Morfem adalah satuan tata bahasa terkecil yang mempunyai makna.[1][2][3][4][5] Morfem tidak bisa dibagi ke dalam bentuk bahasa yang lebih kecil lagi, yang dapat atau tidak dapat berdiri sendiri.[3] Dalam tata bahasa Inggris, Morfem berfungsi untuk membedakan kata jamak (plural), kata masa lampau (past tense), dan sebagainya.[4] Tata bahasa tradisional tidak mengenal konsep maupun istilah morfem, sebab morfem bukanlah satuan dalam sintaksis, dan tidak semua morfem mempunyai makna secara filosofis .[2]

Morfem merupakan bagian dari kata

Morf dan alomorf

sunting

Morf adalah bentuk terkecil dari morfem yang belum diketahui statusnya dalam hubungan keanggotaan terhadap suatu morfem.[2][6] Sedangkan alomorf adalah bentuk dari morfem yang sudah diketahui statusnya.[2] Misalnya bentuk {meng-} dalam menggali. Bentuk {meng-} saat belum diketahui status morfemnya disebut morf, tetapi setelah diketahui statusnya yakni sebagai pendistribusi terhadap fonem berkonsonan /g/ maka morf ini disebut alomorf.[2]

Identifikasi morfem bahasa Indonesia

sunting

Untuk mengidentikasi sebuah morfem perlu dilakukan perbandingan satuan bentuk kata dengan bentuk-bentuk satuan kata yang lain. Sebuah kata bisa dikatakan morfem apabila bentuk satuan katanya bisa hadir sacara berulang-ulang dalam bentuk yang lain.[2] Perhatikan contoh berikut:

Perbandingan Bentuk [kedua]
Kedua
Ketiga
Kelima
Ketujuh
Kedelapan
Kesembilan
Kesebelas

Bentuk [kedua] jika dibandingkan dengan contoh di atas dapat disegmentasikan sebagai satuan tersendiri dan mempunyai makna yang sama, yaitu menyatakan tingkat atau derajat.[2] Sehingga bentuk ke pada contoh di atas adalah morfem, karena merupakan bentuk terkecil yang berulang-ulang dan mempunyai makna yang sama.[2]

Sekarang perhatikan bentuk ke pada daftar berikut:

(di sini aturan ejaan tidak diindahkan)

Perbandingan Bentuk ke
Kepasar
Kekampus
Kedapur
Kemesjid
Kealun-alun
Keterminal

Bentuk ke pada contoh di atas juga dapat disegmentasikan sebagai morfem, karena memiliki satuan tersendiri dan mempunyai arti yang sama, yaitu menyatakan arah dan tujuan.[2]

Tetapi, bentuk ke pada contoh pertama tidak sama dan bentuk ke pada contoh kedua. Keduanya merupakan dua buah morfem yang berbeda, meskipun bentuknya sama.[2] Sehingga dapat disimpulkan bahwa, kesamaan arti dan kesamaan bentuk merupakan ciri atau identitas sebuah morfem.[2]

Sekarang perhatikan contoh selanjutnya:

Perbandingan Bentuk tinggal dan ninggal
Meninggalkan
Ditinggal
Tertinggal
Peninggalan
Ketinggalan
Sepeninggal

Dari daftar tersebut terdapat bentuk yang sama yang dapat disegmentasikan dari bagian unsur-unsur lainnya, yaitu bentuk tinggal dan ninggal.[2] Bentuk tinggal dan ninggal adalah sebuah morfem karena bentuk dan maknanya sama.[2] Untuk mengetahui sebuah bentuk adalah morfem, perlu diketahui terlebih dahulu maknanya.[2] Perhatikan contoh berikut:

Perbandingan Bentuk lantar
Menelantarkan
Telantar
Lantaran

Bentuk "lantar" meskipun terdapat berulang-ulang pada bentuk menelantarkan, telantar, dan lantaran bukanlah sebuah morfem karena tidak ada maknanya.[2] Menelantarkan dengan telantar memang masih memiliki hubungan, tetapi bentuk menelantarkan dan telantar tidak ada hubungannya dengan lantaran.[2]

Klasifikasi morfem

sunting

Morfem-morfem dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, antara lain kebebasannya, keutuhannya, dan maknanya.[2] Berikut ini adalah klasifikasi morfem:

Morfem Bebas dan Morfem Terikat

sunting

Morfem bebas (bahasa Inggris: Free Morpheme) adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dalam satu kalimat pertuturan tanpa adanya morfem lain.[7] Sebagai contoh, misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, dan bagus.[2] Morfem-morfem tersebut dapat berdiri sendiri dan dapat digunakan tanpa harus terlebih dahulu menggabungkannya dengan morfem lain.[2] Sebaliknya, morfem terikat (bahasa Inggris: Bound Morpheme) adalah morfem yang tidak bisa berdiri sendiri dan selalu terikat pada morfem lain.[4] Morfem terikat mendapatkan imbuhan berupa awalan (prefiks), sisipan (infiks), dan akhiran (sufiks).[8] Contohnya adalah bentuk juang, henti, gaul, baur, bugar, renta dan kerontang.[2] Morfem-morfem tersebut tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi, seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.[2]

