Ja'far bin Abi Thalib

sepupu dari Muhammad


Ja'far bin Abu Thalib (Arab: جعفر ابن أبي طالب) (dikenal juga dengan julukan Jafar-e-Tayyar) adalah putera dari Abu Thalib, sepupu dari Muhammad. dan kakak dari Khalifah ke-4 Ali bin Abu Thalib. Ja'far dibesarkan oleh pamannya, Abbas bin 'Abdul Muththalib, karena ayahnya yang miskin dan harus menghidupi keluarga besar.

Infobox orangJa'far bin Abi Thalib

Edit nilai pada Wikidata
Biografi
Kelahiran589 (Kalender Masehi Gregorius) Edit nilai pada Wikidata
Makkah Edit nilai pada Wikidata
Kematian629 Edit nilai pada Wikidata (39/40 tahun)
Mu'tah Edit nilai pada Wikidata
Tempat pemakamanJa'far ibn Abi Talib Mosque (en) Terjemahkan Galat: Kedua parameter tahun harus terisi! Edit nilai pada Wikidata
Data pribadi
AgamaIslam Edit nilai pada Wikidata
Kegiatan
Pekerjaanpemimpin militer Edit nilai pada Wikidata
KonflikPertempuran Mu'tah Edit nilai pada Wikidata
Keluarga
Pasangan nikahAsma binti Umays Edit nilai pada Wikidata
AnakAbdullah bin Ja'far, Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, Aun bin Ja'far Edit nilai pada Wikidata
Orang tuaAbu Thalib Edit nilai pada WikidataFatimah binti Asad Edit nilai pada Wikidata
SaudaraJumanah bint Abi Talib, Ummi Hani binti Abu Thalib, Ali bin Abi Thalib, Aqil bin Abi Thalib, Thalib bin Abu Thalib, Rayta bint Abi Talib (en) Terjemahkan, Asma bint Abi Talib (en) Terjemahkan dan Taliq ibn Abī Ṭālib (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata

Terdapat kemiripan antara Ja'far dan Muhammad, baik dalam rupa maupun sifat yang dimiliki. Muhammad memanggil Ja'far, "Bapak orang-orang Miskin", karena ia selalu menolong dan membantu orang miskin dengan semua uang yang dimiliki.[1]

Kehidupan awal

sunting

Ja'far bin Abi Thalib termasuk golongan awal memeluk Islam, sewaktu kecil dia dalam pengasuhan pamannya yaitu Al-Abbas, begitu juga saudaranya Ali bin Abi Thalib berada dalam pengasuhan Nabi Muhammad, Ja'far bin Abi Thalib menikah dengan Asma binti Umays. Dari pernikahan tersebut beliau dikarunia tiga orang anak yaitu Muhammad, Abdullah dan Auf.[1]

Hijrah ke Habasyah

sunting

Pada awal-awal masa Islam di Makkah, para sahabat banyak disiksa, disakiti, dicaci maki, bahkan dibunuh oleh pagan Quraisy karena keislaman mereka. Maka Muhammad memerintahkan beberapa sahabat untuk Hijrah ke Habasyah. Dua kali para sahabat diperintahkan Hijrah ke Habasyah. Yang pertama dipimpin Utsman bin Affan ra. Sedang yang kedua dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib ra, yang membawa 101 kaum muslimin. dan Nantinya, melalui Ja'far ra, raja negeri Habasyah, An-Najasyi yaitu Ashhamad bin Al-Abjar masuk Islam setelah menerima surat dari Muhammad yang dikirim melalui Amr bin Ummayyah Adh-Dhamary.[1]

Di Habasyah, Ja'far dan rombongan kaum muslimin mendapat jaminan perlindungan dari Raja Najasyi untuk tinggal dan bebas menjalankan keyakinan agamanya meski raja tersebut beragama Nasrani. Namun, pemuka pagan Quraisy tidak tinggal diam. Mereka mengutus Abdullah bin Abu Rabi'ah dan Amr bin ash, yang saat itu belum masuk Islam, untuk meloby Raja Najasi agar mengusir kaum muslimin dari negara mereka. Mereka mengatakan hal-hal yang buruk tentang kaum muslimin dan Tak lupa mereka membawa hadiah yang banyak untuk melancarkan urusan mereka. [1]

