Homo floresiensis

spesies hominid yang telah punah
(Dialihkan dari Manusia Flores)

Homo floresiensis ("Manusia Flores", dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2002.[1][2][3] Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia modern (sekitar 100 cm).

Homo floresiensis
Periode Pleistosen Akhir, 94–13 Ka

Taksonomi
KerajaanAnimalia
FilumChordata
KelasMammalia
OrdoPrimates
FamiliHominidae
GenusHomo
SpesiesHomo floresiensis
Tipe taksonomiLB1
Tata nama
Dinamakan berdasarkanPulau Flores
Distribusi

Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya.[1][2] Usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.[4]

Penemuan sunting

 
Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.

Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.

Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England. Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu (bukan fosil) tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan, dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.

Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar 18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis DNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.

Ciri-ciri sunting

Ciri-ciri manusia liang bua adalah mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah,berukuran kecil, dan dengan volume otak 380 cc. kapasitas cranial tersebut berada jauh di bawah Homo Erectus ( 1000 cc ), manusia modern Homo sapiens (1400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (380 cc)

Kontroversi sunting

 
Salinan tengkorak H. floresiensis "LB1" (kiri) dibandingkan dengan tengkorak manusia yang terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.

Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil").[5] Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.

Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat 2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.

Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal.[6]

Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali.[7] Hasil analisis kladistika dan statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1 (betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali, beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal Significance.[8][9] Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.

Referensi sunting

Homo floresiensis pertama kali dipaparkan dalam dua tulisan yang diterbitkan dalam majalah Nature, setahun setelah ditemukan:

  • Brown, P., et al. A new small-bodied hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia. Nature 431:1055-1061 (27 Oktober 2004).
  • Morwood, M. J., et al. Archaeology and age of a new hominin from Flores in eastern Indonesia. Nature 431:1087-1091 (27 Oktober 2004).
  • Kate Wong. The littlest human. 'Scientific American Februari 2005: 40-49

Bantahan terhadap Homo floresiensis

  • Jacob, T., E. Indriati, R. P. Soejono, K. Hsü, D. W. Frayer, R. B. Eckhardt, A. J. Kuperavage, A. Thorne, and M. Henneberg. 2006. Pygmoid Australomelanesian Homo sapiens skeletal remains from Liang Bua, Flores: Population affinities and pathological abnormalities. PNAS USA 103: 13421–13426 (publikasi online sebelum cetak

Catatan kaki sunting

  1. ^ a b Brown, P. (October 27, 2004). "A new small-bodied hominin from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia". Nature. 431. doi:10.1038/nature02999.  Teks " pages 1055–1061 " akan diabaikan (bantuan);
  2. ^ a b Morwood, M. J. (27 Oktober 2004). "Archaeology and age of a new hominin from Flores in eastern Indonesia". Nature. 431: 1087–1091. doi:10.1038/nature02956. 
  3. ^ Mengenal Museum Kars (8): Gua Liang Bua, Kawasan Kars NTT Tempat Homo Floresiensis Diarsipkan 2010-12-23 di Wayback Machine.. Artikel di laman esdm.go.id. Edisi 14 Agustus 2009.
  4. ^ Morwood, M. J. (13 October 2005). "Further evidence for small-bodied hominins from the Late Pleistocene of Flores, Indonesia". Nature. 437: 1012–1017. doi:10.1038/nature04022. 
  5. ^ Jacob, T. (2006). "Pygmoid Australomelanesian Homo Sapiens Skeletal Remains from Liang Bua, Flores: Population Affinities and Pathological Abnormalities". PNAS. 103: 13421–13426. doi:10.1073/pnas.0605563103. 
  6. ^ Randerson, Jason "Yes, it's a Hobbit. The debate that has divided science is solved at last (sort of)", The Guardian, 21 September 2007
  7. ^ Lyras, G.A. (2009). "The origin of Homo floresiensis and its relation to evolutionary processes under isolation". Anthropological Science Vol. , , 2009. 117(1): 33–43. doi:10.1537/ase.080411. 
  8. ^ Jungers, W. (19 November 2009). "The geometry of hobbits: Homo floresiensis and human evolution". Significance. 6 (4): 159–164. doi:10.1111/j.1740-9713.2009.00389.x. 
  9. ^ 'Hobbits' Are a New Human Species, According to Statistical Analysis of Fossils. ScienceDaily. edisi 19 November 2009.

Pranala luar sunting