Hamid Algadri
Hamid Algadri (10 Juli 1912 – 25 Januari 1998) adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia keturunan Arab yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, KMB dan salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.
Mr. Hamid Algadri | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | Pasuruan, Hindia Belanda | 10 Juli 1912
Meninggal | 25 Januari 1998 Jakarta, Indonesia | (umur 85)
Kebangsaan | Indonesia |
Suami/istri | Zena binti Husein Alatas |
Anak | Atika algadri Maher Algadri Adila algadri Sadik Algadri |
Profesi | Politikus, Pahlawan nasional Indonesia |
Sunting kotak info • L • B |
Riwayat Hidup
suntingMasa Muda
suntingHamid Algadri lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912 akan tetapi sebenarnya dia dua tahun lebih tua, agar ia dapat dimasukkan ke sekolah dasar Belanda Europesche Lag School oleh ayahnya karena persyaratan umur. Ayahnya Kapitein der Arabieren (Kepala masyarakat Arab) di Pasuruan, suatu kedudukan dalam tata kolonial, setara dengan Kapitein der Chinezen (Kepala Masyarakat Tionghoa). Saat itu pemerintah Hindia Belanda meggolongkan penduduk di Indonesia sebagai orang Eropa (Europeanen), orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) dan orang pribumi (Inlanders). Orang Cina dan Arab masuk golongan Vreemde Oosterlingen. Untuk hubungan dengan pemerintah mereka diberi pemimpin sendiri yakni Kapten itu.
Hamid Algadri menurut silsilah ayah berasal dari tanah Hadramaut di jazirah Arab dan dari garis keturunan ibu dari Malabar, India. Ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar ELS, sekolah menengah MULO dan AMS-A bagian klasik Barat di Yogyakarta dan tahun 1936 sebagao mahasiswa Rechts Hoge School (Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia merupakan keturunan Arab pertama yang menuntut pelajaran di universitas.
Selagi mahasiswa dia bergabung dengan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang didirikan tahun 1934 oleh AR Baswedan (Menteri Muda Penerangan 1946-47). Dengan PAI sebagai wadah, orang Arab ingin menjadi orang Indonesia dan menerima Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu satu Tanah Air, satu bangsa, satu bahasa ialah Indonesia. Kemudian PAI menjelma sebagai parpol dan sebagai Partai Arab Indonesia bersikap Co (koperator atau kerja sama) terhadap pemerintah Hindia Belanda. Adapun parpol yang Non (nonkoperator) seperti PNI pimpinan Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia pimpinan Hatta-Syahrir telah dilarang.
Masa Perjuangan
suntingHamid aktif pada sejumlah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa-masa awal pemerintahan Indonesia.
Karier
suntingHamid Algadri yang bekerja di Sekretariat Perdana Menteri dan sempat menemani rombongan rombongan PM Sjahrir di dalam KLB (Kereta Api Luar Biasa) dari Jakarta ke Yogyakarta akhir 1945. Dalam KLB ikut pejabat tinggi RI seperti Prof. Djokosutono, Margono Djojohadikusumo, Didi Kartasasmita (ayah dari Ginandjar Kartasasmita). Ia lalu pindah pada Kementerian Luar Negeri, seterusnya sebagai Sekretaris Kementerian Penerangan sambil sekaligus jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Ketika Sjahrir jadi ketua badan Pekerja KNIP, Hamid dipanggilnya dari Pasuruan dan diberi tugas di Jakarta. Sebagaimana waktu itu Soedjatmoko, Soedarpo, Soebadio Sastrosatomo disebut sebagai de jongens van Sjahrir (anak-anak Sjahrir). Hamid Algadri pun termasuk di dalamnya.
Pada masa muda, Hamid tinggal di Jalan Serang 13 Jakarta. Hamid merupakan penasihat delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati dan Renville sehingga mengetahui informasi intern yang dapat dipakai oleh penulis dalam pekerjaannya sebagai komentator politik.
Waktu pecah aksi militer Belanda ke-1 (21 Juli 1947), Hamid beserta anggota delegasi Republik lain yang berada di Jakarta ditahan, akan tetapi karena campur tangan Prof Schermerhorn, ketua Komisi Jenderal Belanda, segera dibebaskan. Setelah Persetujuan Renville ditandatangani bulan Januari 1948, Belanda mulai mendirikan negara-negara bagian seperti Negara Pasundan mengikuti model Negara Indonesia Timur (NIT) untuk mengimbangi RI. Hamid bersama Mr. Ali Budiardjo mendirikan Gerakan Plebisit RI untuk berkampanye di Jawa Barat, merebut dukungan penduduknya untuk RI dan dengan demikian menggagalkan pembentukan Negara Pasundan. Upaya ini tidak berhasil.
