Maharlika adalah sebutan bagi kaum pendekar feodal dalam masyarakat Tagalog di Luzon, Filipina. Istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol menjadi hidalgo, yang berarti orang merdeka, libre, atau orang bebas.[1] Kaum Maharlika tergolong bangsawan rendahan, sama seperti kaum Timawa dalam masyarakat Bisaya. Meskipun demikian, dalam bahasa Filipino modern, istilah ini secara keliru diartikan sebagai "bangsawan kerajaan", yang sebenarnya adalah status turun-temurun dari kaum Maginoo.[2]

Etimologi sunting

 
Lukisan seorang ibu dan anak kaum Maharlika berlatar belakang Torogan, rumah kaum bangsawan.

Dalam bahasa-bahasa Hindia-Melayu (termasuk bahasa-bahasa di daerah berpenduduk Muslim di Filipina) kata-kata yang berkerabat dengan istilah maharlika, yakni mardika, merdeka, merdeheka, atau maradika berarti "merdeka" (lawan kata dari perhambaan).[3]

Istilah "merdica" (mardica atau mardika), yang juga seakar dengan istilah maharlika, adalah sebutan bagi orang-orang pribumi Ternate dan Tidore di Maluku yang dibaptis menjadi pemeluk agama Katolik oleh para misionaris Yesuit pada masa pendudukan Portugis. Sejumlah besar orang Merdica dipindahkan oleh bangsa Spanyol ke Filipina dan membentuk perkampungan Ternate dan Tanza di pesisir Teluk Manila pada 1663.[3]

Penggambaran sunting

Kaum Maharlika adalah kaum pendekar yang merdeka.[4] Sebagaimana kaum Timawa, mereka adalah kawula yang merdeka di bawah pemerintahan datu. Mereka dibebaskan dari kewajiban membayar pajak dan mempersembahkan upeti, namun diwajibkan berperang membela datu junjungannya. Di masa perang, kaum Maharlika wajib memasok dan mempersiapkan persenjataan atas biaya sendiri, serta wajib taat pada titah datu untuk maju berperang di mana saja dan kapan saja, dengan imbalan sebagian dari ganima (pampasan perang). Kaum Maharlika maju menyertai para junjungannya ke medan perang selaku rekan seperjuangan dan selalu diberi jatah pampasan perang. 1/5 bagian dari pampasan perang adalah jatah ginoo, sementara 4/5 bagian sisanya dibagi rata kepada pendekar Maharlika yang ikut bertempur, yang kemudian dibagi-bagi lagi kepada anak-anak buahnya. Kaum Maharlika kadang-kadang pula diwajibkan bekerja di lahan-lahan milik datu dan membantu usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan masyarakat.[2]

Meskipun demikian, tidak seperti kaum Timawa, kaum Maharlika lebih banyak mencurahkan waktu dan tenaga mereka untuk kegiatan militer dibanding kaum Timawa di Bisaya.[5] Meskipun dapat berpindah menjadi kawula datu lain karena perkawinan atau berpindah tempat tinggal, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Timawa, mereka diwajibkan untuk menyelenggarakan pesta untuk menghormati datu yang akan mereka tinggalkan dan mempersembahkan enam sampai delapan belas kepingan emas agar dibebaskan dari kewajiban-kewajibannya pada Sang Datu. Berbeda dari kaum Maharlika, kaum Timawa bebas bergonta-ganti junjungan sekehendak hatinya,[2] sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Humabon pada saat kedatangan Fernão de Magalhães.

Sumber-sumber dan historiografi kritis sunting

Satu-satunya keterangan tertulis tentang kaum Maharlika dari masa jayanya adalah catatan Juan de Plasencia, seorang bruder Fransiskan pada abad ke-16. Ia membedakan kaum ini dari kaum ningrat turunan dalam masyarakat Tagalog (kaum Maginoo, termasuk datu). Sejarawan William Henry Scott meyakini bahwa kaum ini adalah keturunan para pendekar berharkat mulia yang menikahi anak-anak bangsawan Maginoo atau mungkin pula berasal dari nasab bangsawan yang pernah ditaklukkan. Para pendekar berstatus serupa dalam kelompok-kelompok masyarakat lain di Filipina, seperti masyarakat Bagobo dan Bukidnon, tidak mewarisi harkat mulia dari orang tuanya tetapi meraihnya sendiri dengan kemahiran tempur yang dimilikinya.[5][6]

