Merdeka (bahasa Sanskerta: महर्द्धिक maharddhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat) adalah bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu[1]. Dalam kata bahasa Melayu dan Indonesia yang bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen. Di kepulauan Nusantara, istilah ini juga berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan) berdiri sendiri yang dibebaskan[2]. Kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai pemegang kedaulatan politik sebelum Merdeka[3]. Atas nama Bangsa menyatakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, dan menjadikan bangsa memiliki sebuah negara yang Merdeka dengan karakter dan spirit bangsa sendiri[3].

Lukisan yang menggambarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan banyak kata seruan "Merdeka!"
Tunku Abdul Rahman saat dia memproklamasikan kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957, sambil meneriakkan "Merdeka!" Tujuh kali

Tuanku Abdul Rahman, Perdana mentri Malaysia perdana, mendeklarasikan kemerdekaan Malaya dengan tujuh teriakan Merdeka dan sekarang, seruan itu terus ditampilkan secara menonjol dalam perayaan Hari Merdeka Malaysia[4].

Etimologi

sunting

Istilah Mardijkers adalah kata bahasa Belanda yang diturunkan secara tidak tepat dari versi bahasa Portugis dari kata asli dalam bahasa Sanskerta maharddhika. Kata ini digunakan oleh penjajah Portugis dan Belanda untuk menunjuk mantan budak dari India di Hindia Belanda, yang menjadi asal kata merdeka dalam bahasa Melayu di kemudian hari. Mardijker adalah budak-budak yang sebelumnya beragama Katolik yang dimerdekakan oleh Belanda jika mereka memeluk Kristen Protestan denominasi Gereja Reformasi Belanda, Istilah ini tidak begitu penting di Indonesia selama jaman pergerakan anti-penjajahan dan pro-kemerdekaan di Indonesia, Malaya dan Singapura dan Malaysia. Kata ini menjadi seruan penyemangat mereka yang menghendaki kebebasan dari kekuasaan Belanda dan Jepang. Di Mindanao, orang-orang Suku Moro menggunakan kata maradeka dalam makna yang sama dengan merdeka dan kelompok kemerdekaan di sana dinamakan Maradeka. Dalam bahasa Tagalog, terdapat kata maharlika yang memiliki akar kata Sanskerta yang sama dengan merdeka, dan memiliki makna manusia yang bebas.

Pada tanggal 1 September disebutkan oleh Presiden Sukarno dalam pidato singkatnya:

"Sejak hari ini kita akan teriak dengan lantang, "Merdeka!" Lanjutkan seruan perang yang nyaring itu, saat jiwa berteriak keras untuk kebebasan! Jiwa kebebasan, jiwa perjuangan dan semangat kerja! UNTUK BERJUANG DAN BEKERJA! Buktikan!"

"Merdeka" juga digunakan di Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia:

Indonesia Raya, merdeka, merdeka! Tanahku; negeriku yang kucintai. Indonesia Raya, merdeka, merdeka! Hiduplah Indonesia Raya!
("Indonesia Agung, merdeka, merdeka! Tanahku, negeriku yang kucintai. Indonesia Agung, merdeka! Hidup Indonesia Agung!")

Nama Merdeka diabadikan sebagai nama perguruan tinggi swasta di Jawa Timur yakni Universitas Merdeka Malang dan juga diabadikan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam yang meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah yang dikenal dengan nama Kodam XIII/Merdeka yang bermarkas di Manado.

Istilah merdeka digunakan di Indonesia dengan cara yang sama untuk menunjukkan kebebasan dari pemerintah kolonial Belanda selama perjuangan kemerdekaan tahun 1940-an.

Didalam teks proklamasi menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia[3]. Bangsa menyiratkan kesatuan psikologis sosiologis yang menjadi dasar bagi berdirinya kesatuan politik dengan batas-batas geografis yang disebut negara[3].

Menjadi bangsa memiliki proses yang lama, berawal dari kerajaan-kerajaan dari penjajahan bangsa asing, sebagai pemegang kedaulatan politik sebelum kemerdekaan yang bersifat lokal dari Aceh, Padang, Bengkulu, Lampung, Palembang, Jayakarta, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Jawa Timur, Gresik, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya, melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang bertujuan menduduki kerajaan-kerajaan tersebut untuk menguasai Nusantara [3]. Peristiwa 17 Agustus 1945 merupakan langkah pertama bagi bangsa Indonesia yang secara jelas dan tegas menyatakan kemerdekaan bebas dari pengaruh kolonial.