Morfem Utuh dan Morfem Terbagi

sunting

Morfem Utuh adalah morfem yang terdiri dari satu kesatuan.[2] Misalnya {meja}, {kursi}, {kecil}, {laut}, dan {pulpen}.[2] Sedangkan morfem terbagi adalah adalah morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah.[2] Contohnya ada pada kata kesatuan yang memiliki satu morfem utuh, yaitu {satu} dan satu morfem terbagi yaitu {ke-/an}.[2] Contoh lainnya adalah kata perbuatan, terdiri dari satu morfem utuh {buat} dan satu morfem terbagi {per-/an}.[2]

Morfem Segmental dan Morfem Suprasegmental

sunting

Morfem segmental adalah morfem yang berwujud bunyi dan dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}.[2] Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.[2] Morfem suprasegmental misalnya terdapat dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara, Afrika.[2]

 
Bentuk Tulisan dalam Bahasa Ngbaka

Setiap kata kerja selalu disertai petunjuk waktu (bahasa Inggris: Tense) yang berupa nada.[2] Dalam bahasa Ngbaka untuk mengungkapkan kalimat masa kini digunakan simbol nada turun (ˋ), kalimat masa lampau menggunakana nada datar (ˉ), kalimat masa nanti menggunakan nada turun naik (ˇ), dan untuk kalimat imperatf menggunakan nada naik (ˊ).[2] Bahasa yang memiliki morfem suprasegmental di antaranya adalah bahasa Burma, Cina, dan Thailand.[2] Sedangkan Bahasa Indonesia tidak memiliki morfem suprasegmental.[2]

Morfem Beralomorf Zero

sunting

Morfem beralomorf zero (lambangnya berupa Ø) adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun suprasegmental, melainkan berupa "kekosongan".[2] Morfem beralomorf zero merupakan morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris dan tidak berlaku pada Bahasa Indonesia.[2] Contohnya adalah bentuk sheep, baik bentuk tunggal maupun jamak, kata Sheep akan tetap menjadi sheep dan tidak mengalami perubahan.[2] Dalam bentuk tunggal dapat ditulis {sheep}, sedan/>

Morfem Bermakna Leksikal dan Morfem Tidak Bermakna Leksikal

sunting

Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang memiliki makna pada dirinya sendiri [9] tanpa perlu berproses dengan morfem lain.[2] Morfem bermakna leksikal jumlahnya tidak terbatas dan sangat produktif.[10][11] Misalnya, {kuda}, {pergi}, {lari}, {makan} dan {merah}.[2] Morfem seperti ini dengan sendirinya sudah dapat digunakan secara bebas.[2] Sedangkan morfem tidak bermakna leksikal adalah morfem yang tidak memiliki makna apapun pada dirinya sendiri.[2] Morfem ini baru mempunyai makna jika digabung dengan morfem lain dalam suatu proses morfologi.[2] Termasuk morfem tidak bermakna leksikal adalah morfem-morfem afiks seperti, {ber-}, {me-}, dan {-ter}.[2]

Referensi

sunting
  1. ^ (Indonesia) Kamus Besar Bahasa Indonesia. "KBBI Daring". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-27. Diakses tanggal 17-April-2014. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap (Indonesia) Abdul Chaer (2007). "Linguistik Umum". Cetakan Ketiga. Rineka Cipta: 146 – 158. 
  3. ^ a b (Inggris) Muhammad Farkhan (2006). "An Introduction to Linguistics". 1. Lembaga Penelitian UIN Jakarta & UIN Jakarta Press: 51 – 59. 
  4. ^ a b c (Inggris) George Yule (2006). "The Study of Language". Third Edition. Cambridge University Press: 62 – 67. 
  5. ^ (Inggris) Anita K. Barry (2008). "Linguistic Perspectives on Language and Education". Pearson Education, Inc: 40 –42. 
  6. ^ (Indonesia) Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. "Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik". Gramedia: 150. 
  7. ^ (Inggris) Muhammad Farkhan (2006). "An Introduction to Linguistics". 1. Lembaga Penelitian UIN Jakarta & UIN Jakarta Press: 54. 
  8. ^ Kusuma, Vica Ananta; Widyasari, Widyasari (2021-06-30). "Studi Komparasi Penelitian Morfosintaksis Kata Kerja See dan Hear dalam Novel Harry Potter and the Deathly Hallows dan Terjemahannya". Jurnal Humaya: Jurnal Hukum, Humaniora, Masyarakat, dan Budaya (dalam bahasa Inggris). 1 (1): 66–74. doi:10.33830/humaya.v1i1.1867.2021. ISSN 2798-950X. 
  9. ^ (Indonesia) Leonard Bloomfield, I. Sutikno Pr. "Language (Bahasa)". Gramedia: 254. 
  10. ^ (Indonesia) Dr. Alo Liliwei, M.s. (2002). "Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya" (2). LKis Yogyakarta: 142. 
  11. ^ (Indonesia) Kateglo. "Kamus". 

Lihat pula

sunting