Kidung Gregorian (bahasa Latin: Cantus Gregorianus) adalah tradisi pokok kidung polos Gereja Barat, sejenis monofoni, nyanyian suci dalam bahasa Latin (adakalanya bahasa Yunani) di Gereja Katolik. Kidung Gregorian sangat berkembang di kawasan barat dan tengah Eropa pada abad ke-9 dan ke-10, dan disempurnakan dengan penambahan maupun penghilangan bagian-bagian tertentu di kemudian hari. Meskipun Paus Gregorius I disebut-sebut dalam legenda populer sebagai penciptanya, para ahli meyakini bahwa kidung Gregorian adalah hasil sintesis kidung Romawi dan kidung Galia pada zaman wangsa Karoling, lama sesudah Paus Gregorius I wafat.

Introitus Gaudeamus omnes, ditulis dengan notasi balok dalam buku nyanyian Graduale Aboense antara abad ke-14 dan ke-15 sebagai bentuk penghormatan terhadap Santo Henrikus, pelindung negara Finlandia

Kumpulan besar kidung ini adalah musik tertua yang dikenal karena merupakan kumpulan kidung pertama yang diberi notasi pada abad ke-10. Secara umum, kidung-kidung Gregorian dipelajari melalui metode viva voce, yakni dengan mengulangi contoh secara lisan, yang memerlukan pengalaman bertahun-tahun lamanya di Schola Cantorum. Kidung Gregorian bersumber dari kehidupan monastik, di mana menyanyikan 'Ibadat Suci' sembilan kali sehari pada waktu-waktu tertentu dijumjung tinggi seturut Peraturan Santo Benediktus. Melagukan ayat-ayat mazmur mendominasi sebagian besar dari rutinitas hidup dalam komunitas monastik, sementara sebuah kelompok kecil dan para solois menyanyikan kidung-kidung.

Menurut tradisi, kidung Gregorian dinyanyikan oleh paduan suara laki-laki dewasa dan kanak-kanak di dalam gereja, atau oleh para biarawan dan biarawati di dalam kapel biara masing-masing. Kidung Gregorian adalah kidung Ritus Romawi yang dinyanyikan dalam perayaan Misa maupun dalam ibadat harian di biara-biara. Meskipun tradisi-tradisi nyanyian ibadat asli lainnya dalam Gereja Barat telah tergantikan atau terpinggirkan oleh kidung Gregorian, kidung Ambrosian masih tetap lestari di kota Milan, dan ada pula pakar-pakar musik yang mendalami kedua ragam kidung ini maupun kidung Mozarab umat Kristen Spanyol. Kidung Gregorian sekarang ini tidak lagi diwajibkan, namun Gereja Katolik Roma secara resmi masih menganggapnya sebagai ragam musik yang paling sesuai untuk peribadatan.[1] Pada abad ke-20, kidung Gregorian kembali diminati, baik di bidang kajian musik maupun di kalangan masyarakat umum.

Sejarah

sunting

Kidung Gregorian terutama digubah, dikodifikasi, dan diberi notasi di wilayah-wilayah Eropa Barat dan Eropa Tengah yang dikuasai Bangsa Frank pada abad ke-9 dan ke-10, dengan penambahan-penambahan dan penyuntingan-penyuntingan dikemudian hari, tetapi naskah-naskah dan banyak dari melodi-melodinya jauh berasal dari beberapa abad sebelumnya. Meskipun banyak orang meyakini bahwa Paus Gregorius Agung sendiri yang menciptakan kidung Gregorian, para sarjana kini percaya bahwa kidung tersebut membawa-bawa nama Paus itu sejak sintesis Karolingian yang terjadi di kemudian hari antara kidung Romawi dan Kidung Gallika, dan pada masa itu mencatut nama Gregorius I merupakan 'trik pemasaran' untuk memberi kesan adanya inspirasi suci sehingga dapat menghasilkan satu protokol liturgis yang akan digunakan di seluruh kekaisaran. Satu kekaisaran, satu Gereja, satu Kidung - kesan kesatuan merupakan isu pokok pada era Karolingian.

Selama abad-abad berikutnya kidung Gregorian tetap menempati jantung musik Gereja, di mana ia menumbuhkan berbagai cabang dalam arti bahwa praktik-praktik performansi yang baru bermunculan di mana musik baru dalam naskah yang baru diperkenalkan ataupun kidung-kidung yang sudah ada diberi tambahan dengan cara menyusunnya menjadi Organum. Bahkan musik polifonik yang muncul dari kidung-kidung kuno nan luhur dalam Organa oleh Leonin dan Perotin di Paris (1160-1240) berakhir dengan kidung monofonik dan dalam tradisi-tradisi di kemudian hari gaya-gaya komposisi baru dipraktikkan dalam jukstaposisi (atau ko-habitasi) dengan kidung monofonik. Praktik ini berlanjut sampai ke masa hidup Francois Couperin, yang misa-misa organnya dimaksudkan untuk dinyanyikan silih berganti dengan kidung homofonik. Meskipun hampir tidak digunakan lagi sesudah periode Baroque, kidung mengalami kebangkitan kembali pada abad ke-19 dalam Gereja Katolik Roma dan sayap Anglo-Katolik dari Komuni Anglikan.