Di malaysia, di mana malaya, Kalimantan Utara, Sarawak dan Singapura bergabung pada tahun 1963, istilah tersebut masih tetap relevan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat pada hari libur nasional Malaysia yaitu hari Merdeka, memperingati Kemerdekaan malaya pada tanggal 31 Agustus 1957, dan Dataran Merdeka dimana upacara pertama pengibaran bendera Malaya diadakan setelah kemerdekaan. Borneo Utara dan Sarawak di Borneo Utara secara resmi bergabung untuk membentuk Malaysia pada tanggal 31 Agustus 1963 tetapi karena tantangan dari Indonesia dan Filifina dan untuk memberikan waktu kepada tim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan referendum di Borneo Utara dan Sarawak mengenai partisipasi mereka dalam federasi baru. ,tanggal tersebut diundur menjadi 16 September, yang kini diperingati sebagai Hari Malaysia[4].

Perjuangan Kerajaan Nusantara

sunting

Dalam rentang waktu yang lama hingga proklamasi para raja, sultan, dan bangsawan diseluruh kerajaan terus berjuang melawan penjajah di Indonesia kita mengenal nama-nama pahlawan Pangeran Diponogoro keraton Yogyakarta, Ki. Akmal Dalom Raja Kapitan, Pangeran Suhaimi, Pangeran Maulana Balyan keraton Gedung Dalom Lampung, Hasanudin keraton Cirebon, Ageng Tirtayasa keraton Banten, Iskandar Muda keraton Aceh, Muhammad Badarudin keraton Palembang, Hamongkubuwono IX keraton Jogjakarta, Radin Intan dan masih banyak lagi yang lainnya[3]. Pada saat proklamasi kemerdekaan kerajaan Nusantara raja dan sultannya menyatakan bergabung dengan negara Indonesia yang diproklamasikan.

Meskipun hingga proklamasi tahun 1945 kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksistensi namun secara sukarela menyatakan bergabung, ada yang bersifat legal formal seperti Yogyakarta-Solo serta beberapa kerajaan lainnya, ada pula yang langsung menyesuaikan diri dengan republik[3]. Dengan bergabungnya kerajaan Nusantara maka terbangun Indonesia sebagai negara yang utuh hingga sekarang.

Setelah proklamasi Indonesian membentuk pemerintahan sendiri dan memiliki Undang-undang Dasar. Dalam UUD 1945 yang disusun oleh para founding fathers terbaca jelas bahwa keinginan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia modern, namun dengan meresepsi nilai-nilai budaya Nusantara yang bersumber dari kerajaan-kerajaan Nusantara [3]. Bahkan bangunan politik Indonesia yang memiliki wilayah dari sabang hingga Merauke merupakan hasil dialog antara negara Republik Indonesia dengan kerajaan-kerajaan Nusantara[3].

Hasil dialog tersebut dapat dilihat dari dalam penjelasan UUD 1945, Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturend landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa Jawa dan Bali negeri Minangkabau, dusun dan Marga di Sumatra dan sebagainya[3]. Daerahnya memiliki susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap daerah yang bersifat Istimewa[3]. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah Istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak daerah tersebut[3].

Yang dimaksud dengan zelfbesturend adalah daerah swapraja yang berhak mengatur pemerintahan nya sendiri[3]. Daerah swapraja dalam pada kolonial yang dimaksud dalam penjelasan UUD negara republik Indonesia dengan mengacu pada kerajaan Nusantara. Oleh sebab itu yang dimaksud dalam zelfbesturend dalam UUD 1945 adalah kerajaan-kerajaan Nusantara yang masih eksistensi[3].

Kemudian dijabarkan dalam Undang-undang No 22 tahun 1948, dan dalam UU nomor 1 tahun 1957 pasal 1 ayat (2): Daerah-Daerah yang memiliki hak asal-usul dan di jaman sebelum kemerdekaan RI memiliki pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa yang setingkat dengan Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri[3]. Pasal 18 ayat (5) Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai Daerahnya dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu, pengaturan sejenis juga dapat ditemui dalam pasal 25 ayat 1 UU No. 1 tahun 1957[3].