Namun Raja Najasy adalah raja yang adil. Beliau tidak serta merta menyetujuinya dan mengusir kaum muslimin begitu saja. Namun beliau menghadirkan kedua belah pihak untuk dimintai klarifikasi. Dipihak kaum muslimin diwakili oleh Ja'far bin Abu Thalib, sedangkan dari kaum pagan Quraisy diwakili oleh Amr bin Ash sebagai juru bicara. [1]

Ketika kedua belah pihak sudah saling bertemu, Raja Najasyi mempersilahkan Amr bin Ash, sebagai wakil dari pagan Quraisy menyampaikan tuntutannya. Beliau berkata, "Baginda raja yang mulia, orang-orang bodoh ini telah menyayar ke negeri paduka. Mereka meninggalkan agama nenek moyang, tetapi tidak pula memasuki agama paduka. Bahkan, mereka datang membawa agama baru yang mereka ciptakan dan tidak pernah kami kenal, dan tidak pula oleh paduka. Sungguh, kami telah diutus oleh orang-orang mulia dan terpandang diantara bangsa dan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, keluarga-keluarga mereka, agar paduka sudi mengembalikan orang ini kepada kaumnya."[1]

Maka Raja Najasyi bertanya kepada kaum muslimin, "Agama apa itu yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tetapi tidak memandang perlu pula kepada agama kami?"[1]

Ja'far bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata, "Wahai paduka yang mulia, kami dulu memang orang-orang yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahim, meyakiti tetangga, dan orang yang berkelana. Orang kuat waktu itu memakan yang lemah, hingga datanglah masanya Allah mengirimkan Rosul-Nya kepada kami dari kalangan kami. "[1]

Ja'far masih melanjutkan, " kami mengenal asal-usulnya, kejujuran, ketulusan, dan kemuliaan jiwanya. Ia mengaja kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya. dan agar membuang jauh-jauh batu-batu dan berhala yang kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu. Beliau menyuruh kami berbicara benar, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, berbuat baik pada tetangga, dan menahan diri dari menumpahkan darah serta semua yang dilarang Allah. Beliau melarang kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadap wanita baik-baik".[1]

"kemudian kami membenarkan dia dan kami beriman kepadanya. Kami ikuti dengan taat apa yang disampaikan dari Rabbnya. lalu kami beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan kami tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun. Kami mengharamkan apa yang diharamakanNya kepada kami. dan kami menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya untuk kami. Karena itu semua, kaum kami memusuhi kami, dan mengganggu kami dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Ketika mereka memaksa, menganiaya, mempersempit kehidupan, dan menghalangi kami dari agama kami, kami berhijrah ke negeri paduka dengan harapan akan mendapatkan perlindungan paduka dan terhindar dari perbuatan-perbuatan aniaya mereka".[1]

Raja Najasyi pun terkesima dengan tutur kata dari Ja'far bin Abu Thalib ra. beliau kemudian bertanya, "Apakah engkau membawa sesuatu yang diturunkan atas Rosulmu itu?",[1]

"Ya". ja'far menjawab. "Bacakan kepadaku" kata Raja Najasyi kemudian. [1]

Ja'far bin Abu Thalib pun membacakan surah Maryam dengan suara yang merdu. Mendengar hal tersebut, Raja Najasyi dan para pendeta yang ada disana pun menangis terharu. Ketika Ja'far telah selesai, Raja Najasyi berkata pada utusan pagan Quraisy, "Sesungguhnya yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa as berasal dari satu cahaya. Pergilah kalian berdua, Demi Allah kami tidak akan menyerahkan mereka pada kalian". [1]

Pertemuan itu berakhir, namun Amr bin Ash tidak terima dan besok dia akan menyampaikan sesuatu yang membuat kaum muslimin dalam posisi sulit. besoknya, Amr bin ash kembali menemui Raja dan para pembesar kerajaan. ia berkata, "Wahai paduka, orang-orang Islam itu telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan kedudukan Isa". Maka gemparlah istana kerajaan. DIadakanlah pertemuan kedua. Ketika telah datang rombongan kaum muslimin dan dua utusan dari pagan Quraisy, Raja Najasyi berkata pada Ja'far, "Bagaimana pandangan kalian terhadap Isa?".[1]

Ja'far bin Abu Thalib pun menjawab tanpa keraguan, "Kami akan mengatakan tentang Isa as sesuai dengan keterangan yang dibawa oleh Nabi kami, Muhammad bahwa "ia adalah seorang hamba Allah dan Rosul-Nya serta Kalimat-Nya yang ditiupkan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya". [1]

Raja Najasyi pun puas dan menerima jawaban dari Ja'far, dan tidak merasa bahwa m Isa as. telah direndahkan sebagaimana perkataan Amr bin ash. Raja Najasyi pun menyuruh kedua utusan pagan Quraisy untuk pulang dan mengembalikan semua hadiah-hadiah mereka. Kaum muslimin pun aman dan bebas beribadah meyakini agamanya. [1]


Ja'far bin Abi Thalib kembali pulang dari Habasyah bersamaan dengan penaklukan benteng Khaibar. Ia kembali ke Madinah bersama dengan Abu Musa Al-Asyary dari Yaman.

