Magdalena Cho (1806-1839) adalah seorang martir Katolik Korea. Sebagai putri dari Katarina Yi, Magdalena bangun pagi-pagi benar setiap harinya untuk berdoa. Dia membantu ibunya dengan menjahit dan menenun. Ketika Magdalena berusia 18 tahun, ibunya menginginkan supaya dia menikah dengan seorang Katolik, namun Magdalena memberitahukan kepada ibunya bahwa dia ingin hidup sebagai seorang perawan. Ibunya cukup saleh untuk memahami keinginan putrinya itu, namun ibunya khawatir karena orang-orang pagan akan mencurigai putrinya, dan jika ibunya menjadi martir, putrinya akan ditinggalkan sendiri tanpa ada seorangpun yang akan membantunya. Ibunya berusaha untuk membujuk putrinya untuk menikah, namun usahanya sia-sia. Magdalena bersikeras untuk menjadi seorang perawan bagi Kristus.

Magdalena pergi ke Seoul untuk menghindari gangguan dari keluarganya dan rasa curiga orang lain, dan dia menjadi seorang pembantu di sebuah keluarga Katolik. Dia jatuh sakit karena kerja keras dan kekurangan gizi. Setelah dia pulih, dia pindah ke tempat yang pekerjaannya lebih mudah. Dia mendapatkan uang dan mengirimkannya kepada ibunya.

Ketika Magdalena berusia lebih dari 30 tahun, dia kembali ke ibunya, dia berpikir bahwa tak akan ada lagi orang-orang yang akan mengganggu dia supaya dia menikah. Dia mengajar para ketekumen yang tidak bisa membaca, merawat orang sakit dan membaptis anak-anak pagan yang dalam bahaya kematian. Dia seorang yang ramah dan rendah hati. Dia juga seorang yang tidak egois dan selalu mengambil pekerjaan yang lebih sulit untuk dirinya sendiri, dan memberikan pekerjaan yang lebih mudah kepada orang lain.

Untuk menghindari penganiayaan yang terjadi di tempat itu, Katarina memutuskan untuk pindah ke Seoul bersama dengan putrinya yaitu Magdalena. Uskup Imbert mendengar kabar bahwa mereka datang ke Seoul dan membantu mereka untuk menemukan tempat tinggal di sebuah rumah seorang Katolik. Namun demikian, mereka tinggal dengan damai hanya dalam waktu yang singkat. Seoul menjadi tempat yang lebih berbahaya bagi umat Katolik daripada di pedesaan. Mereka memutuskan untuk menghadapi penganiayaan di Seoul dengan berani.

Suatu hari, beberapa teman mereka berkumpul di rumah mereka dan membicarakan tentang Uskup Imbert yang sedang dicari oleh para penculik. Magdalena memberi saran, bahwa mereka akan menyerahkan diri jika Uskup Imbert ditangkap, dan mereka setuju dengan saran itu. Para wanita saleh itu tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk kesempatan mereka untuk menyerahkan diri. Lima dari mereka ditangkap satu bulan kemudian pada akhir Juni atau awal Juli 1839. Pada waktu itu, Katarina berusia 57 tahun dan Magdalena berusia 33 tahun.

Tentu saja, mereka tidak menyerah kepada permintaan polisi untuk menyangkal agama mereka, dan mereka disiksa dengan kejam. Setelah dipukuli dan disiksa dengan kejam, mereka jatuh sakit di penjara selama beberapa minggu. Walaupun mereka ingin menjadi martir, mereka meninggal karena sakit di penjara pada akhir September atau awal Oktober 1839. Satu per satu, dalam rentang beberapa hari, mereka meninggal dengan bahagia dan memuliakan Allah.[1]

Referensi sunting