftar pustaka