Ilmu ukur wilayah

(Dialihkan dari Ilmu Ukur Tanah)

Ilmu ukur wilayah (Inggris: land surveying), ilmu ukur tanah, atau handasah adalah sebuah metode pengukuran titik-titik dengan memanfaatkan jarak dan sudut di antara setiap titik tersebut pada suatu wilayah dengan cermat. Berbagai titik tersebut biasanya adalah permukaan bumi dan digunakan untuk membuat sebuah peta, batas wilayah suatu lahan, lokasi konstruksi, dan tujuan lainnya. Ilmu ukur wilayah juga merupakan sebuah pekerjaan. Surveyor menggunakan ilmu geodesi yang mencakup berbagai elemen matematika seperti geometri dan trigonometri, juga fisika dan keteknikan.

Surveyor sedang melakukan pengukuran wilayah
Kompas Brunton, sebuah alat yang umum digunakan para kartografer dan surveyor di seluruh dunia

Sejarah sunting

Pengukuran wilayah yang sangat mendasar terjadi ketika manusia mulai membangun struktur besar. Bukti paling awal mengenai praktik pengukuran wilayah dilakukan oleh masyarakat yang membangun Stonehenge; mereka menggunakan pasak dan tali sebagai media pengukuran wilayah.[1]

Di peradaban Mesir Kuno, begitu banyak lahan pertanian dibandung di pinggir sungai Nil yang secara rutin mengalami pasang surut yang mengembalikan kesuburan tanah. Tali digunakan sebagai pembatas lahan pertanian milik individu. Selain itu, bentuk persegi yang hampir sempurna dari banyak piramida juga menegaskan penggunaan ilmu ukur wilayah sebagai instrumen pembangunannya.[2]

Di peradaban Romawi, surveyor merupakan sebuah pekerjaan yang resmi.[3]

Ilmu ukur wilayah modern sunting

 
Table of Surveying, 1728 Cyclopaedia
 
Sebuah peta hasil ilmu ukur wilayah, tahun 1870

Sistem triangulasi modern dikembangkan oleh pakar matematika Belanda Willebrord Snell, yang pada tahun 1615 telah mensurvey wilayah dari Alkmaar ke Bergen op Zoom, sejauh kurang lebih 70 mil (110 kilometer), menggunakan serangkaian titik yang membentuk 33 segitiga secara keseluruhan. Theodolite ditemukan oleh Jesse Ramsden pada tahun 1787 dan menjadi awal perkembangan yang pesat dari ilmu ukur wilayah modern. Sebelumnya sudah ada alat yang serupa dengan akurasi yang lebih lemah, yang dikembangkan oleh Leonard Digges, Joshua Habermel, dan Jonathan Sisson[4] Theodolite buatan Ramsden digunakan oleh tim Great Trigonometric Survey yang memetakan India hingga gunung Everest yang dimulai pada tahun 1801. Pemetaan yang dilakukan tim ini memiliki banyak dampak secara ilmiah dan ekonomi dan menjadi awal industrialisasi oleh pemerintahan kolonial Inggris dengan pembangunan kanal, jalan, dan rel secara massa.

Metode surveying sunting

Dalam sejarahnya, jarak diukur dengan berbagai cara seperti menggunakan tali atau rantai yang direntangkan, contoh rantai Gunther. Cara kuno seperti ini mengharuskan surveyor harus memutuskan alat ukurnya ketika berhadapan dengan tanah miring.

Pengukuran sudut umumnya menggunakan kompas yang menghasilkan sudut antara satu titik dengan titik lainnya relatif terhadap kutub utara kompas sehingga nilainya dapat berupa 0 hingga 359. Pengukuran yang lebih teliti akan mendapatkan detik sudut.

Perubahan berikutnya adalah pengukuran sudut yang lebih teliti dengan menggunakan Theodolit dan mengukur jarak secara elektronik dengan menggunakan EDM.

Saat ini pengukuran dilakukan dengan menggunakan Total Station yang menggabungkan Theodolite dan EDM dengan perangkat pintar didalamnya.

Referensi sunting

  1. ^ Johnson, Anthony, Solving Stonehenge: The New Key to an Ancient Enigma. (Thames & Hudson, 2008) ISBN 978-0-500-05155-9
  2. ^ Hong-Sen Yan & Marco Ceccarelli (2009), International Symposium on History of Machines and Mechanisms: Proceedings of HMM 2008, Springer, hlm. 107, ISBN 1-4020-9484-1 
  3. ^ Lewis, M. J. T. (2001-04-23). Surveying Instruments of Greece and Rome. Cambridge University Press. ISBN 9780521792974. Diakses tanggal 30 August 2012. 
  4. ^ Turner, Gerard L'E. Nineteenth Century Scientific Instruments, Sotheby Publications, 1983, ISBN 0-85667-170-3

Pranala luar sunting