Belanda mengambil tindakan terhadap 30 tokoh Republik yang ada di Jakarta dan mengusir mereka ke Yogyakarta. Hamid bersama Prof Supomo, Sukarjo Wiryopranoto, Ir Pangeran Noor dan lain-lain dimasukkan ke dalam pesawat terbang dan diangkut ke Yogyakarta. Di kota ini Hamid mengalami aksi militer Belanda kedua (19 Desember 1948). Yogya diduduki oleh Belanda, Soekarno-Hatta-Sjahrir ditawan dan dibuang ke Prapat dan Bangka. Hamid dijebloskan ke dalam penjara Wirogunan. Di sana dia diinterogasi oleh kepala dinas intel Belanda Kapten Vosveld yang terkenal keras main hantam. Seorang penghuni di rumah bersama Hamid dan H. Agus Salim adalah George Kahin, mahasiswa Amerika yang sedang melakukan riset untuk penulisan disertasi doktornya. Kahin memberitahukan kepada Kapten Vosveld dia tidak akan tinggal diam, apabila terjadi apa-apa atas diri Hamid. Mungkin karena itu Hamid selamat dan dibebaskan dari Wirogunan, kemudian bersama Mohammad Natsir dan Dr Ratulangi diterbangkan kembali ke Jakarta.
Perjalanan karier Hamid seterusnya sudah dapat diduga. Ia ikut dalam delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 1949, sebagai penasihat. KMB menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia akhir Desember 1949. Hamid jadi anggota parlemen dan karena duduk dalam Komisi Luar Negeri sering mengadakan kunjungan resmi ke berbagai negara di Asia dan Eropa. Setelah pemilu 1955 ia menjadi ketua fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) dalam Konstituante yang bersidang di Bandung menyusun konstitusi baru. Di sana dia menyuarakan sikap politik PSI yaitu tidak menyetujui pembentukan negara Islam di Indonesia dan setelah pembicaraan gagal dalam sidang Konstituante menyatakan setuju kembali ke UUD 1945 sebagai jalan alternatif mengatasi kemelut. Konstituante dibubarkan dan Presiden Soekarno mendekritkan kembali ke UUD 1945.
Salah satu kegiatan Hamid ketika menjadi anggota parlemen ialah menjadi Sekjen Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Tunisia dan Aljazair. Panitia ini didirikan pada tahun 1956 dan di dalamnya duduk tokoh-tokoh parpol seperti Mohd Natsir, Kasimo, Mr Sunario dan lain-lain. Karena kedudukannya dalam Panitia tersebut, rumah Hamid di Jalan Tosari 50 menjadi tempat berkumpulnya pejuang-pejuang dari Afrika Utara (Maghribi). Berdatanganlah ke situ Allal Fazzi dari Maroko, Habib Bourguiba, Salah ben Yussef, Taieb Slim, Tahar Amara dari Tunisia, Lakhdar Brahimi, Mohammed ben Yahya, Muhammad Yazid, Husein Ait Ahmad dari Aljazair. Setelah negeri mereka merdeka dan berdaulat, tokoh-tokoh itu menjadi orang penting. Habib Bourguiba jadi Presiden Tunisia, Taieb Slim dubes di Inggris, Mohammed ben Yahya duta besar untuk Moskwa, kemudian Menlu Aljazair, Lakhdar Brahimi dubes di Kairo dan London, kemudian Menlu Aljazair dan kini sering jadi trouble shooter Sekjen PBB menyelesaikan masalah Haiti, Lebanon, Afganistan, Somalia, Sudan dan Irak.
Hamid diakui jasanya oleh negara-negara Afrika Utara dan memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia dan Aljazair. Di dalam negeri dia dianugerahi Satya Lencana 1978 dan diakui sebagai Perintis Kemerdekaan. Setelah tiada lagi jadi anggota parlemen, dia aktif di bidang sosial, misalnya menjadi direktur Yayasan Dana Bantuan.
Meskipun bukan Kapitein der Arabieren seperti ayahnya, dia diakui secara tak resmi dalam lingkungan keturunan Arab sebagai "kepala suku". Pendapatnya sering diminta sebagai diterima sebagai pendapat "kepala suku" layaknya. Tiap kali Presiden Soeharto membentuk kabinet selama Orde Baru dan di dalamnya terdapat menteri yang keturunan Arab, maka Ia berbesar hati dan bila ada kesempatan bertemu dengan Pak Harto menyatakan rasa terima kasihnya atas kenyataan itu.
Waktu hari pertama Ia masuk rumah sakit, dengan tiada ayal datang berkunjung Menlu Ali Alatas dan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad melihat keadaannya.
Kehidupan Pribadi
suntingKeluarga
suntingHamid duduk dalam dewan pimpinan PAI yang diketuai oleh Husein Alatas, ayah gadis Zena yang pada tahun 1942 dinikahi oleh Hamid yang berusia 32 tahun, sedangkan Zena baru 18 tahun.
Pesta perkawinan dilangsungkan di Pasuruan dan karena banyak utusan dan anggota PAI datang mengucapkan selamat, Kenpeitai (polisi rahasia) Jepang menaruh curiga bahwa di kota kecil itu digelar aktivitas politik secara terselubung. Setelah diberikan penjelasan barulah perhelatan dilanjutkan.
Dari pernikahan Hamid-Zena lahir empat anak, yaitu Atika Algadri, Maher Algadri, Adila Algadri dan Sadik Algadri.
Meninggal
suntingHamid mulai dirawat di Rumah Sakit Medistra, Jakarta karena kerapuhan tulang dan radang paru-paru. Setelah lima hari dirawat, Hamid meninggal pada hari Minggu tanggal 25 Januari 1998. Ia dikuburkan di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.
Lihat pula
suntingReferensi
suntingBibliografi
sunting- "In Memoriam: Hamid Algadri Perintis Kemerdekaan". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-02-11. Diakses tanggal 2014-04-14.