Penggunaan istilah maharlika di zaman modern sunting

Untuk propaganda sunting

Pada era Kilusang Bagong Lipunan (Gerakan Masyarakat Baru) di Filipina, mantan Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, menggunakan istilah maharlika untuk mendukung nasionalisme Filipino, dengan mengeluarkan pernyataan yang keliru bahwasanya istilah ini adalah sebutan di masa silam bagi kaum bangsawan Filipino, termasuk raja-raja dan pemimpin-pemimpin masyarakat Filipina kuno. Selain menganjurkan agar nama Filipina diganti menjadi "Maharlika", Ferdinand Marcos juga dengan gencar mendorong pemakaian istilah ini sebagai nama jalan, gedung-gedung besar, balai-balai perjamuan, desa-desa, dan organisasi-organisasi kebudayaan. Ferdinand Marcos sendiri menjadikannya sebagai nama sebuah jalan raya, sebuah perusahaan penyiaran, dan aula resepsi di Istana Malacañan.[2]

Ferdinand Marcos mulai gemar menggunakan istilah ini semenjak berlangsungnya Perang Dunia II. Ia mengaku pernah memimpin sepasukan gerilyawan dengan nama "Kesatuan Maharlika". Ferdinan Marcos juga menggunakan istilah maharlika sebagai nom de guerre-nya, dan menciptakan kesan bahwa dirinya adalah gerilyawan Filipino anti-Jepang yang paling berjasa pada Perang Dunia II. Pada masa Darurat Militer di Filipina, industri perfilman Filipina memproduksi sebuah film berjudul Maharlika guna memperlihatkan “tindakan kepahlawanan” Ferdinand Marcos di medan perang.[2][7]

Meskipun dimaknai secara keliru, gagasan pemakaian kata "maharlika" sebagai nama baru Filipina masih populer di kalangan masyarakat Muslim Filipino, masyarakat Lumad, dan suku-suku bangsa Filipino lainnya yang pernah berjuang melawan penjajahan Spanyol. Bagi mereka, nama "Filipina" adalah peninggalan kaum penjajah yang mengingatkan orang akan penguasa dari bangsa yang pernah menjajah mereka.[8][9]

Dalam budaya populer sunting

Di zaman modern, penggunaan istilah maharlika dilestarikan di bidang seni musik asli Filipina, khususnya dalam syair lagu "Ako ay Filipino."

Lihat pula sunting

Rujukan sunting

  1. ^ Scott, William Henry (1992). Looking for the Prehispanic Filipino and Other Essays in the Philippine History. Quezon City: New Day Publishers. ISBN 971-10-0524-7. 
  2. ^ a b c d e Paul Morrow (January 16, 2009). "Maharlika and the ancient class system". Pilipino Express. Diakses tanggal 18 Juli 2012. 
  3. ^ a b John. M. Lipski, with P. Mühlhaüsler and F. Duthin (1996). "Spanish in the Pacific". Dalam Stephen Adolphe Wurm & Peter Mühlhäusler. Atlas of Languages of Intercultural Communication in the Pacific, Asia, and the Americas: Texts, Volume 2 (PDF). Walter de Gruyter. hlm. 276. ISBN 9783110134179. 
  4. ^ Samuel K. Tan (2008). A History of the Philippines. UP Press. hlm. 40. ISBN 9789715425681. 
  5. ^ a b William Henry Scott (1994). Barangay: sixteenth-century Philippine culture and society. Ateneo de Manila University Press. ISBN 9789715501354. 
  6. ^ Laura Lee Junker (2000). Raiding, Trading, and Feasting: The Political Economy of Philippine Chiefdoms. Ateneo de Manila University Press. hlm. 126–127. ISBN 9789715503471. 
  7. ^ Quimpo, Nathan Gilbert. Filipino nationalism is a contradiction in terms, Colonial Name, Colonial Mentality and Ethnocentrism, Bagian Pertama dari Empat Bagian, "Kasama" Jld. 17 No. 3 / Juli–Agustus–September 2003 / Solidarity Philippines Australia Network, cpcabrisbance.org
  8. ^ Wolfgang Bethge. "King Philipp II and the Philippines". Literary Bridge Philippines. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-19. Diakses tanggal 6 November 2013. 
  9. ^ Nathan Gilbert Quimpo (2003). "Colonial Name, Colonial Mentality and Ethnocentrism". Kasama. 17 (3).