Masjid Jami Sungai Banar

masjid di Indonesia

Masjid Jami Sungai Banar adalah salah satu masjid tertua di Kalimantan Selatan yang terletak di tepi Sungai Negara, sekitar 3 km dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, tepatnya di desa Jarang Kuantan, kecamatan Amuntai Selatan.

Masjid Jami Sungai Banar
Agama
AfiliasiIslam
ProvinsiKalimantan Selatan
Lokasi
LokasiIndonesia Hulu Sungai Utara, Indonesia
Arsitektur
TipeMasjid
Gaya arsitekturBanjar
Rampung1804
Spesifikasi
Panjang25 meter
Lebar20 meter
Kubah1
Menara1
Bahan bangunanUlin, Sirap

Sejarah sunting

 
Tampak samping dari Masjid Jami Sungai Banar
 
Masjid Jami Sungai Banar

Masjid pertama di negeri Sungai Banar (sekarang Amuntai Selatan) ini berdiri pada tahun 1218 Hijriah atau 1804 Masehi yang dapat dilihat dari catatan pahatan pada bedug yang masih dimanfaatkan.

Diceritakan bahwa ada beberapa warga Amuntai, yang waktu itu ada yang sedang belajar kepada Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Martapura, diberi saran dari Syekh agar dibangun sebuah masjid di wilayah Amuntai selain Kitab Suci Al Qur'an tulisan tangan. Hal ini dikarenakan pada saat itu belum ada masjid sama sekali.

Bak gayung bersambut, saran itupun disambut hangat warga Amuntai. Secara bersama, masyarakat mempersiapkan pembangunan masjid, seperti batu-batu, kayu, sirap, dll. Hingga kini, bahan baku masjid seperti kayu ulin, tiang, balok, papan dan sirap masih dapat disaksikan di sekitar masjid. Lokasi pertama yang dipilih sekitar 500 meter dari lokasi masjid yang sekarang.

Keanehan terjadi menjelang pemasangan tiang masjid (proses ini dinamakan batajak tiang dalam bahasa Banjar). Mendadak masyarakat terkejut melihat sejumlah tiang besar yang terbuat dari kayu ulin itu hilang dari tempat pembuatannya. Setelah dilakukan pencarian, tiang-tiang itu ditemukan di tepi sungai di lokasi yang sekarang. Ketika itu, sungainya belum ada namanya.

Tentu saja kegaduhan muncul mengenai siapa yang memindahkan tiang-tiang yang memiliki bobot beberapa ton itu. Untuk mengangkat satu tiang saja dibutuhkan puluhan orang, apalagi lebih dari satu tiang. Padahal malam sebelumnya, masyarakat masih melihat tiang-tiang tersebut. Keanehan itu pada akhirnya dipandang sebagai sebuah isyarat gaib bahwa lokasi masjid haruslah di tempat tiang-tiang itu berada sekarang. Maka dimulailah pembangunan masjid tersebut. Di kemudian hari tiang-tiang masjid tersebut ada yang mengeramatkan.

Bangunan asli masjid berukuran 25 x 20 meter. Berbentuk mirip Rumah Adat Banjar (panggung), memakai tiang dan bertingkat. Bahan-bahan rangka, lantai dan dinding papan dari kayu ulin dengan bagian atap dari sirap yang tinggi. Ketika itu belum dibuat menara.

Sedangkan mimbar khotbah merupakan wakaf pribadi H. Mahmud (tokoh masyarakat setempat) yang ukirannya dikerjakan 2 orang ahli ukir pada masa itu, yaitu Buha dan Thahir. Mimbar itu terbuat dari kayu ulin, berukuran 3,8 meter x 1 meter dengan total tinggi 4,5 meter terdiri dari badan 2 meter dan menara 2,5 meter.

Peristiwa aneh sunting

Setelah masjid ini dibangun, terjadi lagi peristiwa aneh. Ketika masyarakat bersyukur menyaksikan jerih payahnya rampung, mereka bermusyawarah menentukan nama terbaik buat masjidnya itu. Namun, belum ada keputusan yang diambil.