Kidung-kidung Gregorian ditulis dalam notasi grafis yang menggunakan seperangkat tanda-tanda khusus yang disebut neuma, yang memperlihatkan suatu gerak musik dasar (lihat notasi musik). Dalam buku-buku kidung yang terdahulu, pemberian notasi dilakukan dengan cara menyingkat kata-kata dalam kalimat syair sedapat mungkin lalu diimbuhi neuma-neuma di atasnya. Dalam tahap selanjutnya ditambahkan satu atau lebih garis paranada, dan pada abad ke-11 kebutuhan untuk memperlihatkan pula interval-interval menciptakan notasi balok, yang kelak menjadi sumber dari notasi balok modern dalam lima garis paranada yang dikembangkan pada abad ke-16.[2] Kidung gregorian merupakan tradisi musik yang dominan dan sentral di seluruh Eropa dan menjadi akar perkembangan musik yang bersumber darinya, seperti kebangkitan polifoni pada abad ke-11.

Penyanyi

sunting
 
Seekor burung merpati perlambang Roh Kudus hinggap pada pundak Paus Gregorius I menjadi simbol inspirasi ilahi

Kidung Gregorian secara tradisional dinyanyikan oleh paduan suara pria dan anak-anak lelaki di dalam gereja-gereja, atau oleh biarawan dan biarawati di dalam kapela-kapela mereka. Kidung ini adalah musik dari Ritus Romawi, dinyanyikan dalam Misa dan Ibadat Harian monastik. Meskipun kidung gregorian menggantikan atau menyingkirkan tradisi-tradisi kidung-kidung asli Kristiani Barat lainnya dan menjadi musik resmi liturgi Kristiani Barat, kidung ambrosian masih tetap dipergunakan di Milan, dan ada pula para musikolog yang mengeksprolasi baik kidung gregorian dan ambrosian maupun kidung Mozarabik milik umat Kristiani Spanyol. Meskipun kidung gregorian tidak lagi diwajibkan, Gereja Katolik Roma masih secara resmi menganggapnya sebagai musik yang paling cocok untuk peribadatan.[1] Pada abad ke-20, kidung gregorian mengalami resurgensi musikologis dan populer.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ a b Konstitusi Mengenai Liturgi Suci, Konsili Vatikan II Diarsipkan 20 Desember 2012 di Archive.is; Paus Benediktus XVI: Catholic World News 28 Juni 2006 kedua-duanya diakses pada 5 Juli 2006
  2. ^ Perkembangan gaya-gaya notasi dibahas dalam Dolmetsch online, diakses 4 Juli 2006

Referensi

sunting
  • Graduale triplex (1979). Tournai: Desclée& Socii. ISBN 2-85274-094-X
  • Graduale Lagal' (1984 / 1990) Chris Hakkennes, Stichting Lagal Utrecht ISBN 90-800408-2-7
  • Liber usualis (1953). Tournai: Desclée& Socii.
  • Apel, Willi (1990). Gregorian Chant. Bloomington, IN: Indiana University Press. ISBN 0-253-20601-4. 
  •   "Gregorian chant" in the 1913 Catholic Encyclopedia., article by H. Bewerung.
  • Chew, Geoffrey. "Notation". Grove Music Online, ed. L. Macy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-21. Diakses tanggal 27, June. 
  • Crocker, Richard (1977). The Early Medieval Sequence. University of California Press. ISBN 0-520-02847-3. 
  • Dyer, Joseph. "Roman Catholic Church Music". Grove Music Online, ed. L. Macy. hlm. Section VI.1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-21. Diakses tanggal 28, June. 
  • Hiley, David (1990). Chant. In Performance Practice: Music before 1600, Howard Mayer Brown and Stanley Sadie, eds., pp. 37–54. New York: W.W. Norton & Co. ISBN 0-393-02807-0
  • Hiley, David (1995). Western Plainchant: A Handbook. Clarendon Press. ISBN 0-19-816572-2. 
  • Hoppin, Richard, ed. (1978). Anthology of Medieval Music. W. W. Norton & Company. ISBN 0-393-09080-9. 
  • Hoppin, Richard (1978). Medieval Music. W. W. Norton & Company. ISBN 0-393-09090-6. 
  • Le Mee, Catherine (1994). Chant : The Origins, Form, Practice, and Healing Power of Gregorian Chant. Harmony. ISBN 0-517-70037-9. 
  • Levy, Kenneth. "Plainchant". Grove Music Online, ed. L. Macy. hlm. Section VI.1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-21. Diakses tanggal 20, January. 
  • Mahrt, William P. "Gregorian Chant as a Paradigm of Sacred Music". Sacred Music. 133 (3): 5–14. 
  • Mahrt, William P. (2000). Chant. In A Performer's Guide to Medieval Music, Ross Duffin, ed., pp. 1–22. Bloomington, IN: Indiana University Press. ISBN 0-253-33752-6
  • McKinnon, James, ed. (1990). Antiquity and the Middle Ages. Prentice Hall. ISBN 0-13-036153-4. 
  • McKinnon, James W. "Christian Church, music of the early". Grove Music Online, ed. L. Macy. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-07-21. Diakses tanggal 11, July. 
  • Neuls-Bates, Carol, ed. (1996). Women in Music. Boston: Northeastern University Press. ISBN 1-55553-240-3. 
  • Novum, Canticum. "Lessons on Gregorian Chant: Notation, characteristics, rhythm, modes, the psalmody and scores". Diakses tanggal 11, July. 
  • Parrish, Carl (1986). A Treasury of Early Music. Mineola, NY: Dover Publications, Inc. ISBN 0-486-41088-9. 
  • Robinson, Ray, ed. (1978). Choral Music. W.W. Norton & Co. ISBN 0-393-09062-0. 
  • Wagner, Peter. (1911) Einführung in die Gregorianischen Melodien. Ein Handbuch der Choralwissenschaft. Leipzig: Breitkopf & Härtel.
  • Ward, Justine (1906). "The Reform of Church Music" (pdf). Atlantic Monthly. 
  • Wilson, David (1990). Music of the Middle Ages. Schirmer Books. ISBN 0-02-872951-X. 

Pranala luar

sunting