Peran Kerajaan Nusantara

sunting

Memiliki benang merah yang jelas sejak kerajaan Nusantara, perlawanan seluruh rakyat Indonesia dengan dipimpin oleh para raja dan sultan, hingga proklamasi dan penyusunan UUD 1945, semuanya menunjukkan bangunan negara Indonesia didasarkan pada kesatuan daerah dan daerah dan juga berdasarkan kesatuan atau harmoni yang sesuai dengan filosofi dasar kebudayaan Nusantara, spirit untuk membangun Indonesia yang bersendikan pada suasana kebatinan bangsa Indonesia, yang bersumber pada kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia yang tercermin dari persatuan masyarakat adat[3]. Kerajaan Adat Nusantara sebagai kerangka dasar bangunan negara modern.

Kerajaan Adat Nusantara memiliki peran penting untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal, kebhikaan, dan inklusifitas, para raja dan sultan hingga saat ini masih menjadi motivator, tokoh panutan yang kata-katanya dipatuhi oleh masyarakat adat, merupakan potensi penggerak pembangunan nasional. Pemerintah Indonesia melakukan penataan kerajaan Nusantara sebagai aset budaya bangsa. Dengan penataan tersebut akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses pembangunan. Klaim-klaim kerajaan dilihat dalam perspektif legal-konstitusional. Persyaratan yang harus terpenuhi:

  1. Raja yang memerintah saat ini merupakan garis keturunan raja, dan hal itu harus bisa diuraikan dengan jelas disertai alat bukti yang cukup.
  2. Memiliki kraton atau berada di kraton yang sama seperti di masa lalu.
  3. Memiliki pusaka yang dipergunakan di masa lalu yang masih tersimpan dan terawat dengan baik.
  4. Memiliki rakyat yang mengakui dan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kerajaan adat tersebut.
  5. Memiliki pemahaman akan nilai tradisi kerajaan masa lalu, dan nilai tradisi itu masih dipertahankan hingga sekarang.
  6. Memiliki Situs, Prasasti atau surat-surat penting yang menunjukkan bahwa kerajaan tersebut memiliki hubungan dengan kerajaan lain di masa lalu.

Keenam batasan yang dijadikan pijakan dalam setiap pengambilan keputusan yang ter verifikasi terkait dengan Kerajaan Adat nusantara maupun pemajuan kebudayaan. Keberadaan masyarakat adat yang berbasis kerajaan adat nusantara memiliki dasar yuridis konstitusional. Untuk itu harus disesuaikan dengan amanat Pasal 32 UUD 1945, penerbitan Undang-undang tentang kerajaan adat nusantara sebagai warisan kebudayaan nasional. Untuk memperkuat kebhinekaan dan pemajuan kebudayaan nasional[3].

Malaysia

sunting

Peristiwa menjelang kemerdekaan, upaya kemerdekaan dipelopori oleh Tuanku Abdul Rahman, Perdana Mentri pertama Malaysia, yang memimpin delegasi mentri dan pemimpin politik Malaya dalam negosiasi dengan Inggris di London untuk Merdeka, atau kemerdekaan bersama dengan presiden pertama Cina Malaysia. Association (MCA) Tun Dato Sri Tan Cheng Lock dan Presiden kelima Kongres India Malaysia Tun V. T. Sambuthan.

Setelah menjadi jelas ancaman Komunis yang ditimbulkan selama darurat Malaya mereda, kesepakatan dicapai pada 8 Februari 1956, bagi malaya untuk memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Inggris. Namun, alasan logistik dan administrasi menyebabkan proklamasi kemerdekaan resmi pada tahun berikutnya, pada tanggal 31 Agustus 1957, di Stadion Merdeka, di Kuala Lumpur, yang sengaja dibangun untuk pernyataan hari kemerdekaan nasional. Pengumuman hari itu ditetapkan beberapa bulan sebelumnya oleh Tuanku Abdul Rahman dalam pertemuan Aliansi di Malaka pada Februari 1957[4].

Lihat juga

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ https://juragancipir.com/merdeka-adalah/
  2. ^ https://kbbi.web.id/merdeka
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r https://kagama.co/2022/11/09/peran-kerajaan-nusantara-dalam-proklamasi-kemerdekaan-indonesia/
  4. ^ a b c https://www.malaysia.gov.my/portal/content/30120