Tiba-tiba datanglah sebuah perahu yang merapat di tepi sungai dekat masjid. Penumpang perahu yang tampak seperti pedagang itu pun turun dan meminta izin masyarakat untuk menunaikan salat. Karena kebetulan bertepatan tibanya dengan waktu salat. Tentu saja masyarakat merasa senang, karena orang itu merupakan jamaah salat yang pertama dari daerah lain.

Setelah salat, orang itu kembali melanjutkan perjalanannya. Tetapi masyarakat terkejut melihat sebuah kantong berisi uang tertinggal di tepi sungai dekat perahu tadi bersandar. Merekapun sepakat untuk menyimpannya kalau-kalau orang itu kembali. Apalagi setelah diingatnya orang itu berperilaku baik dan alim.[1]

Benar saja, beberapa hari kemudian orang itu datang lagi. Masyarakat pun kembali bergembira melihat si pemilik kantong berisi uang yang cukup banyak itu. Mereka bukan saja menyerahkan hak orang itu, melainkan juga menjamunya makan.

Pada waktu itulah, orang yang tidak diketahui jati dirinya itu berkata, "Urang-urang sini banar-banar kadada nang culasnya (orang-orang di sini semuanya jujur, tidak ada yang culas atau curang - terjemahan dari bahasa Banjar)". Kemudian orang itu bertanya seputar nama sungai tempat perahunya ditambat dan juga nama masjid yang baru dibangun itu. Masyarakat serentak menggelengkan kepalanya. Baik sungai atau masjid memang belum ada namanya. Orang itupun tersenyum sambil berkata,"Bagaimana kalau sungai itu diberi nama Sungai Banar dan masjidnya diberi nama Masigit (masjid) Sungai Banar?" Serentak masyarakat bertakbir memuji kebesaran Allah SWT. Kebuntuan masyarakat menamai masjid pun terpecahkan. Setelah itu, pria itupun pergi. Tidak seorangpun mengetahui asal usulnya.[1]

Usulan penggantian nama sunting

Hingga kini masyarakat meyakini pria misterius itu tergolong Waliyullah. Sebagai buktinya, pernah ada upaya penggantian nama masjid telah berulangkali dilakukan, tetapi masyarakat tetap tidak bisa menerima. Upaya penggantian pernah terjadi tahun 1990. Nama masjid diganti menjadi Masjid Baiturrahman. Nama baru ini bahkan disahkan dalam sertifikat di Kantor Pertanahan Hulu Sungai Utara. Pada tahun 2000, muncul nama baru: Masjid Istiqomah. Nama inipun tercantum dalam Surat Keterangan Kepala Perwakilan Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan tentang Penetapan Nomor Induk Masjid, dengan nomor urut: 1764090/61916.

Tetapi nama-nama baru itu sangat tidak populer dan hampir tidak pernah disebut masyarakat, kecuali nama Masjid Sungai Banar. Belakangan nama masjid ditambah menjadi Masjid Jami Sungai Banar untuk menunjukkan sebagai masjid besar dan bersejarah. Berdirinya Masjid Jami Sungai Banar menyemarakkan kehidupan beragama masyarakat Amuntai dan sekitarnya. Bahkan ada yang datang dari wilayah lain untuk belajar dan menuntut ilmu. Keberadaannya dapat dikatakan sebagai pusat pengembangan Agama Islam waktu itu.[1]

