Hanacaraka adalah sebutan untuk sejumlah aksara serumpun yang terutama digunakan di pulau Jawa dan Bali.[butuh rujukan] Istilah ini paling umum digunakan untuk merujuk pada aksara Jawa dan aksara Bali, serta juga digunakan untuk merujuk pada aksara sejenis yang merupakan turunan atau modifikasi dari kedua aksara tersebut.[butuh rujukan]

Asal nama sunting

Nama Hanacaraka berasal dari lima huruf pertama dalam deret tradisional aksara Jawa.[butuh rujukan] Hal ini setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).[butuh rujukan] Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang sering kali dikaitkan dengan legenda Aji Saka, meski variasi cerita yang berbeda-beda dapat ditemukan di berbagai sumber dan daerah.[1][2] Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan dan legenda asal-usul hanacaraka.[3][4]

Deret Hanacaraka Jawa
       
ꦲꦤꦕꦫꦏ(18px) ꦢꦠꦱꦮꦭ(18px) ꦥꦝꦗꦪꦚ(18px) ꦩꦒꦧꦛꦔ(18px)
(h)ana caraka
ada dua utusan
data sawala
yang berselisih pendapat
padha jayanya
sama kuatnya
maga bathanga
inilah mayat mereka

Deret hanacaraka telah digunakan oleh masyarakat Jawa pra-kemerdekaan setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan,[1] kemudian baru diadaptasi di Bali pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan dikenalkannya sekolah rakyat dan buku pelajaran cetak yang telah duluan lumrah di Jawa pada masa tersebut.[5] Terdapat beberapa perbedaan antara urutan hanacaraka yang digunakan untuk bahasa Jawa dengan bahasa non-Jawa, berikut contohnya antara hanacaraka Jawa dan Bali:

Perbandingan deret Hanacaraka Jawa dan Bali
Jawa ha/a1 na ca ra ka da ta sa wa la pa dha2 ja ya nya ma ga ba tha3 nga
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bali ha/a1 na ca ra ka da ta sa wa la ma ga ba nga pa ja ya nya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Catatan

^1 berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
^2 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"

Bunyi retrofleks tha /ʈa/ dan dha /ɖa/ yang digunakan dalam bahasa Jawa merupakan bunyi yang relatif tidak lazim dalam bahasa Austronesia dan tidak digunakan oleh bahasa-bahasa yang bertetangga dengan bahasa Jawa. Dalam bahasa Bali, pelafalan huruf tha ꦛ dan dhadianggap sama dengan ta ꦠ dan da ꦢ, sehingga deret hanacaraka versi Bali tidak menganggap tha dan dha sebagai huruf dasar. Hal ini juga terjadi dalam penulisan bahasa Sunda.

Aksara Jawa sunting

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Carakan atau Dentawyanjana,[6] adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[7][8]

Dalam perkembangannya hingga abad ke-20, aksara Jawa digunakan di seantero pulau Jawa pada masa ketika komunikasi antarwilayah sering kali sulit. Akibatnya, aksara Jawa memiliki berbagai langgam historis dan kedaerahan yang digunakan silih-berganti seiring waktu.[9] Berbagai langgam daerah tersebut, termasuk pula aksara Jawa yang digunakan untuk bahasa non-Jawa seperti bahasa Sunda (Cacarakan) dan bahasa Madura, umum dikenal sebagai hanacaraka. Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta, tetapi naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah Jawa Barat, semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda (ménak) akibat pengaruh politik wangsa Mataram di ranah Sunda sejak abad ke-17.[10] Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad Pegon yang diadaptasi dari abjad Arab.[11]

Aksara Bali sunting

Aksara Bali, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di Pulau Bali. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Bali, Sanskerta, dan Kawi, tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sasak dan Melayu dengan tambahan dan modifikasi. Aksara Bali merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Jawa. Aksara Bali aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Bali sejak pertengahan abad ke-15 hingga kini dan masih diajarkan di Bali sebagai bagian dari muatan lokal, meski penerapannya dalam kehidupan sehari-hari telah berkurang.[12]

Dalam masyarakat Bali dan Lombok pra-kemerdekaan, aksara Bali aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat untuk menuliskan sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Sastra Bali digubah menggunakan sejumlah bahasa; Sastra umum digubah dengan bahasa Bali halus yang menggunakan banyak kosakata Kawi, sementara sastra klasik dengan derajat yang tinggi, semisal kakawin, digubah sepenuhnya dengan bahasa Kawi dan Sanskerta. Dalam perkembangannya, berkembang pula genre sastra seperti gĕguritan yang dapat digubah menggunakan bahasa Bali sehari-hari dan bahkan bahasa Melayu.[13][14] Selain itu, sastra Sasak di Lombok juga banyak digubah menggunakan bahasa Jawa halus, dan beberapa digubah dengan bahasa Sasak.[15]

Rujukan sunting

  1. ^ a b Robson 2011, hlm. 13-14.
  2. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 8-11.
  3. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 35-41.
  4. ^ Rochkyatmo 1996, hlm. 51-58.
  5. ^ Hinzler 1993, hlm. 463.
  6. ^ Poerwadarminta, W.J.S (1939). Baoesastra Djawa (dalam bahasa Jawa). Batavia: J.B. Wolters. ISBN 0834803496. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  7. ^ Behrend 1996, hlm. 161.
  8. ^ Everson, Michael (2008-03-06). "Proposal for encoding the Javanese script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3319R3). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-09-16. Diakses tanggal 2019-09-05. 
  9. ^ Behrend 1996, hlm. 162.
  10. ^ Moriyama 1996, hlm. 166.
  11. ^ Moriyama 1996, hlm. 167.
  12. ^ Everson, Michael; Suatjana, I Made (2005-01-23). "Proposal for encoding the Balinese script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2908). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-04-07. Diakses tanggal 2020-05-23. 
  13. ^ Rubenstein 1996, hlm. 138.
  14. ^ Creese, Helen (August, 2007). "Curious Modernities: Early Twentieth-Century Balinese Textual Explorations" (PDF). The Journal of Asian Studies. 66 (3): 729.  [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ Meij 1996, hlm. 155-156.

Daftar pustaka sunting