Akhir Kehidupan

sunting

Pada tahun 629, Ja'far bin Abi Thalib ikut perang Mu'tah dan gugur menjadi syahid. Selain dia ikut gugur antara lain Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah. Peperangan itu merupakan peperangan pertama umat islam dengan pasukan Romawi.[1]

Perang Mut'ah adalah peperangan antara 3000 pasukan muslim melawan 200.000 pasukan Romawi. Peperangan ini dipimpin oleh 3 panglima, yang akan menggantikan jika pemimpin pertama, yaitu Zaid Bin Haritshah ra, Ja'far bin Abi Thalib dan Abdullah bin rawahah ra.[1]

Maka ketika Ja'far melihat panji Islam akan jatuh terlepas dari tangan zaid bin Haritsah, karena beliau gugur, beliau langsung menyambar panji tersebut secepat kilat. tanpa ragu dia langsung menyerbu ketengah-tengah barisan Musuh. Ja'far pun bertempur habis-habisan melawan musuh yang seolah tiada habisnya. [1]

Bahkan tentara Romawi menyaksikan bagaimana kemampuan bertempur Ja'far seolah-olah sepasukan tentara. Namun, tentara Romawi terus mengepung beliau hingga berhasil menebas tangan kanannya. Sebelum panji Islam jatuh, ia sambar dengan tangan kirinya. merekapun menebas tangan kirinya, namun beliau tidak mau membiarkan panji Islam jatuh. Dia jepit dengan dua pangkal lengan yang terluka dengan dada. Ja'far bertekad mempertahankan panji Islam itu selama nyawa masih terkandung dalam badan. hingga akhirnya beliau gugur, dan panji Islam di sambut oleh Abdullah bin Rawahah. [1]

Abdullah bin Umar mengatakan, "Aku ikut terjun di Perang Mut'ah dengan Ja'far, waktu kami mencarinya, kami dapati di tubuhnya terdapat luka-luka bekas tusukan dan lemparan lebih dari 90 tempat."[1]

Keistimewaan Ja'far bin Abu Thalib

sunting

Berikut adalah diantara keistimewaan Ja'far bin Abu Thalib ra:

  1. Sahabat yang perawakan dan perilakunya mirip dengan Nabi Muhammad.[1]
  2. Menjadi juru bicara kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah, melawan utusan pagan Quraisy, Amr bin Ash (yang saat itu belum masuk Islam) Yang menuntut kepada Raja Najasyi agar mengusir kaum muslimin dan tidak diberikan perlindungan. Namun berkah kepiawaiayan Ja'far bin Abu Thalib dalam menyampaikan kebenaran, kaum muslimin aman dibawah perlindungan Raja Najasyi, dan Amr bin Ash pulang dengan tangan hampa.[1]
  3. Dipilih oleh Muhammad untuk menjadi salah satu dari tiga Panglima Perang kaum muslimin dalam perang Mut'ah. Muhammad mengutus pasukan yang dipimpin Zaid bin Hâritsah Radhiyallahu anhu seraya berpesan, “Bila Zaid terbunuh, maka Ja’far bin Abi Thâlib yang menggantikan. Dan bila Ja’far terbunuh, maka Abdullâh bin Rawâhah yang menggantikan”.[1]
  4. Sangat bersemangat dalam menjaga Syiar Islam, yaitu Ketika memimpin peperangan dalam perang Mut'ah, dia memegang panji Islam dengan tangan kanannya, ketika tangan kanannya putus, ia pegang dengan tangan kirinya, ketika dia putus, dia pegang dengan pangkal lengan dengan dadanya, hingga beliau Syahid di medan perang.[1]


  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y Muhammad Khalid, Khalid (Januari 2018). Biiografi 60 sahabat Nabi. Jakarta: Ummul Qura. hlm. 274–285. ISBN 9786029896886.