Pasukan Gaib sunting

Bagi masyarakat Amuntai, para ulama besar itu selain dikenal dengan kedalaman ilmunya, juga karena karamahnya. Cerita seputar karamah para ulama itu masih dipercaya hingga kini. Diantaranya cerita karamah Tuan Guru H. Abdul Hamid yang tubuhnya terangkat seperti terbang saat sedang itikaf di bulan Ramadhan. erlebih lagi, saat perang kemerdekaan masjid ini pernah dijadikan semacam markas untuk mengatur strategi perang. Ketika itu, sekelompok orang yang dijuluki Pasukan Gaib dikenal memiliki ilmu daya linuwih yang mampu mengalahkan musuh berkekuatan besar. Penjajah bahkan tidak pernah bisa mengenali atau mendeteksi kehadiran mereka. Sepintas mereka layaknya santri biasa, mengaji Kitab Kuning. Padahal mereka juga digembleng ilmu-ilmu kadigjayaan agar siap menjadi Pasukan Gaib. Dikisahkan, suatu ketika Pasukan Gaib yang dipimpin Mat’ali bersama wakilnya Itar dan sekitar 70 orang berniat menyerang markas Belanda. Sebelum berangkat mereka mengambil kain putih yang biasa dipakai Khatib Jumat. Mereka lalu menyobek kain itu menjadi dua. Sebuah diikatkan did kepala, yang lain diikatkan di pinggang. Sedangkan tongkat Khatib dijadikan tiang bendera pasukan sekaligus juga tombak. Mereka pun menyerbu sarang musuh dan memperoleh kemenangan mutlak tanpa ada korban dipihak Pasukan Gaib. Sebagian musuh kabur ke daerah lain. Kisah ini sangat terkenal, terutama menyangkut kekuatan gaib yang dimiliki pasukan itu. Tetapi sayangnya, Misteri tidak berhasil melacak jejak ilmu kadigjayaan Pasukan Gaib (Ghost Soldiers).

Tiang perdamaian sunting

Dalam pada itu, Misteri mendengar pula beberapa kisah lain yang tergolong unik seputar masjid yang juga merupakan cagar budaya ini. Pada zaman dulu, apabila terjadi pertikaian antar suku, maka mereka melakukan pembicaraan damai di masjid ini. Sebagaimana diungkapkan Ruben, warga suku Dayak Kenyah yang tinggal di wilayah Muara Kate, Tabalong. Menurutnya, cerita seputar karomah masjid itu didapatnya dari orang-orang tua dulu. Dia menceritakan, pernah ada pertikaan warga. Maka di antara mereka yang bertikai itu kemudian mengambil inisiatif untuk mengadakan perjanjian damai di Masjid Jami. Padahal lokasi pertikaan itu sendiri jauh dari wilayah Amuntai. Terkadang yang bertikai pun berlainan keyakinan dengan ulama. Ketika itu ulama-ulama besar memiliki kharisma yang diyakini mampu mengakhiri pertikaian. Konon mereka yang bertikai itu melakukan perdamaian di dekat salah satu tiang masjid. Hingga kini, ada sebagian orang yang mengeramatkan tiang perdamaian tersebut. Misteri terkejut juga mendengarnya. Tapi begitulah sebuah kisah tutur turun-temurun yang masih hidup. Uniknya lagi, tiang yang dikeramatkan itupun tidak semua orang mengetahuinya.

Pengunjung masjid dari berbagai wilayah sunting

Keyakinan sebagian orang terhadap karomah masjid ini, setidaknya dibuktikan sejumlah mahasiswa IAIN Banjarmasin yang melakukan penelitian seputar maksud tujuan orang berkunjung atau berziarah ke Masjid Jami. Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada juga dari negara tetangga.

Banyak di antara peziarah yang datang bermaksud melakukan tirakat untuk suatu hajat tertentu. Pada saat tirakat mereka biasanya juga bernazar, apabila hajatnya terkabul maka akan datang lagi untuk menunaikan nazarnya. Ada kepercayaan di masyarakat bahwa kalau mau pergi haji, datanglah ke Masjid Jami. Maksudnya adalah, apabila seseorang berkeinginan beribadah haji ke Makkah, tetapi kekurangan atau bahkan tidak ada dana yang mencukupi, maka mereka datang ke Masjid Jami untuk melakukan tirakat. Namun tidak semua yang tirakat di Masjid Jami berhajat naik haji. Ada di antara mereka yang ingin mendapat jodoh, usahanya laris, dan lain-lain. Semua itu merupakan hal wajar dan sah-sah saja.

Selain tempat ibadah juga pernah dipergunakan para pejuang kemerdekaan RI untuk menyusun strategi melawan penjajah Belanda, masjid ini sudah masuk dalam daftar cagarbudaya dan banyak di kunjungi orang untuk berziarah.[2]

Referensi sunting